Soal:
Apakah
termasuk jual beli di masjid, bila panitia zakat fithri juga melayani
pembayaran zakat fithri dengan uang setara dengan zakat fithri 3 kg, dengan
akad titip uang kepada panitia untuk dibelikan beras di pasar. Akad tersebut
dilakukan di dalam masjid, apakah cara seperti menyelisihi Sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم? Apakah kami
harus tegas hanya menerima zakat fithri dalam bentuk makanan pokok saja dan
tidak menerima titipan uang untuk dibelikan zakat fithri seperti yang kami
uraikan di atas? Dan kami mengambil kebijakan seperti itu (hanya beras, tidak
menerima titipan uang) sebenarnya juga bisa atau tidak ada halangan, atau
apakah dalam masalah ini ada kelapangan atau boleh-boleh saja? Mohon
pencerahannya ustadz. (Edi, Sukoharjo) 62815676xxxx
Jawab:
Penitipan
seperti ini tidak terlarang jika dilakukan di masjid, karena ini tidak termasuk
jual beli. Akad seperti ini disebut wakalah, sementara yang terlarang di
masjid adalah jual-beli. Dengan demikian, pembayar zakat mewakilkan kepada
panitia untuk membelikan beras atau yang sejenisnya sebanyak zakat yang wajib
ia keluarkan dan selanjutnya diberikan kepada yang berhak. Karena itu panitia
hanya menerima uang dan tidak menyediakan beras. Akad wakalah ini karena tidak
bertujuan komersial dan hanya bertujuan sosial, yaitu memudahkan dan membantu
para pembayar zakat, maka tidak mengurangi kesucian masjid.
Namun
jika transaksi itu benar-benar jual beli sehingga panitia menyediakan beras,
kemudian setiap pembayar zakat membeli beras dari panitia. Setelah membeli
beras, pembayar zakat mewakilkan penyerahan beras zakat tersebut kepada
panitia. Bila kasusnya demikian ini, maka ini adalah praktekjual-beli di
masjid, dan tentu ini terlarang, berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
إِذَا
رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ
فِي اَلْمَسْجِدِ فَقُولُوا : لَا
أَرْبَحَ اَللَّهُ تِجَارَتَكَ
Bila
kalian mendapatkan orang yang menjual atau membeli di masjid, maka ucapkan
kepadanya: semoga Allah tidak memberikan keuntungan pada perniagaanmu. (HR.
at-Tirmidzi, no.1321, Hadits ini dihukumi shahih oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Abani).[]
Disalin dari Majalah as-Sunnah, Ed.
Khusus No. 03-04 Thn XVI 1433H/2012M, Rubrik Soal-Jawab hal.5-6 Asuhan
Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri خفظه الله.