Pengertian Syar’u man Qablana
Ada beberapa pengertian tentang syar’u man qablana,
diantaranya ;
·
Syar ‘u man qablana
ialah syari ‘at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum kita, yaitu ajaran
agama sebelum datangnya ajaran agama Islam, seperti ajaran agama Nabi Musa,
Isa, Ibrahim, dan lain-lain.[2]
·
“Segala apa yang
dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara‟ yang telah disyaratkan
Allah swt. bagi umat-umat dahulu melalui nabi-nabinya yang diutus kepada umat
itu seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isya as.”[3]
·
Syar’u man qablana atau
syari’at sebelum kita maksudnya adalah “hokum-hukum yang telah disyari’atkan
untuk umat sebelum kita (sebelum Islam) yang dibawa oleh Nabi dan Rasul
terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat dimasa itu”[4]
Para ulama sepakat mengatakan bahwa semua syariat yang
diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara
umum oleh syari’at Islam. Pembatalan itu secara menyeluruh dan rinci, karena
masih banyak hukum-hukum syari’at sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari’at
Islam seperti ; beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina,
hukuman qishash dan hukuman bagi orang yang melakukan tindak pidana
pencurian.[5]
Dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud
dengan syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa oleh para rasul
sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,dll.[6]
2. Kedudukan Syar’u Man Qablana
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat
terdahulu mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad.
Hal ini terlihat dalam firman Allah surat Al-Syura : 13
“Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah
diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad)
dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu
tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan jannganlah kamu berpecah-pecah
belah didalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama
yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang dikehendaki kepada
agama Tauhid dan memberikan petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali
(kepada-Nya).”
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan
konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah.
Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan
kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.[7]
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum
umat-umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syari‟at Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang
terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.[8]
3. Pembagian Syar’u Man Qablana
a.
Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syari’at kita (dimansukh)
Jika Alqur’an dan Hadis shahih menerangkan suatu hukum yang
disyari’atkan kepada umat terdahulu kemudian datang dalil nash yang
membatalkannya, ulama sepakat bahwa hukum itu bukanlah syari’at kita karena
sudah ada yang membatalkannya. Misalnya, syari’at keharusan bunuh diri bagi
orang yang berbuat maksiat sebagai syarat pengampunan dosanya pada zaman Nabi
Musa.
Dan syarat keharusan memotong kain yang terkena najis
sebagai syarat menyucikan pakaian/kain itu sendiri di zaman Nabi Musa. Kedua
kasus ini hukumnya telah dibatalkan dengan firman Allah surat Hud : 3.
“dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan
bertaubat kepada-Nya”
Dan dalam surat
Al-Mudatstsir :4
“.......dan pakaianmu bersihkanlah”
b. Ajaran yang disyari’atkan oleh kita
Bila Al-Qur’an atau hadis shahih menerangkan suatu hukum
yang disyari’atkan kepada umat sebelum Islam, lalu Al-Qur’an dan hadis itu
menetapkan bahwa hukum itu wajib pula kepada umat Islam untuk mengerjakannya,
tidak diragukan lagi bahwa hukum tersebut adalah syari’at yang harus ditaati
umat Islam.[9]
Misalnya kewajiban berpuasa, kewajiban ini telah diwajibkan kepada umat sebelum
Islam. Kemudian setelah datang agama Islam, syari’at semacam itu diwajibkan
lagi bagi orang Islam, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Baqarah : 183
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
c. Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita
a)
Yang diberitakan kepada kita baik
melalui al-Qur’an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita
sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
Untuk hal ini ada dua pendapat, yaitu;[11]
·
Pendapat pertama, menyatakan bahwa
syariat sebelum Islam tidak menjadi syariat bagi Rasulullah saw. dan umatnya.
·
Pendapat kedua bila hukum yang
diterangkan Allah dan Rasulnya bagi umat terdahulu, tidak ada nash yang
menunjukan bahwa hal itu diwajibkan bagi kita sebagaimana diwajibkan juga bagi
mereka, atau tidak ada nash bahwa hukum itu telah dihapuskan.
Dengan perbedaan pendapat di atas, maka ada hal yang
disepakati ulama :
·
Hukum-hukum syara yang ditetapkan
bagi umat sebelum kita, tidaklah dianggap ada tanpa melalui sumber-sumber hukum
Islam, karena dikalangan umat Islam nilai sesuatu hukum didasarkan kepada
sumber-sumber hukum Islam.
·
Segala sesuatu hukum yang dihapuskan
dengan syariat Islam, otomatis hukum tersebut tidak bisa berlaku lagi bagi
kita. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan bagi umat tertentu, tidak
berlaku bagi umat Islam, seperti keharaman beberapa makanan, misalnya daging
bagi Bani Israil.
·
Segala yang ditetapkan dengan nash
yang dihargai oleh Islam seperti juga ditetapkan oleh agama samawi yang telah
lalu, tetap berlaku bagi umat Islam, karena ketetapan nash Islam itu tadi bukan
karena ditetapkannya bagi umat yang telah lalu. Sedangkan Muhammad Abu
Zahrah menyatakan, apabila syariat sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil
khusus bahwa hukum-hukum itu khusus bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat
Islam untuk mengikutinya. Namun apabila hukum-hukum itu bersipat umum, maka
hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh umat, seperti hukum qishash dan puasa
yang ada dalam Alquran.
4. Sandaran Syari’at Rasulullah
Sebelum dan Sesudah Bi’tsah (Diutus Menjadi Rasul)
a. Keterikatan Rasulullah Sebelum
Diutus Menjadi Rasul
Keterikatan Rasulullah sebelum diutus menjadi
Rasul terhadap syari’at Islam, terjadi perbedaan pendapat. Para Jumhur
Mutakalimin dan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa Nabi sebelum diutus
menjadi Rasul tidak terikat dengan peraturan/syari’at sebelum Islam, karena
jika Nabi SAW, terikat dengan syari’at sebelum Islam, maka akan ada dalil yang
menunjukkannya.[12]
Sedangkan setelah ditelusuri tidak ada dalil
yang menegaskan bahwa beliau terikat dengan syari’at sebelum Islam. Sedangkan
ulama Hanafiyah, Hanabillah, Ibn al-Hajib mengatakan bahwa Rasulullah sebelum
diangkat menjadi Rasul terikat dengan syari’at sebelum Islam, karena ada
beberapa alasan yang menyatakannya ;
- Setiap Rasul Allah diseru untuk mengikuti syari’at rasul-rasul sebelumnya.
- Banyak riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi SAW. Sebelum menjadi Rasul telah melakukan perbuatan/amalan tertentu yang sumbernya bukan dari akal semata, seperti pelaksanaan shalat, haji, umrah,mengagungkan ka’bah dan thawaf disekelilingnya serta menyembelih binatang. Hal tersebut berdasarkan firman Allah surat al-An’am:90[13]
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah,
maka ikitilah petunjuk itu”
b. Keterikatan Rasulullah Setelah
Diangkat Menjadi Rasul
keterikatan Rasulullah dan umatnya terhadap
syari’at sebelum Islam ketika telah diangkat menjadi Rasul. Para ulama berpendapat
bahwa untuk masalah aqidah, syari’at Islam tidak membatalkannya. Sedangkan
syari’at sebelum Islam yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak
menjadi syari’at bagi Rasulullah SAW. Dan umatnya. Kecuali yang ditegaskan
dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Namun untuk hukum-hukum yang tercantum dalam
al-Qur’an, tetapi tidak ditegaskan berlakunya untuk umat Muhammad SAW., tetapi
diketahui secara pasti bahwa hukum itu berlaku bagi umat sebelum Islam dan
tidak ada pembatalan dalam al-Qur’an dan Sunnah, terjadi perbedaan pendapat
diantaranya;[14]
1. Jumhur ulama yang terdiri dari ulama Hanafiyah, Malikiyah
dan sebagian ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa jika hukum syari’at sebelum
Islam itu disampaikan pada Nabi SAW. Melalui wahyu al-Qur’an bukan melalui
kitab agama mereka yang telah diubah, maka umat Islam terikat dengan hukum
tersebut. Alasannya syari’at sebelum Islam juga merupakan syari’at yang
diturunkan Allah dan tidak ada indikasi yang menunjukkan pembatalan syari’at,
seperti yang tercantum dalam surat an-Nahl ayat 123
“Kemudian kami
wahyukan kepadamu (Muhammad): ikutilah agama Ibrahim yang hanif.”
Kemudian hadis
Rasulullah yang artinya: “siapa yang tertidur dan lupa untuk sholat, maka
kerjakanlah sholat itu ketika ia ingat/bangun, kemudian Rasulullah membacakan
ayat; “kerjakanlah sholat itu untuk mengingat-Ku” (HR. Bukhari, Muslim
Tirmidzi, Nasa’I dan Abu Daud).
2. Ulama Asy’arriyah,
Mu’tazilah dan Syi’ah dan sebagian ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa syari’at sebelum
Islam tidak menjadi syari’at bagi Rasulullah SAW. Dan umatnya, alasannya;
·
Pertama ketika Rasul
SAW. Mengutus Mu’az bin Jabal untuk menjadi qadi di Yaman, Rasul bertanya;
“bagaimana engkau menetapkan hukum, Mu’az menjawab: ”dengan Kitabullah, jika
tidak ada dalam kitabullah, dengan sunnah Rasulullah SAW. Dan apabila tidak ada
juga, maka saya akan berijtihad. Nabi SAW. Memuji sikap Mu’az tersebut.
·
Kedua, firman Allah
dalam surat al- Maidah ayat 48 yang artinya: “untuk tiap-tiap umat diantara
kamu kami berikan aturan dan jalan yang terang”
·
Ketiga, syari’at Islam
merupakan Syari’at yang berlaku untuk seluruh umat manusia, sedangkan syari’at
sebelum Islam hanya berlaku bagi umat tertentu, seperti sabda Rasul SAW. Yang
artinya: “para Nabi diutus khusus untuk kaumnya dan saya diutus untuk
seluruh umat manusia” (HR. Bukhari, Muslim dan Nasa’i).
Dalam hal ini Abdul Hamid Hakim mengutip perkataan Imam
Al-Syaukani, yang menyebutkan bahwa terdapat beberapa pendapat :[15]
- Bahwa Rasulullah saw. beribadah dengan syariat Nabi Adam as. karena syariat itu merupakan syariat yang pertama.
- Bahwa Rasulullah saw. bersyariat kepada syariat Nabi Nuh as.
- Bahwa Rasulullah saw. bersyariat kepada syariatnya nabi Ibrahim as.
- Ada pula yang menyatakan Rasulullah beribadah dengan syariat Nabi Musa as.
- Dan yang menyatakan Rasulullah bersyariat kepada syariat Isa as. karena Nabi yang paling dekat dengan Rasulullah saw.
Bahkan ada yang berpendapat, bahwa Rasulullah saw. sebelum
diutus tidak beribadah atas syariat, menurutnya, karena kalaulah berada pada
satu agama tentu Nabi menjelaskannya dan tidak menyembunyikannya. Ibnu Qusyairi
berkata, bahwa semua perkataan itu berlawanan dan tidak ada dalil yang
qath’i.
Imam Al-Syaukani mengembalikan kepada perkataan yang
mengatakan bahwa Rasulullah saw. beribadah dengan syariat Nabi Ibrahim as.
Menurutnya, karena Rasulullah sering mencari dari syariat Ibrahim as., beramal
dengan apa yang sampai kepadanya dari syariat Ibrahim, dan juga seperti yang
diketahui dari ayat Alqur‟an setelah beliau diutus untuk
mengikuti Millah Ibrahim as.
Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat penulis simpulkan sebagai
berikut;
1.
Syar’u man qablana
artinya syariat sebelum Islam.
2.
Dan dapat dipahami juga bahwa yang
dimaksud dengan syar’u man qablana adalah syariat yang dibawa oleh para
rasul sebelum Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaumnya, seperti syariat Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa,dll.
3. Pada prinsipnya, syari’at yang
diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama dengan
syari’at yang dibawa Nabi Muhammad. Diantara asas yang sama itu adalah yang
berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan
ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda
sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
4.
a. Ajaran agama yang telah
dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh)
Contoh
: Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali
dipotong apa yang kena najis itu.
b.
Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita.
Contoh : Perintah menjalankan puasa.
c.
Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita.
a)
Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur’an atau as-Sunnah, tetapi
tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum
kita.
b) Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh
syari’at kita.
5.
Sandaran Syari’at
Rasulullah Sebelum dan Sesudah Bi’tsah (Diutus Menjadi Rasul)
a. Keterikatan Rasulullah Sebelum Diutus Menjadi
Rasul
b. Keterikatan Rasulullah Setelah Diangkat
Menjadi Rasul
[1] Dr. H.
Sidi Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2003) cet 4, hal. 239
[6] Prof. Dr.
H. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2009, revisi. 3) hal. 112