KH. Zainudin MZ



Sang mentari meredup kali ini, sinarnya tanpa hilang, tergantikan angin yang merayap di setiap lubang pori, menusuk-nusuk tak mengenakan. Butiran hujan jatuh merintik dengan pelan, membasahi rumput yang telah berselok, mawar yang meranum dan segalanya yang terhampar di permadani hijau, tetesannya memisah kemudian terjatuh dan mengalir di setiap buku bamboo yang begitu indah. Mereka bagai beriak kesyukuran dengan ketetapan ilaahi, teramat syahdu.hujan yang terus mengalir dari semenjak tadi malam sudah terjadi sejak dua minggu yang lalu. Saatnya alam berganti haluan, tak berganti musim.
Terlihat seorang bocah yang sepertinya telah meneteskan air matanya. Karena perutnya begitu kosong sudah tiga hari belum makan. “Bu, aku lapar” rengeknya dengan suara sedih. ”ya sabarlah nak, ibu juga sama lapar, sudah minum air putih saja”. “tapi aku ingin makan nasi” “kamu tahu sendiri kan kita tidak punya beras, bapak kamu kerjanya setiap hari hanya mengadu ayam”.
Waktu subuh hampir tiba, akhirnya zainudin memutuskan pergi ke sungai untuk mencari ikan. Dengan peralatan tombak dari batang kayu dia mendapatkan ikan yang lumayan banyhak. “lumayan ikan-ikan ini sebagian akan aku jual untuk kubelikan pancing” ucapnya. “Zai, baik sekali kamu masih kecil sudah ingin membantu mencari makan orang tua kamu”.
Ke-esokan harinya pada waktu tengah malam ketika kedua orangtuanya masih tertidur lelap tetapi zainudin belum tidur masih merauti batang bambu untuk membuat gagang pancing. “waktu fajar hampir tiba aku harus bergegas mencari ikan kembali di sungai”. Dan ia dapatkan ikan begitu banyak, “Bu, aku bawa ikan banyak nih” ucapnya, “wah bagus tuh zai, kalau tiap hari kan bapak enak, ibu kamu juga jadi tambah gemuk” ucap bapaknya seperti tidak salah apa-apa.
Pagi itu zainudin berjalan tanpa arah entah mau kemana dia, “Assalamu’alaikum” ucap seorang bapak-bapak yang terlihat berwibawa dengan pakaian muslimnya. Ketika disapa oleh dia tidak tahu apa yang di ucapkan oleh si bapak tadi, karena zainudin kosong sama sekali dari didikan agama.
“Siapa namamu nak?” Tanya bapak itu, “zainudin ya”. “namaku zainudin” sahut zainudin. “mau kemana kamu nak?”. “tidak tahu pak, aku tidak tahu mau kemana”. “ya sudah ikut sama bapak saja, kita mengaji”. “Apa itu mengaji pak?”. “mengaji itu untuk menghilangkan kita dari kebodohan”, “tapi aku harus izin dulu sama orang tuaku”. “silahkan sana kamu minta izin dulu sama orangtuamu”, “tapi pak kalau nanti aku pesantren siapa yang member makan orangtuaku”. “sudah tenang saja, urusan orangtuamu biar bapak yang urusin”. “kalau begitu aku pamit dahulu ya pak”
Tok… Tok…. Tok…. pak Bu, lalu ibunya membukakan pintu. “ada apa zai?” “bu aku minta izin mau mesantren” “kalau kamu mesantren siapa yang mau cari makan lagi” “tenang pak urusan makan nanti guru saya yang nanggung” “ya silahkan zai, kalau kamu ingin mencari ilmu” “terima kasih bu, kalau begitu zainudin pergi dulu ya” “hati-hati zainudin di jalan”.
“zai, bapk tidak punya tempat untuk kamu, semua kamar sudah penuh. Bagaimana kalau kamu diamnya di dapur nanti kamu masakin bapak, dan kalau bapak sudah mengaji nasi harus sudah matang” ucap guru. “ya tidak apa-apa pak, yang penting saya bias makan”.
Setiap hari zainudin kerjanya Cuma masak dan masak lama-kelamaan akhirnya zainudin dipindahkan ke kobong karena zainnudin sudah sekian lama belum juga bias ngaji.
“zai disini sudah satu tahun, sekarang bapak ingin tahu kamu sudah bias apa”. Ucap gurunya. Ketika zainudin di tes oleh sang guru, zainudin bisa melakukannya, dari segala bidang ilmu dia sudah kuasai, zainudin memang anak yang nurut dan rajin. “zai, sekarang kamu sudah boleh pulang, silahkan kamu kembangkan ilmu yang kamu punya”. “terima kasih pak”. “ya sudah sekarang kamu bereskan barang-barangmu”. “pak saya minta do’anya mudah-mudahan saya bisa mengembangkan ilmu yang saya punya. Assalamua’alaikum”. Zainudin pun beranjak pulang.
“aku harus membangun mushola, di kampungku belum ada mesjid”. Gumamnya dalam hati, dan dari mushola itu banyak orang-orang yang berdatangan untuk mencari ilmu dan dia membangun pesantren dari dana para muridnya itu, pesantren itu berkembang begitu pesat.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad