Ustadz
Ahmad Sabiq Abu Yusuf dalam makalahnya di majalah al-Mawaddah
Vol.48_1433H/2012M Rubrik Kajian Kita 1 hal.10-11 dan 27 dengan Judul ‘Usaha
Mendapatkan Momongan’, ketika membahas Polemik Bayi Tabung, beliau berkata:
Para
ulama telah membahas masalah ini [Bayi Tabung] secara detail. Kami nukilkan di
sini kesimpulan hasil putusan muktamar ulama fikih (Mujamma' Fiqh Islami)
di Makkah, bulan Jumada Tsaniyyah 1405 H.
"Insemenasi
buatan di dalam rahim ada 2 cara, dan di luar rahim ada 4 cara. Keenam cara
atau macam tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Sperma suami
diambil, lalu diinjeksikan pada tempat yang sesuai dalam rahim sang istri,
sehingga sperma itu akan bertemu dengan sel telur yang dipancarkan istri dan
berproses dengan cara alami, sebagaimana dalam hubungan suami istri. Setelah
pembuahan terjadi, dengan izin Allah, dia akan menempel pada rahim sang istri.
Cara ini ditempuh, jika sang suami memiliki problem sehingga spermanya tidak
bisa sampai pada tempat yang sesuai dalam rahim. Ini merupakan cara yang
diperbolehkan syariat, dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan umum
membuka aurat di depan yang bukan mahram, terutama dokter laki-laki. Ini
dilakukan setelah dipastikan bahwa sang istri terpaksa melakukan proses ini
supaya bisa hamil.
2.
Sperma seorang
suami dan sel telur istrinya diambil, lalu diletakkan pada sebuah tabung
sehingga sperma tadi bisa membuahi sel telur istrinya dalam tabung tersebut.
Kemudian pada saat yang tepat, sperma dan sel telur yang sudah berproses itu
dipindahkan ke rahim sang istri, pemilik sel telur, supaya bisa berkembang
layaknya janin-janin yang lain. Ketika masa mengandung sudah berakhir, sang
istri akan melahirkannya sebagai seorang anak biasa, lelaki ataupun wanita.
Inilah bayi tabung yang telah dihasilkan oleh penemuan ilmiah yang Allah
mudahkan. Proses melahirkan seperti ini telah menghasilkan banyak anak, baik
lelaki maupun perempuan atau bahkan ada yang lahir kembar. Berita keberhasilan
ini telah tersebar melalui berbagai media massa. Cara ini ditempuh ketika sang
istri mengalami masalah pada saluran sel telurnya. Hukum insemenasi cara ini
adalah boleh menurut tinjauan syariat, ketika sangat terpaksa, dengan tetap
menjaga ketentuan-ketentuan umum yang di
atas sudah terpenuhi.[1]
3.
Sperma seorang
lelaki diambil, lalu diinjeksikan pada rahim istri orang lain sehingga terjadi pembuahan di dalam
rahim. Selanjutnya menempel pada dinding rahim (orang lain) sebagaimana pada
cara pertama. Metode ini digunakan karena sang suami mandul, sehingga sperma
diambilkan dari lelaki lain.
4.
Pembuahan di
luar yang diproses pada tabung antara sperma yang diambil dari seorang suami
dan sel telur yang diambil dari sel telur wanita lain (bukan istrinya). Setelah
terjadi pembuahan, baru dimasukkan ke rahim istri pemilik sperma. Cara ini
dilakukan ketika sel telur sang istri terhalang atau tidak berfungsi, tetapi
rahimnya masih bisa berfungsi untuk tempat perkembangan janin.
5.
Pembuahan di
luar yang diproses pada tabung-tabung antara sperma laki-laki dan sel telur
dari wanita bukan istrinya. Kemudian setelah pembuahan terjadi, baru ditanam
pada rahim wanita lain yang sudah berkeluarga. Cara ini dilakukan ketika ada
pasangan suami-istri yang sama-sama mandul, tetapi ingin punya anak; sedangkan
rahim sang istri masih bisa berfungsi sebagai tempat pertumbuhan janin.
6.
Pembuahan di
luar yang diproses pada tabung antara dua benih pasangan suami istri. Kemudian
setelah pembuahan itu berhasil, baru ditanamkan pada rahim wanita lain (bukan
istrinya) yang bersedia mengandung janin pasangan suami istri tersebut. Cara
ini dilakukan ketika sang istri tidak mampu mengandung, karena ada kelainan
pada rahimnya, sementara organnya masih mampu memproduksi sel telur dengan
baik. Cara ini juga ditempuh ketika sang istri tidak mau hamil dengan berbagai
alasan. Maka dia meminta atau menyewa wanita lain untuk mengandung bayinya.
Pandangan
syariat terhadap macam insemenasi ketiga hingga keenam, baik yang
pembuahannya di dalam ataupun di luar rahim merupakan cara-cara yang
diharamkan dalam Islam. Tidak ada alasan untuk memperbolehkan, walaupun
salah satu saja. Karena kedua benih, sperma dan sel telur dalam proses tersebut
tidak berasal dari satu pasangan suami istri atau kare na wanita yang
menyatakan kesediaannya untuk mengandung janin tersebut adalah wanita lain.
Kemudian Majma'
al-Fiqhi al-Islami menutup keputusannya dengan mengatakan, "Melihat bahwa
Insemenasi buatan secara umum penuh dengan kerancuan, sampai pun dalam dua
kondisi yang diperbolehkan secara syar’i, dan karena adanya kemungkinan
tercampurnya sperma dan hasil bayi tabung dalam laboratorium, terutama kalau
banyak kasus yang ditangani. Maka Majelis menasihatkan agar tidak melakukan
cara ini, ke-cuali dalam kondisi yang benar-benar terpaksa sekali dan sangat
super hati-hati agar tidak terjadi percampuran sperma atau hasil bayi tabung
tersebut."[2][]
[1] Pada
dua cara yang diperbolehkan ini, majelis Majma' Fiqh al-lslami
menetapkan bahwa nasab si anak dihubungkan ke pasangan suami istri pemilik
sperma dan sel telur, kemudian diikuti dengan hak waris serta hak-hak lainnya
sebagaimana pada penetapan nasab. Ketika nasab ditetapkan pada pasangan suami
istri, maka hak waris serta hak-hak lainnya juga ditetapkan antara si anak
dengan orang yang memiliki hubungan nasab dengannya.
[2] Fiqhun
Nawazil, Syaikh al-Jizani 75-81.