Sang
mentari meredup kali ini, sinarnya tanpa hilang, tergantikan angin yang merayap
di setiap lubang pori, menusuk-nusuk tak mengenakan. Butiran hujan jatuh
merintik dengan pelan, membasahi rumput yang telah berselok, mawar yang meranum
dan segalanya yang terhampar di permadani hijau, tetesannya memisah kemudian
terjatuh dan mengalir di setiap buku bamboo yang begitu indah. Mereka bagai
beriak kesyukuran dengan ketetapan ilaahi, teramat syahdu.hujan yang terus
mengalir dari semenjak tadi malam sudah terjadi sejak dua minggu yang lalu.
Saatnya alam berganti haluan, tak berganti musim.
Terlihat
seorang bocah yang sepertinya telah meneteskan air matanya. Karena perutnya
begitu kosong sudah tiga hari belum makan. “Bu, aku lapar” rengeknya dengan
suara sedih. ”ya sabarlah nak, ibu juga sama lapar, sudah minum air putih
saja”. “tapi aku ingin makan nasi” “kamu tahu sendiri kan kita tidak punya
beras, bapak kamu kerjanya setiap hari hanya mengadu ayam”.
Waktu
subuh hampir tiba, akhirnya zainudin memutuskan pergi ke sungai untuk mencari
ikan. Dengan peralatan tombak dari batang kayu dia mendapatkan ikan yang
lumayan banyhak. “lumayan ikan-ikan ini sebagian akan aku jual untuk kubelikan
pancing” ucapnya. “Zai, baik sekali kamu masih kecil sudah ingin membantu
mencari makan orang tua kamu”.
Ke-esokan
harinya pada waktu tengah malam ketika kedua orangtuanya masih tertidur lelap
tetapi zainudin belum tidur masih merauti batang bambu untuk membuat gagang
pancing. “waktu fajar hampir tiba aku harus bergegas mencari ikan kembali di
sungai”. Dan ia dapatkan ikan begitu banyak, “Bu, aku bawa ikan banyak nih”
ucapnya, “wah bagus tuh zai, kalau tiap hari kan bapak enak, ibu kamu juga jadi
tambah gemuk” ucap bapaknya seperti tidak salah apa-apa.
Pagi
itu zainudin berjalan tanpa arah entah mau kemana dia, “Assalamu’alaikum” ucap
seorang bapak-bapak yang terlihat berwibawa dengan pakaian muslimnya. Ketika
disapa oleh dia tidak tahu apa yang di ucapkan oleh si bapak tadi, karena
zainudin kosong sama sekali dari didikan agama.
“Siapa
namamu nak?” Tanya bapak itu, “zainudin ya”. “namaku zainudin” sahut zainudin.
“mau kemana kamu nak?”. “tidak tahu pak, aku tidak tahu mau kemana”. “ya sudah
ikut sama bapak saja, kita mengaji”. “Apa itu mengaji pak?”. “mengaji itu untuk
menghilangkan kita dari kebodohan”, “tapi aku harus izin dulu sama orang
tuaku”. “silahkan sana kamu minta izin dulu sama orangtuamu”, “tapi pak kalau
nanti aku pesantren siapa yang member makan orangtuaku”. “sudah tenang saja,
urusan orangtuamu biar bapak yang urusin”. “kalau begitu aku pamit dahulu ya
pak”
Tok…
Tok…. Tok…. pak Bu, lalu ibunya membukakan pintu. “ada apa zai?” “bu aku minta
izin mau mesantren” “kalau kamu mesantren siapa yang mau cari makan lagi” “tenang
pak urusan makan nanti guru saya yang nanggung” “ya silahkan zai, kalau kamu
ingin mencari ilmu” “terima kasih bu, kalau begitu zainudin pergi dulu ya”
“hati-hati zainudin di jalan”.
“zai,
bapk tidak punya tempat untuk kamu, semua kamar sudah penuh. Bagaimana kalau
kamu diamnya di dapur nanti kamu masakin bapak, dan kalau bapak sudah mengaji
nasi harus sudah matang” ucap guru. “ya tidak apa-apa pak, yang penting saya
bias makan”.
Setiap
hari zainudin kerjanya Cuma masak dan masak lama-kelamaan akhirnya zainudin
dipindahkan ke kobong karena zainnudin sudah sekian lama belum juga bias ngaji.
“zai
disini sudah satu tahun, sekarang bapak ingin tahu kamu sudah bias apa”. Ucap
gurunya. Ketika zainudin di tes oleh sang guru, zainudin bisa melakukannya,
dari segala bidang ilmu dia sudah kuasai, zainudin memang anak yang nurut dan
rajin. “zai, sekarang kamu sudah boleh pulang, silahkan kamu kembangkan ilmu
yang kamu punya”. “terima kasih pak”. “ya sudah sekarang kamu bereskan
barang-barangmu”. “pak saya minta do’anya mudah-mudahan saya bisa mengembangkan
ilmu yang saya punya. Assalamua’alaikum”. Zainudin pun beranjak pulang.
“aku
harus membangun mushola, di kampungku belum ada mesjid”. Gumamnya dalam hati,
dan dari mushola itu banyak orang-orang yang berdatangan untuk mencari ilmu dan
dia membangun pesantren dari dana para muridnya itu, pesantren itu berkembang
begitu pesat.