Soal:
Apa
yang dimaksud dengan mashalih mursalah?
Jawab:
Syaikh Masyhur Hasan Salman خفظه
الله menjawab :
Permasalahan
usul lainnya yaitu tentang maslahat mursalah. Banyak orang mencampur
adukkan antara masalahat mursalah dengan
bidah. Bid’ah digolongkan menjadi dua: bid’ah hakikiyyah
dan bid’ah idofiyyah. Jika sesuatu masalah mungkin berlaku dan
terjadi di masa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam, tetapi ditinggalkan
Rasulullah dan tidak pernah diperbuat para sahabat setelah wafatnya, maka dia
digolongkan kedalam bid’ah idofiyyah dan
bukan maslahat mursalah;
Seperti
zikir-zikir yang banyak kita dengar diucapkan di negeri ini [Indonesia] setelah
atau sebelum Adzan dikumandangkan. Sebab
Adzan sendiri dimulai dengan sesuatu lafazh tertentu dan diakhiri dengan
sesuatu lafazh tertentu pula, dan tidak diperlukan adanya tambahan lagi.Karena
jika memang zikir-zikir ini baik dan boleh dilaksanakan tentulah mereka dapat
melaksanakannya.
Adapun
maslahat mursalah maka harus memiliki beberapa Kriteria tertentu,
diantaranya:
Pertama: kemaslahatan itu sendiri hendaklah
maslahat hakikikiyyah (masalah yang sebenarnya) bukan kemaslahatan yang
masih wahahamiyyah (diragukan).
Kedua: harus benar-benar merupakan
kemaslahatan yang mursalah atau mutlaqoh (kemaslahatan ansich)
dimana perkara ini secara tekhnis tidak bertentangan dengan syariat dan tidak
mungkin terjadi di zaman Sahabat, seperti penggunaan mikrofon dalam Adzan, ini
bukan bid’ah tetapi merupakan contoh dari maslahat mursalah.karena
alat-alat seperti ini tidak pernah sebelumnya.
Jika
sekiranya hal ini mungkin terjadi
dizaman Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam namun ditinggalkannya pastilah penggunaan
mikrofon seperti ini dianggap bid’ah. Sebab kita tahu bahwa Adzan
disyariatkan untuk memberitahukan masuknya waktu shalat dan mikrofon ini
benar-benar sangat vital digunakan untuk fungsi ini demi kemaslahatan agar orang dapat mendengarnya, sementara
mustahil hal ini terjadi pada zaman rasul
dan mereka tidak mengenal ataupun mempelajarinya. Maka hukumnya sama
dengan hukum menggunakan kaca mata sebagai alat melihat dan membaca bagi
orang-orang yang kabur penglihatannya, inilah dia maslahat. tetapi maslahat
harus diletakkan sesuai dengan porsinyua dan tidak terlampau dibesar-besarkan.
jika dikatakan bahwa membaca Alquran dengna memakai kaca mata adalah sunnah,
tentulah hal ini berlebihan. Namun banyak yang beraggapan bahwa orang-orang
salaf tidak bias membedakan antara maslahat dengan bid’ah, sebenarnya ini
merupakan kezaliman yang nyata terhadap dakwah salaf.
Ungkapan bid’ah yang diucapkan oleh ulama
salaf sebenarnya berdasarkan kriteria dan persyaratan tertentu yang diambil
berdasarkan istiqra (pemahaman) terhadap nas-nas dan kaedah-kaedah yang
mereka susun. Literatur yang sangat relevan dalam hal ini kusarankan agar
membaca dua literatur penting, pertama:
karya Imam syatibi “al-I’tisom” dimana di dalamnya da membuat
kaedah dasar mengenai ahli bid’ah.
Penuntut ilmu syar’i dapat mengambil banyak manfaat dari buku ini. kedua:
karya syaikh al-Islam Ibn Taimiyah Iqtido’ sirat al-mustaqim.[]
Disalin
dari Tanya Jawab bersama Masyaikh Markaz Imam Albani pertanyaan ke-4 (pertanyaan
ke-4 ini memiliki 3 soal) yang eBooknya dari AbuSalma.