Pengertian Shalat dan Pensyariatannya
A. Pengertian Shalat
Secara bahasa, shalat itu bermakna doa. Shalat dengan makna
doa dicontohkan di dalam Al-Quran Al-Kariem pada ayat berikut ini.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ
وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ
سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan shalatlah (mendo'alah) untuk mereka.
Sesungguhnya shalat (do'a) kamu itu merupakan ketenteraman jiwa bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(QS.
At-Taubah : 103)
Dalam ayat ini, shalat yang dimaksud sama sekali bukan dalam
makna syariat, melainkan dalam makna bahasanya secara asli yaitu berdoa.
Adapun makna menurut syariah, shalat didefinisikan sebagai :
“serangkaian ucapan dan gerakan yang tertentu yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam sebagai sebuah ibadah ritual”.
B. Waktu Pensyariatan Ibadah Shalat
Sebelum shalat lima
waktu yang wajib disyariatkan, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan para shahabat sudah melakukan ibadah shalat. Hanya saja ibadah
shalat itu belum seperti shalat 5 waktu yang disyariatkan sekarang ini.
Barulah pada malam mi`raj disyariatkan shalat 5 kali
dalam sehari semalam yang asalnya 50 kali. Persitiwa ini dicatat dalam sejarah
terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-5 sebelum peristiwa hijrah nabi ke
Madinah. Sebagaimana tertulis dalam hadits nabawi berikut ini :
فُرِضَتِ
الصَّلاَةُ عَلىَ النَّبِيِّ rلَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ خَمْسِيْنَ
، ثُمَّ نُقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا
ثُمَّ نُوْدِيَ يَا مُحَمَّدُ : إِنَّهُ لاَ يُبْدَلُ القَوْلُ لَدَيَّ وَإِنَّ لَكَ بِهَذِهِ الْخْمْسِ خَمْسِيْنَ رواه
أحمد والنسائي والترمذي وصححه
Dari Anas bin Malik ra.
"Telah difardhukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat pada
malam beliau diisra`kan
50 shalat. Kemudian dikurangi hingga tinggal 5 shalat saja. Lalu diserukan
,"Wahai Muhammad, perkataan itu tidak akan tergantikan. Dan dengan lima shalat ini sama bagi
mu dengan 50 kali shalat".(HR. Ahmad, An-Nasai dan dishahihkan oleh
At-Tirmizy)
Sebagian dari mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa shalat
disyariatkan pada malam mi’raj, namun bukan 5 tahun sebelum hijrah,
melainkan pada tanggal 17 Ramadhan 1,5 tahun sebelum hijrah nabi.
C. Dalil-dalil Pensyariatan Shalat
Shalat diwajibkan dengan dalil yang qath`i dari
Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’ umat Islam sepanjang zaman. Tidak ada yang
menolak kewajiban shalat kecuali orang-orang kafir atau zindiq.
Sebab semua dalil yang ada menunjukkan kewajiban
shalat secara mutlak untuk semua orang yang mengaku beragama Islam yang sudah
akil baligh. Bahkan anak kecil sekalipun diperintahkan untuk melakukan shalat
ketika berusia 7 tahun. Dan boleh dipukul bila masih tidak mau shalat usia 10
tahun, meski belum baligh.
1. Dalil dari Al-Quran
Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran Al-Kareim
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
"...Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam agama yang lurus , dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus."(QS. Al-Bayyinah : 5)
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ
هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ
شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ
وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى
وَنِعْمَ النَّصِيرُ
"Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah
menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu , dan dalam ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, maka dirikanlah shalat dan berpeganglah kamu pada tali
Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan
sebaik-baik Penolong." (QS. Al-Hajj : 78)
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا
مَوْقُوتًا
"...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS.
An-Nisa : 103)
وَأَقِيمُوا
الصَّلاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku".(QS.
Al-Baqarah : 43)
Dan masih banyak lagi perintah di dalam kitabullah yang
mewajibkan umat Islam melalukan shalat. Paling tidak tercatat ada 12 perintah
dalam Al-Quran lafaz “aqiimush-shalata” (أقيموا الصلاة) yang bermakna "dirikanlah shalat" dengan fi`il
Amr (kata perintah) dengan perintah kepada orang banyak (khithabul jam`i).
Yaitu pada surat
:
§ Al-Baqarah
ayat 43, 83 dan110
§ Surat
An-Nisa ayat 177 dan 103
§ Surat Al-An`am ayat 72
§ Surat
Yunus ayat 87
§ Surat Al-Hajj : 78
§ Surat
An-Nuur ayat 56
§ Surat
Luqman ayat 31
§ Surat
Al-Mujadalah ayat 13
§ Surat
Al-Muzzammil ayat 20.
Ada 5 perintah shalat dengan lafaz "aqimish-shalata"
(أقم الصلاة) yang bermakna "dirikanlah shalat"
dengan khithab hanya kepada satu orang. Yaitu pada :
§ Surat
Huud ayat 114
§ Surat
Al-Isra` ayat 78
§ Surat
Thaha ayat 14
§ Surat
Al-Ankabut ayat 45
§ Surat
Luqman ayat 17.
2. Dalil dari As-Sunnah
Di dalam sunnah Raulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
ada banyak sekali perintah shalat sebagai dalil yang kuat dan qath`i
tentang kewajiban shalat. Diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini :
عَنْ
أَبِي عَبْدِالرَّحْمَنَ عَبْدِالله بْنِ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
قَالَ : سمَِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ rيَقُوْلُ : بُنِيَ الإِسْلاَمُ
عَلَى خمَسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ
اللهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وِإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَحَجِّ البَيْتِ ، وَصَوْمِ
رَمَضَانَ رواه
البخاري و مسلم
Dari Ibni Umar radhiyallahu
‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Islam didirikan di atas lima
hal. Sahadat bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah, penegakan shalat, pelaksanaan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan haji ke
Baitullah bila mampu". (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Dalil dari Ijma`
Bahwa seluruh umat Islam sejak zaman nabi shallallahu
‘alaihi wasallam hingga hari ini telah bersepakat atas adanya kewajiban
shalat dalam agama Islam. Lima
kali dalam sehari semalam.
Dengan adanya dalil dari Quran, sunnah dan ijma` di atas,
maka lengkaplah dalil kewajiban shalat bagi seorang muslim. Maka mengingkari
kewajiban shalat termasuk keyakianan yang menyimpang dari ajaran Islam, bahkan
bisa divonis kafir bila meninggalkan shalat dengan meyakini tidak adanya
kewajiban shalat.
D. Hukum Orang yang Meninggalkan
Shalat
Para ulama sepakat bahwa
seorang muslim yang sudah akil baligh bila meninggalkan shalat dengan
mengingkari kewajibannya adalah kafir dan murtad (keluar) dari agama Islam,
sehingga halal darahnya. Pihak pemerintah Islam melalui mahkamah syar`iyah
berhak memvonis mati orang yang murtad karena mengingkari kewajiban shalat.
Namun bila seseorang tidak shalat karena malas atau lalai,
sementara dalam keyakinannya masih ada pendirian bahwa shalat itu adalah ibadah
yang wajib dilakukan, maka dia adalah fasik dan pelaku maksiat. Demikian juga
vonis kafir tidak bisa dijatuhkan kepada orang meninggalkan shalat karena
seseorang baru saja masuk Islam atau karena tidak sampai kepada mereka dakwah
Islam yang mengajarkan kewajiban shalat.
Secara duniawi, hukuman seorang muslim yang tidak mau
mengerjakan shalat menurut para ulama antara lain :
1. Al-Hanafiyah
Menurut kalangan Al-Hanafiyah, orang muslim yang tidak mau
mengerjakan shalat hukumannya di dunia ini adalah dipenjara atau dipukul dengan
keras hingga keluar darahnya. Hingga dia merasa kapok dan mau mengerjakan
shalat. Bila tidak mau juga, maka dibiarkan terus di dalam penjara hingga mati.
Namun dia tidak boleh dibunuh kecuali nyata-nyata mengingkari kewajiban shalat.
Seperti berkeyakinan secara sadar sepenuhnya bahwa di dalam Islam tidak ada
perintah shalat.
2. Ulama lainnya
Sedangkan para ulama lainnya mengatakan bahwa bila ada
seorang muslim yang malas tidak mau mengerjakan shalat tanpa ‘udzur syar`i,
maka dia dituntun untuk bertobat (yustatab) dengan masa waktu tiga hari.
Artinya bila selama tiga hari itu dia tidak bertaubat dan kembali menjalankan
shalat, maka hala darahnya dan boleh dibunuh.
3. Al-Malikiyah dan Asy-Syafi`iyah
Mereka mengatakan kebolehan untuk dibunuhnya itu karena
dasar hudud (hukum dari Allah), bukan karena pelakunya kafir. Sehingga
orang itu tidak dianggap sebagai kafir yang keluar dari Islam. Kondisinya sama
dengan seorang muslim yang berzina, mencuri, membunuh dan sejenisnya. Mereka
ini wajib dihukum hudud meski statusnya tetap muslim. Sehingga jasadnya pun
tetap harus dishalatkan dan dikuburkan di pekuburan Islam.
Jumhur ulama sepakat bahwa muslim yang tidak mengerjakan
shalat bukan karena jahd (sengaja tidak mengakui kewajiban shalat),
tidak dianggap orang kafir. Dasarnya adalah firman Allah SWT :
إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ
مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا
عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang
besar.(QS. An-Nisa : 48)
Sedangkan imam Ahmad mengatakan bahwa seorang muslim yang
meninggalkan shalat harus dibunuh atas dasar bahwa dirinya telah kafir.
Pendapat itu didasarkan pada firman Allah SWT :
فَإِذَا
انسَلَخَ الأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُواْ الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ
وَجَدتُّمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُواْ لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ
فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَخَلُّواْ
سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah
orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah
mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka
bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan
kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha
Penyayang. (QS. At-Taubah : 5)
Juga ada dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam :
Batas antara seorang dengan kekafiran adalah meninggalkan shalat
(HR. Jamaah kecuali Bukhari)
Namun pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam masalah
ini adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa bila seorang tidak
shalat hanya karena alasan malas, lalai atau baru masuk Islam, maka tidak
dianggap kafir. Barulah dikatakan kafir kalau dia secara tegas menolak atau tidak menerima adanya kewajiban shalat
dalam Islam.
E. Shalat Dalam Berbagai Kondisi
Shalat lima
waktu adalah kewajiban / fardhu `ain bagi setiap muslim dan muslimah. Allah
telah menentukan waktu-waktunya. Sebagaimana Allah SWT juga telah memberikan
rukhsah / keringanan bagi musafir atau orang sakit dalam pelaksanaannya.
Namun rukhsah (keringanan) yang Allah berikan tidak
berarti boleh dikerjakan sesukanya. Tayammum misalnya, baru boleh dikerjakan
bila memang tidak didapat air setelah berusaha mencarinya. Namun dalam kondisi
seseorang berada di tengah peradaban atau kota,
tidak bisa dikatakan bahwa dia boleh bertayammum. Bukankah di tengah jalanan
yang macet itu justru banyak penjaja minuman kemasan? Apakah minuman
kemasan bukan termasuk air? Bukankah di kanan kiri jalan itu ada gedung
yang pasti memiliki kran air? Karena itu bertayammum di tengah kota yang berlimpah dengan
air tidak dapat dibenarkan.
Begitu juga dengan menjama` shalat Maghrib dan Isya`. Waktu
Maghrib memang sangat sempit sehingga harus segera dikerjakan. Tetapi waktu
`Isya` sangat panjang hingga menjelang subuh. Karena itu tidak ada alasan untuk
menjama` shalat Isya` dengan Maghrib.
Selain itu juga harus diperhatikan syarat dibolehkannya
menjama` dua shalat yaitu bila dalam keadaan safar atau perjalanan. Sedangkan
dia masih dalam kategori bukan safar karena masih berada di dalam kota. Safar adalah
perjalanan keluar kota
yang secara jarak memang ada perbedaan para ulama dalam batas-batasnya. Namun
tidak dikatakan safar bila masih dalam kota
sendiri. Ini adalah pendapat yang paling kuat.
Jadi yang harus diakukan adalah membuat perhitungan
bagaimana agar bisa shalat Maghrib tepat pada waktunya. Misalnya bila dalam
perjalanan pulang harus berganti bus, usahakan saat berganti bus itu untuk
mencari tempat shalat.
Dalam hal ini tidak harus berupa masjid atau mushalla,
tetapi sebuah tempat yang bersih di mana saja asal bisa melakukan shalat. Bisa
terminal, emper toko, halaman, trotoar dan sebagainya. Karena kelebihan umat
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dijadikan bumi ini
sebagai masjid, dimana pun kamu harus shalat maka shalatlah di mana pun di muka
bumi.
Yang penting sudah punya wudhu. Bila tidak, bisa membawa
bekal sebuah botol kemasan yang diisi dengan air dan berwudlu` cukup dengan air
sebotol itu. Ini lebih ekonomis dari pada membeli air minum kemasan yang dijual
di jalan.
Alternatif kedua seperti yang dilakukan oleh banyak orang,
kita bisa menunda waktu pulang hingga maghrib tiba lalu tunaikan shalat maghrib
di tempat kerja. Setelah itu barulah pulang ke rumah. Konon bila pulang di atas
Mahgrib, kemacetan jalan sudah mulai berkurang. Sedangkan shalat Isya` cukup
dilakukan nanti di rumah karena waktu masih panjang.
Dalam kasus tertentu, bila memang bus itu khusus karyawan
dan bus jemputan yang mana teman-teman seperjalanannya sudah saling kenal, maka
tidak ada salahnya bila jadi pelopor dengan mengusulkan kepada mereka agar bus
itu bisa berhenti sejenak di pinggir tol agar bisa memberikan kesempatan kepada
mereka yang muslim untuk mengerjakan shalat maghrib. Mungkin ide ini dianggap
gila atau mengada-ada, tapi tidak ada salahnya dicoba? □
Waktu-waktu Shalat Fardhu
A. Shalat Pada Waktunya
Shalat hanya boleh dikerjakan pada waktu-waktu yang sudah
ditetapkan oleh Allah SWT. Bila shalat dikerjakan di luar waktu yang telah
ditetapkan, maka shalat itu tidak sah.
Kecuali bila ada uzur tertentu yang memang secara syariah
bisa diterima. Seperti mengerjakana shalat dengan dijama` pada waktu shalat
lainnya. Atau shalat buat orang yang terlupa atau tertidur, maka pada saat
sadar dan mengetahui ada shalat yang luput, dia wajib mengerjakannya meski
sudah keluar dari waktunya. Ada
pun bila mengerjakan shalat di luar waktunya dengan sengaja dan diluar
ketentuan yang dibenarkan syariat, maka shalat itu menjadi tidak sah.
Dalam hal keharusan melakukan shalat pada waktunya, Allah
SWT telah berfirman dalam Al-Quran :
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا
مَوْقُوتًا
"...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS.
An-Nisa : 103)
B. Waktu-waktu Shalat Fardhu di Dalam
Al-Quran
Di dalam Al-Quran sesungguhnya sudah ada sekilas tentang
penjelasan waktu-waktu shalat fardhu, meski tidak terlalu jelas diskripsinya.
Namun paling tidak ada tiga ayat di dalam Al-Quran yang membicarakan
waktu-waktu shalat secara global.
وَأَقِمِ
الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ
يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ
"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang dan pada
bahagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu
menghapuskan perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang
yang ingat"(QS. Huud : 114)
Menurut para mufassriin, di ayat ini disebutkan waktu
shalat, yaitu kedua tepi siang , yaitu shalat shubuh dan ashar. Dan pada
bahagian permulaan malam, yaitu Maghrib dan Isya`.
Ayat kedua
أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ
اللَّيْلِ وَقُرْءَانَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْءَانَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam dan Qur`anal fajri. Sesungguhnya Qur`anal fajri itu disaksikan (QS.
Al-Isra` : 78)
Menurut para mufassrin, di dalam ayat ini disebutkan waktu
shalat yaitu sesudah matahari tergelincir , yaitu shalat Zhuhur dan Ashar.
Sedangkan gelap malam adalah shalat Maghirb dan Isya` dan Qur`anal fajri yaitu
shalat shubuh.
C. Waktu-waktu Shalat Fardhu di Dalam
Al-Hadits
Sedangkan bila ingin secara lebih spasifik mengetahui dalil
tentang waktu-waktu shalat, kita bisa merujuk kepada hadits-hadits Rasululah shallallahu
‘alaihi wasallam yang shahih dan qath`i. Tidak kalah qath`inya
dengan dalil-dalil dari Al-Quran Al-Kariem. Diantaranya adalah hadits-hadits
berikut ini :
عَنِ
ْبنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ النَّبِيَّ rجَاءَهُ
جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمِ فَقَالَ لَهُ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ الظُّهْرَ
حَتىَّ زَالَتِ الشَّمْسُ ، ثُمَّ جَاءَهُ العَصْرُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ
فَصَلىَّ العَصرِ حِيْنَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ ، ثُمَّ جَاءَهُ
المَغْرِبُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ المَغْرِبَ حِيْنَ وَجَبَتِ
الشَّمْسُ ، ثُمَّ جَاءَهُ العِشَاءُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلهِِّ فَصَلىَّ العِشَاءُ
حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ ، ثُمَّ جَاءَهُ الفَجْرُ حِيْنَ بَرِقَ الفَجْرُ –أَوْ
قَالَ حِيْنَ طَلَعَ الفَجْرُ - فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ فَصَلىَّ الصُّبْحَ
حِيْنَ بَرِقَ الفَجْرُ.
Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam didatangi oleh Jibril ‘alaihissalam dan berkata kepadanya,"Bangunlah
dan lakukan shalat". Maka beliau melakukan shalat Zhuhur ketika matahari
tergelincir. Kemudian waktu Ashar menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan
lakukan shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat
Ashar ketika panjang bayangan segala benda sama dengan panjang benda itu.
Kemudian waktu Maghrib menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan
shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Maghrib
ketika mayahari terbenam. Kemudian waktu Isya` menjelang dan Jibril
berkata,"Bangun dan lakukan shalat". Maka beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam melakukan shalat Isya` ketika syafaq (mega merah) menghilang. Kemudian
waktu Shubuh menjelang dan Jibril berkata,"Bangun dan lakukan shalat".
Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat Shubuh ketika waktu
fajar menjelang. (HR. Ahmad, Nasai dan Tirmizy. ) [1]
Selain itu ada hadits lainnya yang juga menjelaskan tentang
waktu-waktu shalat. Salah satunya adalah hadits berikut ini :
عَنِ
السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ rقَالَ :لاَ
تَزَالُ أُمَّتِي عَلَى الفِطْرَةِ مَا صَلُّوا المَغْرِبَ قَبْلَ طُلُوْعِ
النُّجُوْمِ – رواه أحمد والطبراني
Dari As-Saib bin Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,"Ummatku selalu berada dalam kebaikan atau dalam
fithrah selama tidak terlambat melakukan shalat Maghrib, yaitu sampai muncul
bintang".(HR. Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim dalam
Al-Mustadrak)
D. Lebih Detail Tentang Waktu
Shalat Dalam Kitab-kitab Fiqih
Dari isyarat dalam Al-Quran serta keterangan yang lebih
jelas dari hadits-hadits nabawi, para ulama kemudian menyusun tulisan dan karya
ilmiah untuk lebih jauh mendiskripsikan apa yang mereka pahami dari nash-nash
itu. Maka kita dapati deskripsi yang jauh lebih jelas dalam kitab-kitab fiqih
yang menjadi masterpiece para fuqoha. Diantaranya yang bisa disebutkan adalah :
§ Kitab
Fathul Qadir jilid 1 halaman 151-160,
§ Kitab
Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 331 s/d 343,
§ Kitab
Al-Lubab jilid 1 halaman 59 - 62,
§ Kitab
Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 43,
§ Kitab
Asy-Syarhu Ash-Shaghir jilid 1 halaman 219-338,
§ Kitab
Asy-Syarhul-Kabir jilid 1 halaman 176-181,
§ Kitab
Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 121 - 127,
§ Kitab
Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 51 - 54 dan
§ Kitab
Kasysyaf Al-Qanna` jilid 1 halaman 289 - 298.
Di dalam kitab-kitab itu kita dapati keterangan yang jauh
lebih spesifik tentang waktu-waktu shalat. Kesimpulan dari semua keterangan itu
adalah sebagai berikut :
1. Waktu Shalat Fajr (Shubuh)
Dimulai sejak terbitnya
fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Fajar dalam istilah bahasa arab
bukanlah matahari. Sehingga ketika disebutkan terbit fajar, bukanlah terbitnya
matahari. Fajar adalah cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur
yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit.
Ada
dua macam fajar, yaitu fajar kazib dan fajar shadiq. Fajar
kazib adalah fajar yang `bohong` sesuai dengan namanya. Maksudnya, pada
saat dini hari menjelang pagi, ada cahaya agak terang yang memanjang dan
mengarah ke atas di tengah di langit. Bentuknya seperti ekor sirhan
(srigala), kemudian langit menjadi gelap kembali. Itulah fajar kazib.
Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu fajar
yang benar-benar fajar yang berupa cahaya putih agak terang yang menyebar di
ufuk Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit. Fajar ini
menandakan masuknya waktu shubuh.
Jadi ada dua kali fajar sebelum matahari terbit. Fajar yang
pertama disebut dengan fajar kazib dan fajar yang kedua disebut dengan fajar
shadiq. Selang beberapa saat setelah fajar shadiq, barulah terbit matahari
yang menandakan habisnya waktu shubuh. Maka waktu antara fajar shadiq dan
terbitnya matahari itulah yang menjadi waktu untuk shalat shubuh.
Di dalam hadits disebutkan tentang kedua fajar ini :
أَبِي مُوسَى:
فَأَقَامَ اَلْفَجْرَ حِينَ اِنْشَقَّ اَلْفَجْرُ, وَالنَّاسُ لا يَكَادُ يَعْرِفُ
بَعْضُهُمْ بَعْضًا رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan makan
dan menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat (shalat Shubuh)
dan menghalalkan makan.". (HR. Ibnu Khuzaemah dan Al-Hakim)
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r اَلْفَجْرُ فَجْرَانِ:
فَجْرٌ يُحَرِّمُ اَلطَّعَامَ وَتَحِلُّ فِيهِ اَلصَّلاةُ, وَفَجْرٌ تَحْرُمُ
فِيهِ اَلصَّلاةُ - أَيْ: صَلاةُ اَلصُّبْحِ - وَيَحِلَّ فِيهِ اَلطَّعَامُ رَوَاهُ اِبْنُ
خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَصَحَّحَاهُ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,"Fajar itu ada dua macam. Pertama,
fajar yang mengharamkan makan dan menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang
mengharamkan shalat (shalat Shubuh) dan menghalalkan makan.". (HR. Ibnu
Khuzaemah dan Al-Hakim)
Batas akhir waktu shubuh adalah terbitnya matahari
sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ r قَالَ: وَوَقْتُ صَلاةِ اَلصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ اَلْفَجْرِ مَا
لَمْ تَطْلُعْ اَلشَّمْسُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,"Dan waktu shalat shubuh dari terbitnya fajar
(shadiq) sampai sebelum terbitnya matahari". (HR.
Muslim)
2. Waktu Shalat Zhuhur
Dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala namun
sudah mulai agak condong ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam
terjemahan bahasa Indonesia adalah tergelincirnya matahari. Sebagai terjemahan
bebas dari kata zawalus syamsi. Namun istilah ini seringkali
membingungkan karena kalau dikatakan bahwa `matahari tegelincir`, sebagian orang
akan berkerut keningnya, "Apa yang dimaksud dengan tergelincirnya
matahari?".
Zawalusy-syamsi adalah waktu di mana posisi matahari
ada di atas kepala kita, namun sedikit sudah mulai bergerak ke arah barat. Jadi
tidak tepat di atas kepala.
Dan waktu untuk
shalat zhuhur ini berakhir ketika panjang bayangan suatu benda menjadi sama
dengan panjang benda itu sendiri. Misalnya kita menancapkan tongkat yang
tingginya 1 meter di bawah sinar matahari pada permukaan tanah yang rata.
Bayangan tongkat itu semakin lama akan semakin panjang seiring dengan semakin
bergeraknya matahari ke arah barat. Begitu panjang bayangannya mencapai 1
meter, maka pada saat itulah waktu Zhuhur berakhir dan masuklah waktu shalat
Ashar.
Ketika tongkat itu tidak punya bayangan baik di sebelah
barat maupun sebelah timurnya, maka itu menunjukkan bahwa matahari tepat berada
di tengah langit. Waktu ini disebut dengan waktu istiwa`. Pada saat itu,
belum lagi masuk waktu zhuhur. Begitu muncul bayangan tongkat di sebelah timur
karena posisi matahari bergerak ke arah barat, maka saat itu dikatakan zawalus-syamsi
atau `matahari tergelincir`. Dan saat itulah masuk waktu zhuhur.
Namun hukumnya mustahab bila sedikit diundurkan bila siang
sedang panas-panasnya, dengan tujuan agar memudahkan dan bisa menambah khusyu’[2]
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam berikut ini :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : كَانَ
النَّبِيّ r إِذَا اشْتَدَّ البَرْدُ بَكَّرَ بِالصَّلاَةِ وَإِذَا اشْتَدَّ الحَرُّ أَبْرَدَ بِالصَّلاَةِ
رواه
البخاري
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bila dingin sedang menyengat, menyegerakan shalat.
Tapi bila panas sedang menyengat, beliau mengundurkan shalat. (HR.
Bukhari)
3. Waktu Shalat Ashar
Waktu shalat Ashar dimulai tepat ketika waktu shalat Zhuhur
sudah habis, yaitu semenjak panjang bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya
dengan panjang benda itu sendiri. Dan selesainya waktu shalat Ashar ketika
matahari tenggelam di ufuk barat. Dalil yang menujukkan hal itu antara lain
hadits berikut ini :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَالَ: مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلِ أَنْ
تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ
اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Orang yang mendapatkan satu rakaat dari shalat shubuh sebelum
tebit matahari, maka dia termasuk orang yang mendapatkan shalat shubuh. Dan
orang yang mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka
dia termasuk mendapatkan shalat Ashar". (HR.
Muttafaq ‘alaihi).
Namun jumhur ulama mengatakan bahwa dimakruhkan melakukan
shalat Ashar tatkala sinar matahari sudah mulai menguning yang menandakan
sebentar lagi akan terbenam. Sebab ada hadits nabi yang menyebutkan bahwa
shalat di waktu itu adalah shalatnya orang munafiq.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : سمَِعْتُ رَسُولَ اللهِ rيَقُولُ : تِلْكَ صَلاَةُ
المُنَافِقِ يجَلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى
إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَي الشَّيْطَانَ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ
اللهَ إِلاَّ قَلِيْلاً رواه الجماعة ، إلا
البخاري ، وابن ماجة
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,”Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"...Itu adalah shalatnya
orang munafik yang duduk menghadap matahari hingga saat matahari berada di
antara dua tanduk syetan, dia berdiri dan membungkuk 4 kali, tidak menyebut
nama Allah kecuali sedikit". (HR. Jamaah kecuali Bukhari
dan Ibnu Majah).
Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa waktu Ashar sudah
berakhir sebelum matahari terbenam, yaitu pada saat sinar matahari mulai
menguning di ufuk barat sebelum terbenam.
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ r قَالَ: وَوَقْتُ اَلْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ اَلشَّمْسُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Dan
waktu shalat Ashar sebelum matahari menguning".(HR.
Muslim)
Shalat Ashar adalah shalat wustha menurut sebagian
besar ulama. Dasarnya adalah hadits Aisah ra.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ رَسُولَ الله r قَالَ:حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ
الْوُسْطَى - والصَّلاَةُ الْوُسْطَى صَلاَةُ الْعصرِ
Dari Aisah radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat
:"Peliharalah shalat-shalatmu dan shalat Wustha". Dan shalat Wustha
adalah shalat Ashar. (HR. Abu Daud dan Tirmizy dan dishahihkannya)
Dari Ibnu Mas`ud dan Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Shalat Wustha adalah
shalat Ashar". (HR. Tirmizy)
Namun masalah ini memang termasuk dalam masalah yang diperselisihkan
para ulama. Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar jilid 1 halaman 311
menyebutkan ada 16 pendapat yang berbeda tentang makna shalat Wustha. Salah
satunya adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa shalat Wustha adalah
shalat ashar. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa shalat itu adalah shalat
shubuh.
4. Waktu Shalat Maghrib
Dimulai sejak
terbenamnya matahari dan hal ini sudah menjadi ijma` (kesepakatan) para ulama.
Yaitu sejak hilangnya semua bulatan matahari di telan bumi. Dan berakhir hingga
hilangnya syafaq (mega merah). Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam :
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ r قَالَ: وَوَقْتُ صَلاةِ اَلْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ
اَلشَّفَقُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abdullah bin Amar
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Waktu Maghrib sampai hilangnya shafaq (mega)". (HR.
Muslim).
Syafaq menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan
As-Syafi`iyah adalah mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari
di ufuk barat. Sedangkan Abu Hanifah berpendapt bahwa syafaq adalah warna
keputihan yang berada di ufuk barat dan masih ada meski mega yang berwarna
merah telah hilang. Dalil beliau adalah :
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Dan akhir waktu Maghrib adalah hingga langit menjadi
hitam". (HR. Tirmizy)
Namun menurut kitab Nashbur-rayah bahwa hadits ini
sanadnya tidak shahih.
5. Waktu Shalat Isya`
Dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib sepanjang malam
hingga dini hari tatkala fajar shadiq terbit. Dasarnya adalah ketetapan dari
nash yang menyebutkan bahwa setiap waktu shalat itu memanjang dari berakhirnya
waktu shalat sebelumnya hingga masuknya waktu shalat berikutnya, kecuali shalat
shubuh.
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ t أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَالَ: إِنَّمَا اَلتَّفْرِيطُ أَنْ يُؤَخِّرَ الصَّلاةَ حَتَّى يَدْخُلَ
وَقْتُ الأُخْرَى " أَخْرَجَهُ مُسْلِم
Dari Abi Qatadah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Tidaklah tidur itu menjadi tafrith, namun tafrith itu bagi orang
yang belum shalat hingga datang waktu shalat berikutnya". (HR.
Muslim)
Sedangkan waktu mukhtar (pilihan) untuk shalat `Isya`
adalah sejak masuk waktu hingga 1/3 malam atau tengah malam. Atas dasar hadits
berikut ini.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: أَعْتَمَ
رَسُولُ اَللَّهِ r ذَاتَ لَيْلَةٍ بِالْعَشَاءِ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اَللَّيْلِ
ثُمَّ خَرَجَ, فَصَلَّى وَقَالَ: "إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلا أَنْ
أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengakhirkan / menunda shalat Isya` hingga leat tengah malam,
kemudian beliau keluar dan melakukan shalat. Lantas beliau bersabda,"Seaungguhnya
itu adalah waktunya, seandainya aku tidak memberatkan umatku.". (HR.
Muslim)
وَعَنْ أَبِي بَرْزَةَ
الاسْلَمِيِّ قَالَ: وَكَانَ يَسْتَحِبُّ أَنْ يُؤَخِّرَ
مِنْ اَلْعِشَاءِ, وَكَانَ يَكْرَهُ
اَلنَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ
بَعْدَهَا مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Dari Abi Bazrah Al-Aslami berkata,”Dan Rasulullah suka menunda
shalat Isya’, tidak suka tidur sebelumnya dan tidak suka mengobrol sesudahnya. (HR.
Muttafaq ‘alaihi)
عن جَابِرٍ قال:
وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا إِذَا رَآهُمْ اِجْتَمَعُوا عَجَّلَ,
وَإِذَا رَآهُمْ أَبْطَئُوا أَخَّرَ,
وَالصُّبْحَ: كَانَ اَلنَّبِيَّ r يُصَلِّيهَا بِغَلَسٍ
Dan waktu Isya’ kadang-kadang, bila beliau shallallahu 'alaihi
wasallam melihat mereka (para shahabat) telah berkumpul, maka dipercepat. Namun
bila beliau melihat mereka berlambat-lambat, maka beliau undurkan. (HR.
Bukhari Muslim)
E. Waktu Shalat Yang Diharamkan
Ada lima waktu dalam sehari semalam yang
diharamkan untuk dilakukan shalat di dalamnya. Tiga di antaranya terdapat dalam
satu hadits yang sama, sedangkan sisanya yang dua lagi berada di dalam hadits
lainnya.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ
عَامِرٍ ثَلاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّي فِيهِنَّ, وَأَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ
اَلشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ, وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ اَلظَّهِيرَةِ
حَتَّى تَزُولَ اَلشَّمْسُ, وَحِينَ تَتَضَيَّفُ اَلشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari 'Uqbah bin 'Amir Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu berkata,"Ada tiga waktu shalat yang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami untuk melakukan shalat
dan menguburkan orang yang meninggal di antara kami. [1] Ketika matahari terbit
hingga meninggi, [2] ketika matahari tepat berada di tengah-tengah cakrawala
hingga bergeser sedikit ke barat dan [3] berwarna matahari berwarna kekuningan
saat menjelang terbenam. .(HR. Muslim)
Sedangkan dua waktu lainnya terdapat di dalam satu hadits
berikut ini :
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ t
قَالَ: سَمِعْتَ رَسُولَ اَللَّهِ r يَقُولُ: لا صَلاةَ بَعْدَ اَلصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ
وَلا صَلاةَ بَعْدَ اَلْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ اَلشَّمْسُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidak ada
shalat setelah shalat shubuh hingga matahari terbit. Dan tidak ada shalat
sesudah shallat Ashar hingga matahari terbenam.(HR.
Bukhari dan Muslim).
Kedua waktu ini hanya melarang orang untuk melakukan shalat
saja, sedangkan masalah menguburkan orang yang wafat, tidak termasuk larangan.
Jadi boleh saja umat Islam menguburkan jenazah saudaranya setelah shalat shubuh
sebelum matahari terbit, juga boleh menguburkan setelah shalat Ashar di sore
hari.
Maka kalau kedua hadits di atas kita simpulkan dan
diurutkan, kita akan mendapatkan 5 waktu yang di dalamnya tidak diperkenankan
untuk melakukan shalat, yaitu :
a. Setelah shalat shubuh hingga
matahari agak meninggi.
Tingginya matahari sebagaimana di sebutkan di dalam hadits
Amru bin Abasah adalah qaida-rumhin aw
rumhaini. Maknanya adalah matahari terbit tapi baru saja muncul dari balik
horison setinggi satu tombak atau dua tombak. Dan panjang tombak itu kira-kira
2,5 meter 7 dzira' (hasta). Atau 12 jengkal sebagaimana disebutkan oleh
mazhab Al-Malikiyah.
b. Waktu Istiwa`
Yaitu ketika matahari tepat berada di atas langit atau di
tengah-tengah cakrawala. Maksudnya tepat di atas kepala kita. Tapi begitu
posisi matahari sedikit bergeser ke arah barat, maka sudah masuk waktu shalat
Zhuhur dan boleh untuk melakukan shalat sunnah atau wajib.
c. Saat Terbenam Matahari
Yaitu saat-saat langit di ufuk barat mulai berwarna
kekuningan yang menandakan sang surya akan segera menghilang ditelan bumi.
Begitu terbenam, maka masuklah waktu Maghrib dan wajib untuk melakukan shalat
Maghrib atau pun shalat sunnah lainnya.
d. Setelah Shalat Shubuh Hingga
Matahari Terbit
Namun hal ini dengan pengecualian untuk qadha' shalat sunnah
fajar yang terlewat. Yaitu saat seseorang terlewat tidak melakukan shalat
sunnah fajar, maka dibolehkan atasnya untuk mengqadha'nya setelah shalat
shubuh.
e. Setelah Melakukan Shalat
Ashar Hingga Matahari Terbenam.
Maksudnya bila seseorang sudah melakukan shalat Ahsar, maka
haram baginya untuk melakukan shalat lainnya hingga terbenam matahari, kecuali
ada penyebab yang mengharuskan. Namun bila dia belum shalat Ashar, wajib
baginya untuk shalat Ashar meski sudah hampir maghrib.
Bila Waktu Shalat Telah Lewat
Bila seseorang bangun kesiangan dari tidurnya dan belum
shalat shubuh, maka yang harus dilakukan adalahsegera shalat shubuh pada saat
bangun tidur. Tidak diqadha dengan zhuhur pada siangnya atau esoknya.
Sebab kita telah mendapatkan keterangan jelas tentang hal itu dari apa yang
dialami oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Beliau dan
beberapa shahabat pernah bangun kesiangan dan melakukan shalat shubuh setelah
matahari meninggi.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ : مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا لا
كَفَّارَةَ لَهَا إلا ذَلِكَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,"Barang siapa yang ketiduran (sampai tidak menunaikan shalat)
atau lupa melaksanakannya, maka ia hendaklah menunaikannya pada saat ia
menyadarinya”. (HR Muttafaq alaihi)
Oleh karena itu, orang-orang yang kesiangan wajib menunaikan
shalat shubuh tersebut pada saat ia tersadar atau terbangun dari tidurnya
(tentunya setelah bersuci terlebih dahulu), walaupun waktu tersebut termasuk
waktu-waktu yang terlarang melaksanakan shalat. Karena pelarangan shalat pada
waktu-waktu tersebut berlaku bagi shalat-shalat sunnah muthlak yang tidak ada
sebabnya. Sedangkan bagi shalat yang memiliki sebab tertentu, seperti halnya
orang yang ketiduran atau kelupaan, diperbolehkan melaksanakan shalat tersebut
pada waktu-waktu terlarang.
Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ t أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ r قَالَ: مَنْ أَدْرَكَ مِنْ اَلصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْل أَنْ
تَطْلُعَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلصُّبْحَ, وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ
اَلْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ اَلشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ اَلْعَصْرَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat sebelum matahari terbit
maka dia telah mendapatkan shalat tersebut (shalat shubuh)." (HR Bukhari
dan Muslim)
Salah satu rahasia untuk bisa bangun di waktu shubuh bukan
memasang alarm, tetapi dengan cara tidur di awal malam. Kebiasaan tidur terlalu
larut malam akan menyebabkan badan lesu dan juga sulit bangun shubuh.
Orang yang tidur di awal malam, pada jam 04.00 dini hari
sudah merasakan istirahat yang cukup. Secara biologis, tubuh akan bangun dengan
sendirinya, bergitu juga dengan mata.
Sebaliknya, orang yang tidur larut malam, misalnya di atas
jam 24.00, sulit baginya untuk bangun pada jam 04.00 dini hari. Sebab secara
biologis, tubuhnya masih menuntut lebih banyak waktu istirahat lebih banyak.
Tapi yang paling utama dari semua itu adalah niat yang kuat
di dalam dada. Ditambah dengan kebiasaan yang baik, dimana setiap anggota
keluarga merasa bertanggung-jawab untuk saling membangunkan yang lain untuk
shalat shubuh.
Kalau mau memasang alarm, letakkan di tempat yang mudah
terjangkau, deringnya cukup lama dan harusa memekakkan telinga. Jangan diletakkan
di balik bantal, karena biasanya dengan mudah bisa dimatikan lalu tidur lagi. □
Adzan Sebelum Shalat
A. Perngertian Adzan
Adzan dari segi bahasa berarti pengumuman, permakluman atau
pemberitahuan. Sebagaimana ungkapan yang digunakan ayat Al-Quran Al-Kariem
berikut ini :
وَأَذَانٌ
مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الاكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ
بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
وَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ وَبَشِّرِ
الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat
manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas
diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu bertobat, maka bertaubat
itu lebih baik bagimu. dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa
sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada
orang-orang kafir siksa yang pedih.(QS. At-Taubah : 3)
Selain itu, adzan juga bermakna seruan atau panggilan.
Makna ini digunakan ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diperintahkan
untuk memberitahukan kepada manusia untuk melakukan ibadah haji.
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً
وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
Dan panggillah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan
datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang
dari segenap penjuru yang jauh. (QS. Al-Hajj : 27)
Sedangkan secara syariat, definisi adzan adalah
perkataan tertentu untuk memberitahukan masuknya waktu shalat yang fardhu.[3]
Sedangkan dalam kitab Nailul Authar
disebutkan definisi adzan yaitu pengumuman atas waktu shalat dengan lafaz-lafaz
tertentu.
B. Pensyariatan Adzan
Adzan disyariatkan dalam Islam atas dasar dalil dari
al-Quran, As-sunnah dan ijma` para ulama.
§ Dalil
dari Al-Quran
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا
وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ
Dan apabila kamu menyeru untuk shalat, mereka menjadikannya buah
ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum
yang tidak mau mempergunakan akal. (QS. Al-Maidah : 58)
§ Dalil
dari sunnah :
وَعَنْ مَالِكِ بْنِ
الْحُوَيْرِثِ t قَالَ : قَالَ لَنَا اَلنَّبِيُّ r وَإِذَا حَضَرَتِ اَلصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ أَخْرَجَهُ
اَلسَّبْعَةُ
Dari Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami,"Bila waktu shalat telah
tiba, hendaklah ada dari kamu yang beradzan".(HR.
Bukhari dan Muslim)
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ
بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ t قَالَ: طَافَ بِي -وَأَنَا نَائِمٌ- رَجُلٌ فَقَالَ: تَقُولُ:
"اَللَّهُ أَكْبَرَ اَللَّهِ أَكْبَرُ, فَذَكَرَ اَلاذَانَ - بِتَرْبِيع
اَلتَّكْبِيرِ بِغَيْرِ تَرْجِيعٍ, وَالاقَامَةَ فُرَادَى, إِلاَّ قَدْ
قَامَتِ اَلصَّلاةُ - قَالَ: فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ r
فَقَالَ: "إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٍّ..."
Dari Abdullah bin Zaid bin
Abdirabbihi berkata,”Ada
seorang yang mengelilingiku dalam mimpi dan berseru : “Allahu akbar alahu
akbar”, dan (beliau) membacakan adzan dengan empat takbir tanpa tarji’, dan
iqamah dengan satu-satu, kecuali qad qamatishshalah”. Paginya Aku datangi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda,"Itu adalah mimpi yang
benar, Insya Allah. Pergilah kepada Bilal dan sampaikan apa yang kamu lihat
dalam mimpi. Sesungguhnya Bilal itu suaranya lebih terdengar dari
suaramu". (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Selain itu, adzan bukan hanya ditetapkan hanya dengan mimpi
sebagian shahabat saja, melainkan Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam
juga diperlihatkan praktek adzan ketika beliau diisra`kan ke langit.
Dari al-Bazzar meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam diperlihatkan dan diperdengarkan kepadanya di malam Isra`
di atas 7 lapis langit. Kemudian Jibril memintanya maju untuk mengimami
penduduk langit, dimana disana ada Adam ‘alaihissalam dan Nuh
‘alaihissalam Maka Allah menyempurnakan kemuliaannya di antara para
penduduk langit dan bumi.
Namun hadits ini riwayatnya teramat lemah dan gharib.
Riwayat yang shahih adalah bahwa adzan pertama kali berkumandang di Madinah
sebagaimana hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Muslim.
C. Keutamaan Adzan
Adzan memiliki keutamaan yang besar sehingga andai saja
orang-orang tahu keutamaan pahala yang didapat dari mengumandangkan Adzan,
pastilah orang-orang akan berebutan. Bahkan kalau berlu mereka melakukan undian
untuk sekedar bisa mendapatkan kemuliaan itu. Hal itu atas dasar hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ tأَنَّ رَسُوْلَ اللهِ rقَالَ لَوْ يَعْلَمُ
النَّاسُ مَا فيِ الاآذَانِ وَالصَّفِ الأَوَّلِ ثُمَّ لمَ ْيَجِدُوا إِلاَّ أَنْ
يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا رواه البخاري وغيره
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,"Seandainya orang-orang tahu keutamaan adzan dan
berdiri di barisan pertama shalat (shaff), dimana mereka tidak bisa
mendapatkannya kecuali harus mengundi, pastilah mereka mengundinya di antara
mereka.."(HR. Bukhari)
Selain itu, ada keterangan yang menyebutkan bahwa
nanti di akhirat, orang yang mengumandangkan adzan adalah orang yang
mendapatkan keutamaan dan kelebihan. Di dalam hadits lainnya disebutkan :
عَنْ مُعَاوِيَةَ t
أَنَّ النّبِيَّ rقَالَ: إِنَّ المُؤَذِّنِيْنَ
أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ القِيَامَةِ رواه أحمد ومسلم وابن
ماجه
Dari Muawiyah radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Orang yang
adzan (muazzin) adalah orang yang paling panjang lehernya di hari kiamat".
(HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah)
Bahkan menurut Asy-syafi`iyah dan Al-Hanabilah,
menjadi muazzin (orang yang mengumandangkan adzan) lebih tinggi kedudukannya
dari pada imam shalat. Dalilnya adalah ayat Quran berikut ini :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً ِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ
وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru
kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku
termasuk orang-orang yang menyerah diri?"(QS.
Fushshilat : 33)
Menurut mereka, makna dari menyeru kepada Allah di dalam
ayat ini adalah mengumandangkan adzan. Berarti kedudukan mereka paling tinggi
dibandingkan yang lain.
Namun pendapat sebaliknya datang dari Al-Hanafiyah, dimana
mereka mengatakan bahwa kedudukan imam shalat lebih utama dari pada kedudukan
orang yang mengumandangkan Adzan. Alasannya adalah bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam dan para khulafaur-rasyidin dahulu adalah imam
shalat dan bukan orang yang mengumandangkan adzan (muadzdzin). Jadi
masuk akal bila kedudukan seorang imam shalat lebih tinggi dari kedudukan
seorang muadzdzin.
D. Hukum Adzan
Hukum adzan menurut jumhur ulama selain al-Hanabilah adalah sunnah
muakkadah, yaitu bagi laki-laki yang
dikerjakan di masjid untuk shalat wajib 5 waktu dan juga shalat Jumat.[4]
Sedangkan selain untuk shalat tersebut, tidak disunnahkan
untuk mengumandangkan adzan, misalnya shalat Iedul Fithri, shalat Iedul Adha,
shalat tarawih, shalat jenazah, shalat gerhana dan lainnya. Sebagai gantinya
digunakan seruan dengan lafaz "Ash-shalatu jamiatan" (الصلاة جامعة). Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits berikut :
Dari Abdullah bin Amru
radhiyallahu ‘anhu bahwa telah terjadi gerhana matahari di masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kepada orang-orang diserukan :
"Ash-shalatu Jami`atan".(HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan bagi jamaah shalat wanita, yang dianjurkan
hanyalah iqamat saja tanpa adzan menurut As-Syafi`iyah dan Al-Malikiyah. Oleh
sebab untuk menghindari fitnah dengan suara adzan wanita. Bahkan iqamat pun
dimakruhkan oleh al-Hanafiyah.
E. Syarat Adzan
Untuk dibenarkannya adzan, maka ada beberapa syarat yang
harus terpenuhi sebelumnya. Diantara syarat-syarat adzan adalah :
a. Telah masuk waktu shalat
Bila seseorang mengumandangkan adzan sebelum masuk waktu
shalat, maka Adzannya itu haram hukumnya sebagaimana telah disepakati oleh para
ulama. Dan bila nanti waktu shalat tiba, harus diulang lagi Adzannya.
Kecuali adzan shubuh yang memang pernah dilakukan 2 kali di
masa Rasulllah shallallahu ‘alaihi wasallam. adzan yang pertama sebelum
masuk waktu shubuh, yaitu pada 1/6 malam yang terakhir. Dan adzan yang kedua
adalah adzan yang menandakan masuknya waktu shubuh. Yaitu pada saat fajar
shadiq sudah menjelang.
b. Harus dengan bahasa arab
Adzan yang dikumandangkan dalam bahasa selain arab tidak sah.
Sebab adzan adalah praktek ibadah yang bersifat ritual, bukan semata-mata
panggilan atau menandakan masuknya waktu shalat.
c. Dilakukan oleh satu orang
Bila adzan dilakukan dengan cara sambung menyambung antara
satu orang dengan orang lainnya dengan cara bergantian, maka hal itu tidak sah.
Sedangkan mengumandangkan adzan dengan beberapa suara vokal secara berberengan,
dibolehkan hukumnya dan tidak dimakruhkan sebagaimana dikatakan Ibnu Abidin.
Hal ini pertama kali dilakukan oleh Bani Umayyah.
d. Yang mengumandangkannya harus
seorang muslim, laki-laki, akil dan baligh.
Adzan tidak sah bila dikumandangkan oleh non muslim,
wanita, orang tidak waras atau anak kecil. Sebab mereka semua bukan orang yang
punya beban ibadah.
Bahkan Al-Hanafiyah mensyaratkan bahwa orang itu tidak boleh
fasik, bila sudah terjadi maka harus diulangi oleh orang lain yang tidak fasik.
Al-Malikiyah mengatakan bahwa dia harus adil.
e. Harus tertib lafaznya
Tidak boleh terbolak balik dalam mengumandangkan Adzan.
Namun para ulama sepakat bahwa untuk mengumandangkan adzan tidak disyaratkan
harus punya wudhu` juga tidak diharuskan menghadap kiblat, juga tidak
diharuskan berdiri. Hukum semua itu hanya sunnah saja, tidak menjadi syarat sahnya
adzan.
Disunnahkan orang yang mengumandangkan adzan juga orang yang
mengumandangkan iqamat. Namun bukan menjadi keharusan yang mutlak, lantaran di
masa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam, Bilal radhiyallahu ‘anhu
mengumandangkan adzan dan yang mengumandangkan iqamat adalah Abdullah
bin Zaid, shahabat Nabi yang pernah bermimpi tentang adzan. Dan hal itu
dilakukan atas perintah nabi juga. [5]
F. Sunnah Adzan
Hal-hal yang disunnahkan dalam masalah adzan adalah berikut
ini :
a. Yang
mengumandangkan adzan dianjurkan orang yang bersuara lantang dan bagus. Juga
merupakan orang yang shalih, terpercaya, mengetahui waktu-waktu shalat dengan
baik dan sudah akil baligh.
b. Dilakukan
di tempat yang tinggi dekat masjid agar bisa lebih jauh terdengar.
c. Dilakukan
dengan berdiri dan dalam kondisi berwudhu`. Juga dianjurkan untuk meletakkan
jarinya di telinganya agar kuat bersuara lantang. Juga disunnahkan menghadap ke
kiblat kecuali pada lafaz Hayya `alash shalah dan hayya `alal falah,
disunnahkan untuk memalingkan badan ke kanan dan ke kiri tanpa menggeser
kakinya. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
وَعَنْ أَبِي
جُحَيْفَةَ t قَالَ: رَأَيْتُ بِلالاً يُؤَذِّنُ وَأَتَتَبَّعُ فَاهُ هَاهُنَا
وَهَاهُنَا وَإِصْبَعَاهُ فِي أُذُنَيْهِ رَوَاهُ أَحْمَدُ
وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ
Dari Abi Juhaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku melihat
Bilal mengumandangkan adzan dan mulutnya ke kanan dan ke sana dan kesini dan kedua jarinya berada pada
kedua telinganya."(HR. Ahmad dan Tirmizy)
وَلابْنِ مَاجَهْ:
وَجَعَلَ إِصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْه
Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan : Dan dia meletakkan jarinya
berada pada telinganya.
وَلأَبِي دَاوُدَ:
لَوَى عُنُقَهُ, لَمَّا بَلَغَ "حَيَّ عَلَى اَلصّلاةِ " يَمِينًا
وَشِمَالاً وَلَمْ يَسْتَدِرْ وَأَصْلُهُ فِي اَلصَّحِيحَيْنِ
Dalam riwayat Abu Daud disebutkan : beliau memalingkan lehernya
ketika mengucapkan Hayya `alash shalah ke kanan dan ke kiri tapi tidak
berputar.
d. Dilakukan
di awal waktu shalat sehingga
orang-orang bisa melakukan shalat lebih awal.
G. Adzan Selain untuk Shalat
Dr. Wahbah Az-Zuhaily, ulama kontemporer abad 20 menuliskan
dalam kitabnya Al-Fiqhul Islami Wa Adillathu[6]
bahwa selain digunakan untuk shalat, adzan juga dikumandangkan pada beberapa
even kejadian lainnya, seperti :
a. Adzan
untuk bayi yang baru lahir, yaitu pada telinga kanan dan iqamat dikumandangkan
pada telinga kirinya.
b. Pada
waktu terjadi kebakaran
c. Pada
waktu terjadi peperangan
d. Juga
adzan dikumandangkan pada seseorang yang terkena pengaruh jin dan syetan
(kesurupan). Sebab syetan akan lari bila mendengar suara Adzan.
e. Juga
dikumandangkan di bagian belakang orang yang akan bepergian (musafir).
Namun menurut pendapat mazhab Asy-Syafi`i yang muktamad,
adzan tidak disunnahkan ketika memasukkan mayat ke dalam kuburnya. Ini berbeda
dengan praktek umumnya masyarakat di negeri ini yang melakukan pendapat
Asy-Syafiiyah yang tidak muktamad.□
Syarat-syarat Shalat
Syarat shalat adalah hal yang harus terpenuhi untuk sahnya
sebuah ibadah shalat. Syarat ini harus ada sebelum ibadah shalat dilakukan.
Bila salah satu dari syarat ini tidak terdapat, maka shalat itu menjadi tidak sah
hukumnya.
Syarat shalat itu ada dua macam. Pertama, syarat wajib.
Yaitu syarat yang bila terpenuhi, maka seseorang diwajibkan untuk melakukan
shalat. Kedua, syarat sah. Yaitu syarat yang harus terpenuhi agar ibadah
shalat itu menjadi sah hukumnya.
A. Syarat Wajib
Bila semua syarat wajib terpenuhi, maka wajiblah bagi
seseorang yang telah memenuhi syarat wajib untuk melakukan ibadah shalat.
Sebaliknya, bila salah satu dari syarat wajib itu tidak terpenuhi, maka dia
belum diwajibkan untuk melakukan shalat.
Adapun yang termasuk dalam syarat wajib shalat adalah
hal-hal berikut ini.
1. Beragama Islam
Seseorang harus beragama Islam terlebih dahulu agar punya
beban kewajiban shalat. Selama seseorang belum menjadi seoarang muslim, maka
tidak ada beban kewajiban shalat baginya.
Tidak ada konsekuensi hukuman buat non muslim bila tidak
mengerjakan shalat di dunia ini. Namun meski demikian, di akhirat nanti dia
tetap akan disiksa dan dibakar di neraka. Sedangkan seorang muslim bila tidak
shalat, selain disiksa di akhirat, di dunia ini pun harus dijatuhi hukuman oleh
pemerintah Islam atau mahkamah syar`iyah. Itulah yang membedakan antara
kewajiban shalat seorang muslim dengan non muslim.
Namun bila ada seorang kafir yang masuk Islam, tidak ada
kewajiban untuk mengqadha` shalat yang selama ini ditinggalkannya. Hal itu
berdasarkan firman Allah SWT :
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ
مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الاوَّلِينَ
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu : "Jika mereka
berhenti , niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang
sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku sunnah
orang-orang dahulu ".(QS. Al-Anfal : 38)
Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam haditsnya :
عَن
عَمْرُو بْنِ الْعَاصِ t أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ الإِسْلاَمُ يَجُبُّ مَا قَبْلَه رواه أحمد
Dari Amru bin al-Ash
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Keislaman seseorang akan menghapus semua dosa sebelumnya". (HR.
Ahmad, At-Tabarany dan Al-Baihaqi).
Namun sebaliknya, bila ada seorang muslim murtad dari agama
Islam. Lalu masuk lagi ke dalam agama Islam, maka shalat yang pernah
ditinggalkannya wajib digantinya dengan qadha`. Sebagai hukuman untuknya dan
juga karena kekufurannya sesaat itu tidak lah menggugurkan kewajibannya kepada
Allah. Persis seperti hutang seseorang kepada sesama manusia. Tetap wajib
dibayarkan meski seseorang murtad dari Islam.
Namun menurut pendapat kalangan Al-Hanafiyah, orang yang
murtad tidak wajib untuk mengqadha` shalat yang ditinggalkannya, lantaran pada
hakikatnya dia adalah seorang non muslim yang tidak wajib shalat.
2. Baligh
Seorang anak kecil yang belum mengalami baligh tidak wajib
shalat. Dasarnya adalah sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam :
وَعَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا عَنْ اَلنَّبِيِّ r قَالَ: رُفِعَ اَلْقَلَمُ عَنْ ثَلاثَةٍ: عَنِ اَلنَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ, وَعَنِ اَلصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبُرَ وَعَنِ اَلْمَجْنُونِ حَتَّى
يَعْقِلَ أَوْ يَفِيقَ رَوَاهُ أَحْمَدُ
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu
dan Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Pena telah diangkat dari tiga orang, dari seorang yang tidur
hingga terjaga, dari seorang anak kecil hingga mimpi dan dari seorang gila
hingga waras "(HR. Ahmad, Abu Daud, Al-Hakim)
Meskipun demikian, seorang anak kecil yang belum baligh
tetap dianjurkan untuk diperintahkan mengerjakan shalat ketika berusia 7 tahun.
Dan boleh dipukul bila masih belum mau mengerjakannya setelah berusia 10 tahun.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
عَنْ
عَمْرُو بْنِ شُعَيبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ r مُرُوا صِبْيَانَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ
عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فيِ
المَضَاجِعِ رواه
أحمد وأبو داود
Dari Abdullah bin Umar
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Perintahkanlah anakmu untuk shalat pada usia 7 tahun dan
pukullah pada usia 10 tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka (anak-anak laki
dan anak-anak perempuan)".(HR. Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim)
Namun perintah ini bukan untuk anak melainkan kepada para
orang tua, yakni mereka diwajibkan untuk memerintahkan anaknya shalat pada usia
7 tahun. Sebagaimana firman Allah SWT :
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لا
نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah
yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat itu adalah bagi orang yang
bertakwa.".(QS. Thaha : 132)
3. Berakal
Orang yang tidak waras seperti gila, ayan dan berpenyakit
syaraf tidak wajib mengerjakan shalat. Sebab orang yang demikian tidak sadar
diri dan tidak mampu berpikir. Maka tidak ada beban kewajiban beribadah atas
dirinya. Kewajiban shalat hanya ada pada saat mereka sadar dan waras, dimana
terkadang memang seseorang tidak selamanya gila atau hilang akal. Namun begitu
ketidak-sadaran atas dirinya datang, maka dia tidak wajib mengerjakan shalat.
Menurut jumhur ulama, orang yang sempat untuk beberapa saat
hilang kewarasannya, begitu sudah kembali ingatannya tidak wajib mengqadha`
shalat. Namun hal itu berbeda dengan pendapat kalangan Al-Hanafiyah yang justru
mewajibkannya mengqadha` shalat.
Sedangkan bila hilang akal dan kesadaran karena seseorang
mabuk, maka dia wajib mengqadha` shalatnya, karena orang yang mabuk tetap wajib
shalat. Demikian juga hal yang sama berlaku pada orang yang tidur, begitu dia
bangun, wajiblah atasnya mengqadha` shalat yang terlewat. Dalilnya adalah sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ : مَنْ نَسِيَ صَلاةً فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا لا
كَفَّارَةَ لَهَا إلا ذَلِكَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Orang yang lupa shalat hendaklah segera shalat
begitu ingat. Tidak ada kaffarah atasnya kecuali hanya melakukan shalat itu
saja".(HR. Bukhari dan Muslim)
Tiga hal di atas adalah syarat-syarat wajib shalat, dimana
bila syarat itu terpenuhi pada diri seseorang, wajiblah atasnya untuk melakukan
shalat.
B. Syarat Sah Shalat
Sebagaimana dijelaskan di atas, syarat sah shalat
adalah hal-hal yang harus terpenuhi sebelum seseorang mengerjakan shalat agar
shalatnya menjadi sah hukumnya. Diantaranya adalah :
1. Mengetahui Bahwa Waktu Shalat
Sudah Masuk
Bila seseorang melakukan shalat tanpa pernah tahu apakah
waktunya sudah masuk atau belum, maka shalatnya itu tidak memenuhi syarat.
Sebab mengetahui dengan pasti bahwa waktu shalat sudah masuk adalah bagian dari
syarat sah shalat.
Bahkan meski pun ternyata sudah masuk waktunya, namun
shalatnya itu tidak sah lantara pada saat shalat dia tidak tahu apakah sudah
masuk waktunya atau belum.
Tidak ada bedanya, apakah seseorang mengetahui masuknya
shalat dengan yakin atau sekedar berijtihad dengan dasar yang kuat dan bisa
diterima.
Dasar keharusan adanya syarat ini adalah firman Allah SWT :
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا
مَوْقُوتًا
"...Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS.
An-Nisa : 103)
2. Suci dari Hadats Besar dan
Kecil
Hadats besar adalah haidh, nifas dan janabah. Dan untuk
mengangkat / menghilangkan hadats besar harus dengan mandi janabah. Sedangkan
hadats kecil adalah kondisi dimana seseorang tidak punya wudhu atau batal dari
wudhu`nya. Dan untuk mengangkat hadats kecil ini bisa dilakukan dengan wudhu`
atau bertayammum. Allah SWT berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى
الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْوَلَكِنْ
يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik ; sapulah mukamu dan tanganmu dengan
tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.. (QS.
Al-Maidah : 6)
Selain itu ada
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini :
عَنِ
ابنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ الله r قاَلَ : لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,"Allah tidak menerima shalat tanpa
thaharah".(HR. Jamaah kecuali Bukhari)
عَنْ أَبيِ هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُول الله r قَال : لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَة امرِءٍ
مُحْدِثٍ حَتَّى يَتَوَضَأ
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Allah tidak menerima shalat seorang kamu bila berhadats sampai
dia berwudhu`"(HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan
Tirmizy).
3. Suci Badan, Pakaian dan
Tempat Shalat Dari Najis
Tidak sah seseorang shalat dalam keadaan badannya
terkena najis, atau pakaiannya atau tempat shalatnya. Sebelum berwudhu,
wajiblah atasnya untuk menghilangkan najis dan mencucinya hingga suci. Setelah
barulah berwudhu` untuk mengangkat hadats dan mulai shalat. Dalil keharusan
Sucinya badan dari najis adalah
###
"Bila kamu mendapat
haidh, maka tinggalkanlah shalat. Dan bila telah usai haidh, maka cucilah darah
dan shalatlah".(HR. Bukhari dan Muslim)
§
Dalil keharusan sucinya pakaian dari najis
adalah firman Allah SWT :
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
"Dan pakaianmu, bersihkanlah".(QS.
Al-Muddatstsir : 4)
Ibnu Sirin mengatakan bahwa makna ayat ini adalah perintah
untuk mencuci pakaian dengan air.
§ Dalil
keharusan sucinya tempat shalat dari najis
Hadits yang menceritakan seorang arab badawi yang kencing di
dalam masjid. Oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan
untuk menyiraminya dengan seember air.
"Siramilah pada bekas kencingnya
dengan seember air".(HR. )
4. Menutup Aurat
Tidak sah seseorang melakukan shalat bila auratnya
terbuka, meski pun dia shalat sendirian jauh dari penglihatan orang lain. Atau
shalat di tempat yang gelap tidak ada sinar sedikitpun.
Dalil atas kewajiban menutup aurat pada saat melakukan
shalat adalah firman Allah SWT berikut ini :
يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ
عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ
الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap mesjid ,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.".(QS.
Al-A`raf : 31)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa yang
dimaksud dengan perhiasan dalam ayat ini maksudnya adalah pakaian yang menutup
aurat.
Selain itu ada hadits nabi yang menegaskan kewajiban wanita
memakai khimar pada saat shalat.
عَنْ
عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ
بِخِمَارٍ رواه الخمسة إلا النسائي
Dari Aisah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,"Tidak sah shalat seorang wanita yang sudah mendapat
haidh kecuali dengan memakai khimar.(HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasai).
Khimar adalah kerudung yang menutup kepala seorang wanita.
Dari Aisah radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Wahai Asma`,
bila seorang wanita sudah mendapat haidh maka dia tidak boleh terlihat kecuali
ini dan ini". Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menunjuk kepada
wajah dan kedua tapak tangannya. (HR. Abu Daud - hadits mursal).
Kewajiban menutup aurat ini berlaku bagi setiap wanita yang
sudah haidh baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Kecuali di dalam
rumahnya yang terlinding dari penglihatan laki-laki yang bukan mahramnya.
5. Menghadap ke Kiblat
Tidak sah sebuah ibadah shalat manakala tidak
dilakukan dengan menghadap ke kiblat. Dalilnya adalah firman Allah SWT :
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
لِئَلا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ
فَلا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ
تَهْتَدُونَ
"Dan dari mana saja kamu, maka palingkanlah wajahmu ke arah
Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang
zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah
kepada-Ku . Dan agar Ku-sempurnakan ni'mat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat
petunjuk.(QS. Al-Baqarah : 150)
Pengecualian
Namun syarat harus menghadap ke kiblat ini tidak mutlak,
karena masih ada beberapa pengecualian karena ada alasan yang memang tidak
mungkin dihindari.
Pertama : shalat khauf
Dibolehkan tidak menghadap kiblat pada saat shalat khauf,
yaitu shalat yang dilakukan pada saat perang menghadapi musuh. Maka bolehlah
tidak menghadap kiblat tetapi malah menghadap ke arah dimana musuh berada.
Kebolehan ini karena memang telah dilakukan di masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan telah dijelaskan teknisnya dalam hadits-hadits nabawi.
Kedua : shalat nafilah
Boleh tidak menghadap kiblat` pada saat shalat sunnah
(nafilah) di atas kendaraan. Sebab dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah melakukannya.
عَنْ
عَامِرِ بْنِ رَبِيْعَة قَالَ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ r يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ
بِهِ رواه
البخاري ومسلم ، وزاد البخاري : يُوْمِئُ والترمذي : وَلمَ يَكُنْ يَصْنَعُهُ فيِ المَكْتُوبَةِ
Dari Amir bin Rabiah
radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam shalat di atas untanya dengan menghadap kemana pun arah untanya. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Al-Bukhari menambahkan : “beliau membungkuk (saat rukuk dan
sujud)”. At-Tirmizy berkata,”Namun beliau tidak melakukanya pada shalat wajib”.
Ketiga : dalam keadaan sakit
Al-Malikiyah dan Al-Hanafiyah memberikan kelonggaran lainnya
yaitu bila seseorang dalam keadaan sakit yang parah dan membuatnya tidak bisa
berubah posisi menghadap ke kiblat. Pada kondisi demikian, maka dibolehkan
baginya shalat menghadap kemana saja yang dia mampu melakukannya.
Keharusan Berijtihad
Bila seseorang tidak tahu kemana arah kiblat, maka wajiblah
baginya mencari tahu sebisanya dan berijtihad (bersungguh-sungguh) dalam
mendapatkan informasi tentang arah kiblat. Meski pun hasilnya bisa berbeda-beda
karena minimnya informasi. Hal itu tidak mengapa asalkan sudah berijtihad
sebelumnya. Sebab dahullu para shahabat pernah mengalami kejadian dimana mereka
shalat pada malam yang sangat gelap tanpa sinar sedikitpun dan juga tidak tahu
arah kiblat. Lalu akhirnya mereka shalat menghadap ke arah apa yang mereka
hayalkan saja. Saat Rasulullah diberitahu hal itu, beliau membaca firman Allah
SWT :
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا
فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas lagi Maha
Mengetahui.(QS. Al-Baqarah : 115)□
Rukun-rukun Shalat
Rukun adalah pondasi atau tiang pada suatu banguna. Bila
salah satu rukunnya rusak atau tidak ada, maka bangunan itu akan roboh. Bila
salah satu rukun shalat tidak dilakukan atau tidak sah dilakukan, maka
keseluruhan rangkaian ibadah shalat itu pun menjadi tidak sah juga.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa rukun adalah
perbuatan yang hukumnya wajib dilakukan dan menjadi bagian utuh dari rangkaian
ibadah. Sedangkan syarat adalah gerakan ibadah yang wajib dilakukan namun bukan
bagian dari rangkaian gerakan ibadah.
A. Perbedaan Ulama Dalam
Menentukan Rukun Shalat
Para ulama mazhab yang
paling masyhur berbeda-beda pendapatnya ketika menetapkan mana yang menjadi
bagian dari rukun shalat.
Kalangan mazhab Al-Hanafiyah mengatakan bahwa jumlah rukun
shalat hanya ada 6 saja. Sedangkan Al-Malikiyah menyebutkan bahwa rukun shalat
ada 14 perkara. As-Syafi`iyah menyebutkan 13 rukun shalat dan Al-Hanabilah
menyebutkan 14 rukun.
Untuk lebih jelasnya silahkan perhatikan tabel berikut ini
yang kami buat berdasarkan kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu karya
Dr. WAhbah Az-Zuhaily.
Table Perbandingan Rukun Shalat Antar Mazhab
No
|
Gerakan / Bacaan
|
Hanafi
|
Malik
|
Syafi`i
|
Hambali
|
1.
|
Niat
|
x
|
rukun
|
rukun
|
x
|
2.
|
Takbiratul-ihram
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
3.
|
Berdiri
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
4.
|
Membaca
Al-Fatihah
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
5.
|
Ruku`
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
6.
|
I`tidal (bangun dari ruku`)
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
7.
|
Sujud
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
8.
|
Duduk
Antara Dua Sujud
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
9.
|
Duduk
Tasyahhud Akhir
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
10.
|
Membaca
Tasyahhud Akhir
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
11.
|
Membaca
Shalawat Atas Nabi
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
12.
|
Salam
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
13.
|
Tertib
|
x
|
rukun
|
rukun
|
rukun
|
14.
|
Tuma`ninah
|
x
|
rukun
|
x
|
rukun
|
B. Rincian Rukun Shalat
1. Takbiratul Ihram
Takbiratul Ihram maknanya adalah ucapan takbir yang
menandakan dimulainya pengharaman. Yaitu mengharamkan segala sesuatu yang
tadinya halal menjadi tidak halal atau tidak boleh dikerjakan di dalam shalat.
Seperti makan, minum, berbicara dan sebagainya.
Dalil tentang kewajiban bertakbir adalah firman Allah SWT :
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
"dan Tuhanmu
agungkanlah! (Bertakbirlah untuknya)" (QS.
Al-Muddatstsir : 3)
Juga ada dalil dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam :
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله r
: مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ
وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إلا النَّسَائِيّ
Dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian (thahur) dan yang
mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir". (HR.
Khamsah kecuali An-Nasai)
Dari Rufa`ah Ibnu Rafi`
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Tidak sah shalat
serorang hamba hingga dia berwudhu` dengan sempurna dan menghadap kiblat lalu
mengucapkan Allahu Akbar. (HR. Ashabus Sunan dan Tabarany)
"Bila kamu shalat maka
bertakbirlah". (HR. Muttafaqun Alaihi)
Lafaz takbiratul-ihram adalah mengucapkan lafadz Allahu
Akbar, artinya Allah Maha Besar. Sebuah
zikir yang murni dan bermakna pengakuan atas penghambaan diri anak manusia
kepada Sang Maha Pencipta. Ketika seseorang mengucapkan takbiratul-ihram,
maka dia telah menjadikan Allah SWT sebagai prioritas perhatiannya dan
menafikan hal-hal lain selain urusan kepada Allah dan aturan dalam shalatnya.
Lafaz ini diucapkan ketika semua syarat wajib dan syarat sah
shalat terpenuhi. Yaitu sudah menghadap ke kiblat dalam keadaan suci badan,
pakaian dan tempat dari najis dan hadats. Begitu juga sudah menutup aurat, tahu
bahwa waktu shalat sudah masuk dan lainnya.
Jumhur ulama mengharamkan makmum memulai takbir permulaan
shalat ini kecuali bila imam sudah selesai bertakbir. Dengan dasar berikut ini
:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ r قَالَ :إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا رواه الشيخان
Imam itu dijadikan untuk diikuti, maka jangan berbeda dengannya. Bila
dia bertakbir maka bertakbirlah (HR. Muttafaq Alaihi)
Sedangkan kalangan Al-Hanafiyah membolehkan makmum bertakbir
bersama-sama dengan imam
2. Berdiri
Berdiri adalah rukun shalat dengan dalil berdasarkan firman
Allah SWT :
وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ
"...Berdirilah untuk
Allah dengan khusyu'." (QS. Al-Baqarah : 238)
Juga ada hadits nabawi yang mengharuskan berdiri untuk
shalat
عَنْ عِمْرَانَ
بْنِ حُصَيْنٍ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ rعَنْ صَلاَةِ الرَّجُلِ قَاعِدًا فَقَالَ
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبٍ رواه
البخاري
Dari `Imran bin Hushain radhiyallahu
‘anhu bahwa beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang
shalat seseorang sambil duduk, beliau bersabda,"Shalatlah dengan berdiri,
bila tidak sanggup maka sambil duduk dan bila tidak sanggup sambil berbaring".(HR. Bukhari)
Hadits ini juga
sekaligus menjelaskan bahwa berdiri hanya diwajibkan untuk mereka yang mampu
berdiri. Sedangkan orang-orang yang tidak mampu berdiri, tidak wajib berdiri.
Misalnya orang yang sedang sakit yang sudah tidak mampu lagi berdiri tegak.
Bahkan orang sakit itu bila tidak mampu bergerak sama
sekali, cukuplah baginya menganggukkan kepada saja menurut Al-Hanafiyah. Atau
dengan mengedipkan mata atau sekedar niat saja seperti pendapat Al-Malikiyah.
Bahkan As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa bisa dengan mengerakkan
anggota tubuh itu di dalam hati.
Juga perlu diperhatikan bahwa kewajiban berdiri dalam shalat
hanya berlaku untuk shalat fardhu saja. Sedangkan untuk shalat nafilah (sunnah)
tidak diwajibkan berdiri meskipun mampu berdiri. Jadi seseorang diperbolehkan melakukan
shalat sunnah dengan duduk saja tidak berdiri, meski badannya sehat dan mampu
berdiri.
Para fuqaha mazhab sepakat
mensyaratkan bahwa berdiri yang dimaksud adalah berdiri tegak. Tidak boleh
bersandar pada sesuatu seperti tongkat atau tembok, kecuali buat orang yang
tidak mampu. Terutama bila tongkat atau temboknya dipisahkan, dia akan
terjatuh. Adapun As-Syafi`iyah tidak mengharamkan melainkan hanya memakruhkan
saja. Dan Al-Malikiyah hanya mewajibkan berdiri tegak tanpa bersandar kepada
benda lain pada saat membaca Al-Fatihah saja. Sedangkan di luar bacaan Al-Fatihah
dibolehkan bersandar.
3. Membaca Al-Fatihah
Jumhur ulama menyebutkan bahwa membaca surat Al-Fatihah adalah rukun shalat, dimana
shalat seseorang tidak sah tanpa membacanya. Dengan dalil kuat dari
hadits nabawi :
وَعَنْ
عُبَادَةَ بْنِ اَلصَّامِتِ t قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r لاَ صَلاَةَ
لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِأُمِّ اَلْقُرْآنِ مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Dari Ubadah bin Shamit ra berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,”Tidak sah shalat kecuali dengan membaca ummil-quran"(HR. Ibnu
Hibban dalam shahihnya)
a. Mazhab As-Syafi`i
Mazhab As-syafi`iyah mewajibkan makmum dalam shalat jamaah
untuk membaca surat
Al-Fatihah sendiri meski dalam shalat jahriyah (yang dikeraskan bacaan
imamnya). Tidak cukup hanya mendengarkan bacaan imam saja. Kerena itu mereka
menyebutkan bahwa ketika imam membaca surat
Al-Fatihah, makmum harus mendengarkannya, namun begitu selesai mengucapkan,
masing-masing makmum membaca sendiri-sendiri surat Al-Fatihah secara sirr (tidak
terdengar).
Namun dalam pandangan mazhab ini, kewajiban membaca surat Al-Fatihah gugur
dalam kasus seorang makmum yang tertinggal dan mendapati imam sedang ruku`.
Maka saat itu yang bersangkutan ikut ruku` bersama imam dan sudah terhitung
mendapat satu rakaat.[7]
b. Mazhab Al-Malikiyah dan
Al-Hanabilah
Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa
seorang makmum dalam shalat jamaah yang jahriyah (yang bacaan imamnya
keras) untuk tidak membaca apapun kecuali mendengarkan bacaan imam. Sebab
bacaan imam sudah dianggap menjadi bacaan makmum.
c. Mazhab Al-Hanafiyah
Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah yang mengatakan bahwa
Al-Fatihah itu bukan rukun shalat, cukup membaca ayat Al-Quran saja pun sudah
boleh. Sebab yang dimaksud dengan `rukun` menurut pandangan mazhab ini adalah
semua hal yang wajib dikerjakan baik oleh imam maupun makmum, juga wajib
dikerjakan dalam shalat wajib maupun shalat sunnah. Sehingga dalam tolok ukur
mereka, membaca surat
Al-Fatihah tidak termasuk rukun shalat, sebab seorang makmum yang tertinggal
tidak membaca Al-Fatihah tapi sah shalatnya. Bahkan makmum shalat
dimakruhkan untuk membaca Al-Fatihah karena makmum harus mendengarkan saja apa
yang diucapkan imam.
Selain itu mereka berpendapat bahwa di dalam Al-Quran
diperintahkan membaca ayat Quran yang mudah. Sebagaimana ayat berikut ini :
فَاقْرَؤُوا
مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
...maka bacalah apa yang
mudah dari Al Qur'an (QS. Al-Muzzamil : 20)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Tidak sah shalat itu kecuali dengan membaca al-Quran".(HR.
Muslim)
Dalam mazhab ini, minimal yang bisa dianggap sebagai bacaan
Al-Quran adalah sekadar 6 huruf dari sepenggal ayat. Seperti mengucapkan tsumma
nazhar, dimana di dalam lafaz ayat itu ada huruf tsa, mim, mim, nun,
dha` dan ra`. Namun ulama mazhab ini yaitu Abu Yusuf dan Muhammad
mengatakan minimal harus membaca tiga ayat yang pendek, atau satu ayat yang
panjangnya kira-kira sama dengan tiga ayat yang pendek. [8]
Bacaan Basmalah : Khilaf para ulama,
apakah bagian dari Al-Fatihah atau bukan?
Menurut mazhab As-Syafi`iyah, lafaz basmalah (bismillahirrahmanirrahim)
adalah bagian dari surat
Al-Fatihah. Sehingga wajib dibaca dengan jahr (dikeraskan) oleh imam
shalat dalam shalat jahriyah. Dalilnya adalah hadits berikut ini :
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r إِذَا قَرَأْتُمْ اَلْفَاتِحَةِ فَاقْرَءُوا : ( بِسْمِ
اَللَّهِ اَلرَّحْمَنِ اَلرَّحِيمِ ) , فَإِنَّهَا إِحْدَى آيَاتِهَا رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,"Bila kamu membaca alhamdulillah (surat Al-Fatihah), maka
bacalah bismillahirrahmanirrahim, karena Al-Fatihah itu ummul-Quran`, ummul-kitab,
sab`ul-matsani. Dan bismillahirahmanir-rahim adalah salah satu ayatnya". (HR.
Ad-Daruquthuny).
Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim dengan isnad yang shahih dari Ummi Salamah. Dan dalam kitab Al-Majmu`
ada 6 orang shahabat yang meriwayatkan hadits tentang basmalah adalah bagian
dari surat
Al-Fatihah.[9]
Sedangkan pandangan mazhab Al-Malikiyah, basmalah
bukan bagian dari surat
Al-Fatihah. Sehingga tidak boleh dibaca dalam shalat baik shalat wajib maupun
shalat sunnah. Dan juga baik dalam shalat jahriyah maupun sirriyah.
Sedangkan dalam pandangan Al-Hanabilah, basmalah
adalah bagian dari surat
Al-Fatihah, namun tidak dibaca secara keras (jahr), cukup dibaca pelan
saja (sirr). Bila kita perhatikan imam masjidil al-haram di Mekkah,
tidak terdengar membaca basmalah, namun mereka membacanya umumnya orang-orang
disana bermazhab Hanbali.
4. Ruku`
Ruku` adalah gerakan
membungkukkan badan dan kepala dengan kedua tangan diluruskan ke lulut kaki.
Dengan tidak mengangkat kepala tapi juga tidak menekuknya. Juga dengan
meluruskan punggungnya, sehingga bila ada air di punggungnya tidak bergerak
karena kelurusan punggungnya.
Perintah untuk melakukan rukuk adalah firman Allah SWT
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا
وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah
kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
(QS. Al-Hajj : 77)
Dan juga hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berikut ini.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ رَأَيْتُهُ إِذَا
رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ
Dari Aisah radhiyallahu
‘anhu berkata,"Aku melihat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam ketika
ruku` meletakkan tangannya pada lututnya." (HR.
Muttafaqun Alaihi)
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila
ruku` tidak mengangkat kepalanya dan juga tidak menekuknya. Tetapi diantara
keduanya".
Untuk sahnya gerakan ruku`, posisi seperti ini harus
terjadi dalam beberapa saat. Tidak boleh hanya berupa gerakan dari berdiri ke
ruku` tapi langsung bangun lagi. Harus ada jeda waktu sejenak untuk berada pada
posisi ruku` yang disebut dengan istilah thuma`ninah. Dalilnya adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini :
عَنْ أَبيِ قَتَادَةَ أَنّ الَّنِبيَّ r
قَالَ أَسْوَءُ النَّاسِ سَرِقَةً الذِّي يَسْرِقُ مِنْ
صَلاَتِهِ قِيْلَ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ
صَلاَتِهِ؟ قَالَ لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهَا وَلاَ سُجُوْدَهَا وَلاَ خُشُوْعَهَا رواه أحمد
والحاكم
Dari
Abi Qatadha berkata bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Pencuri yang paling buruk adalah yang mencuri dalam
shalatnya". Para shahabat bertanaya,"Ya Rasulallah, bagaimana mencuri
dalam shalat?". "Dengan cara tidak menyempurnakan ruku` dan
sujudnya". atau beliau bersabda,"Tulang belakangnya tidak sampai
lurus ketika ruku` dan sujud". (HR. Ahmad, Al-Hakim,
At-Thabarany, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban)
Para ulama fiqih
menyebutkan bahwa perbedaan ruku`nya laki-laki dan wanita adalah pada letak
tangannya. Laki-laki melebarkan tangannya atau merenggangkan antara siku dengan
perutnya. Sedangkan wanita melakukan sebaliknya, mendekatkan tangannya ke
tubuhnya[10].
5. I`tidal
I`tidal adalah gerakan bangun dari ruku` dengan berdiri
tegap dan merupakan rukun shalat yang harus dikerjakan menurut jumhur ulama.
Kecuali pendapat Al-Hanafiyah yang agak tidak kompak sesama
mereka. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa i`tidal tidak termasuk rukun
shalat, melainkan hanya kewajiban saja. Sebab i`tidal hanyalah konsekuensi dari
tuma`ninah. Dasarnya adalah firman Allah SWT yang menyebutkan hanya ruku` dan
sujud tanpa menyebutkan i`tidal.
"Dan ruku` lah dan
sujudlah" (QS. Al-Hajj : 77)
Namun sebagian ulama mazhab ini seperti Abu Yusuf dan yang
lainnya mengatakan bahwa i`tidal adalah rukun shalat yang tidak boleh
ditinggalkan. Menurut mereka, bila seseorang shalat tanpa i`tidal maka
shalatnya batal dan tidak sah.
6. Sujud
Secara bahasa, sujud
berarti
§ al-khudhu`
(الخضوع)
§ at-tazallul
(التذلل) yaitu merendahkan diri badan.
§ al-mailu
(الميل) yaitu mendoncongkan badan ke depan.
Sedangkan secara syar`i, yang dimaksud dengan sujud menurut
jumhur ulama adalah meletakkan 7 anggota badan ke tanah, yaitu wajah, kedua
telapak tangan, kedua lutut dan ujung kedua tapak kaki.
Pensyariatan Sujud
Al-Quran Al-Kariem memerintahkan kita untuk melakukan sujud
kepada Allah SWT. Dasarnya adalah hadits nabi :
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ
عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ : عَلَى اَلْجَبْهَةِ - وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى
أَنْفِهِ - وَالْيَدَيْنِ , وَالرُّكْبَتَيْنِ , وَأَطْرَافِ اَلْقَدَمَيْنِ مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Dari Ibnu Abbas ra berkata,"Aku
diperintahkan untuk sujud di atas 7 anggota. (Yaitu) wajah (dan beliau menunjuk
hidungnya), kedua tangan, kedua lutut dan kedua tapak kaki.(HR.
Bukhari dan Muslim [11](
Manakah yang lebih dahulu
diletakkan, lutut atau tangan?
Dalam masalah ini ada dua dalil yang sama-sama kuat namun
menunjukkan cara yang berbeda. Sehingga menimbulkan perbedaan pendapat juga di
kalangan ulama.
Jumhur ulama umumnya mengatakan bahwa yang disunnahkan
ketika sujud adalah meletakkan kedua lutut di atas tanah telebih dahulu, baru
kemudian kedua tangan lalu wajah. Dan ketika bangun dari sujud, belaku
sebaliknya, yang diangkat adalah wajah dulu, kemudian kedua tangan baru
terakhir lutut. Dasar dari praktek ini adalah hadits berikut ini.
عَنْ
وَائِل بن حُجْر قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ الله إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ
قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ – رواه
الخمسة إلا أحمد
Dari Wail Ibnu Hujr berkata,"Aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bila sujud meletakkan kedua lututnya sebelum kedua
tangannya. Dan bila bangun dari sujud beliau mengangkat tangannya sebelum
mengangkat kedua lututnya. (HR. Khamsah kecuali Ahmad)[12]
Namun Al-Malikiyah berpendapat sebaliknya, justru yang
disunahkan untuk diletakkan terlebih dahulu adalah kedua tangan baru kemudian
kedua lututnya. Dalil mereka adalah hadits berikut ini :
عَنْ
أَبيِ هُرَيْرَةَ قال قال رسول الله إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا
يَبْرُكُ البَعِيْرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ ثُمَّرُكْبَتَيْهِ-رواه
أحمد والنسائي والترمذي
Dari Abi Hurariah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasululah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Bila kamu sujud janganlah seperti
duduknya unta. Hendaklah kamu meletakkan kedua tangan terlebih dahulu baru
kedua lutut. (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Tirmizy)
Ibnu Sayid An-Nas berkata bahwa hadits yang menyebutkan
tentang meletakkan tangan terlebih dahulu lebih kuat. Namun Al-Khattabi
mengatakan bahwa hadits ini lebih lemah dari hadits yang sebelumnya. Maka
demikianlah para ulama berbeda pendapat tentang mana yang sebaiknya didahulukan
ketika melakukan sujud. Dan Imam An-Nawawi berkata bahwa diantara keduanya
tidak ada yang lebih rajih (lebih kuat). Artinya, menurut beliau keduanya
sama-sama kuat dan sama-sama bisa dilakukan.
7. Duduk Antara Dua Sujud
Duduk antara dua sujud adalah rukun menurut jumhur ulama dan
hanya merupakan kewajiban menurut Al-Hanafiyah. Posisi duduknya adalah duduk
iftirasy, yaitu dengan duduk melipat kaki ke belakang dan bertumpu pada kaki
kiri. Maksudnya kaki kiri yang dilipat itu diduduki, sedangkan kaki yang kanan
dilipat tidak diduduki namun jari-jarinya ditekuk sehingga menghadap ke kiblat.
Posisi kedua tangan diletakkan pada kedua paha dekat dengan lutut dengan
menjulurkan jari-jarinya.
8. Duduk Tasyahhud Akhir
Duduk tasyahhud akhir merupakan rukun shalat menurut
jumhur ulama dan hanya kewajiban menurut Al-Hanafiyah.
Sedangkan jumhur ulama menetapkan bahwa posisi duduk untuk tasyahhud
akhir adalah duduk tawaruk. Posisinya hampir sama dengan istirasy namun posisi
kaki kiri tidak diduduki melainkan dikeluarkan ke arah bawah kaki kanan.
Sehingga duduknya di atas tanah tidak lagi di atas lipatan kaki kiri seperti
pada iftirasy.
Asy-syafi`iyah dan Al-Hanabilah sama-sama berpendapat bahwa
untuk duduk tasyahhud akhir, yang disunnahkan adalah duduk tawaruk ini.
Menurut Al-Hanafiyah, posisi duduk tasyahhud akhir
sama dengan posisi duduk antara dua sujud, yaitu duduk iftirasy.
Dalilnya adalah hadits berikut :
عَنْ
وَائِل بنِ حجر قَدِمْتُ المَدِيْنَةَ لأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُوْلِ الله
فَلَمَّا جَلَسَ افْتَرَسَ رِجْلَهُ اليُسرَى وَوَضَعَ يَدَهُ اليُسْرَى عَلَى
فَخِذِهِ اليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اليُمْنَى – رواه
الترمذي
Dari Wail Ibnu Hajar,"Aku datang ke Madinah untuk melihat
shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika beliau duduk (tasyahhud),
beliau duduk iftirasy dan meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya dan
menashabkan kakinya yang kanan". (HR. Tirimizy)[13]
Ada
pun Al-Malikiyah sebagaimana diterangkan di dalam kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir
menyunnahkan untuk duduk tawaruk baik pada tasyahhud awal maupun untuk tasyahhud
akhir. Dalilnya adalah hadits Nabi :
Dari Ibnu Mas`ud berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam duduk di tengah shalat dan akhirnya dengan duduk tawaruk.
9. Salam Pertama
Ada
dua salam, yaitu salam pertama dan kedua. Salam pertama adalah fardhu shalat
menurut para fuqaha, seperti Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah. Sedangkan salam
yang kedua bukan fardhu melainkan sunnah.
Namun menurut Al-Hanabilah, kedua salam itu hukumnya fardhu,
kecuali pada shalat jenazah, shalat nafilah, sujud tilawah dan sujud syukur.
Pada keempat perbuatan itu, yang fardhu hanya salam yang pertama saja[14].
Salam merupakan bagian dari fardhu dan rukun shalat yang
juga berfungsi sebagai penutup shalat. Dalilnya adalah :
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله r
: مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطَّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ
وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
Dari Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Kunci shalat itu adalah kesucian (thahur) dan yang
mengharamkannya (dari segala hal di luar shalat) adalah takbir". (HR. Muslim)[15]
Menurut As-Syafi’i, minimal lafadz salam itu adalah (السلام عليكم), cukup sekali saja. Sedangkan
menurut Al-Hanabilah, salam itu harus dua kali dengan lafadz (السلام عليكم ورحمة الله), dengan menoleh
ke kanan dan ke kiri.
Tidak disunnahkan untuk meneruskan
lafadz (وبركاته) menurut Asy-Syafi’iyah
dan Al-Hanabilah, dengan dalil :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ
اللَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ حَتَّى يَرَى بَيَاضَ خَدِّهِ -
رواه الخمسة وصححه الترمذي
Dari Ibni Mas’ud radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi salam ke kanan dan
ke kiri : Assalamu ‘alaikum warahmatullah Assalamu ‘alaikum warahmatullah,
hingga nampak pipinya yang putih. (HR.
Khamsah)[16]
Selain sebagai penutup shalat, salam ini juga merupakan doa
yang disampaikan kepada orang-orang yang ada di sebelah kanan dan kirinya, bila
tidak ada maka diniatkan kepada jin dan malaikat.[17]
10. Thuma`ninah
Menurut jumhurul ulama’, seperti Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah
dan Al-Hanabilah, tuma’ninah merupakan rukun shalat, yaitu pada gerakan
ruku’, i’tidal, sujud dan duduk antara dua sujud[18].
عَنْ حُذَيْفَة أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً لاَ
يُتِمُّ رَكُوْعَهُ وَلاَ سُجُوْدَهُ فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ
حُذَيْفَة: مَا صَلَّيْتَ وَلَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ الفِطْرَةِ الَّتِي فَطَرَ
اللَّهُ عَلَيْهَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ – رواه أحمد والبخاري
Dari Hudzaifah ra bahwa beliau melihat seseorang
yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Ketika telah selesai dari
shalatnya, beliau memanggil orang itu dan berkata kepadanya,”Kamu belum shalat,
bila kamu mati maka kamu mati bukan di atas fitrah yang telah Allah tetapkan di
atasnya risalah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR.
Bukhari)[19]
11. Tertib
Sunnah-sunnah Shalat
1. Mengangkat kedua tangan saat
takbiratul Ihram
Al-Malikiyah dan As-Syafi'iyah menyebutkan bahwa disunnahkan
untuk mengangkat tangan saat takbiratul ihram, yaitu setinggi kedua pundak.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya setinggi pundaknya saat
memulai shalatnya (HR. Muttafaq 'Alaihi)
Dan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa laki-laki mengangkat
tangan hingga kedua telinganya sedangkan wanita mengangkat sebatas pundaknya
saja. Dalilnya adalah :
Dari Wail bin Hajr radhiyallahu ‘anhu bahwa dia melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat,
lalu bertakbir dan meluruskan kedua tanggannya setinggi kedua telinganya.(HR.
Muslim)[20]
Dari Al-Barra' bin Azib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bila shalat mengangkat kedua tanggannya hingga kedua jempol tangannya
menyentuh kedua ujung telinganya (HR. Ahmad, Ad-Daruquthny)
Sedangkan Al-Hanabilayh menyebutkan bahwa seseorang boleh
memilih untuk demikian atau mengangkat tangannya hingga kedua ujung telinganya.
Dalilnya adalah bahwa keduanya memang punya dasar hadits yang bisa dijadikan
sandaran. Saat mengangkat kedua tangan, dianjurkan agar jari-jari terbuka tidak
mengepal, sebagaimana pendapat jumhur. Serta menghadap keduanya ke arah kiblat.
2. Meletakkan tangan kanan di
atas tangan kiri
Jumhur ulama selain Al-Malikiyah mengatakan bahwa
disunnahkan untuk meletakkan tapak tangan kanan di atas tapak tangan kiri.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
Dari Wail bin Hajr radhiyallahu ‘anhu bahwa dia melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat,
lalu bertakbir dan meletakkan tangan kanannya di atas tapak tangan kirinya,
atau pergelangannya atau lengannya (antara siku hingga pergelangan tangan)(HR.
Muslim, Ahmad, Abu Daud dan An-Nasa'i)
Sedangkan dimana diletakkan kedua tangan itu, para ulama
sejak dahulu memang berbeda pendapat. Ada
yang mengatakan di bawah pusat, ada juga yang mengatakan di antara dada dan
pusat, dan ada juga yang mengatakan di dada.
a. Di bawah pusat
Mereka yang mengatakan bahwa posisi tangan itu di bawah
pusat diantaranya adalah Al-Hanafiyah, dengan landasan hadits berikut ini :
Diriwayatkan dari Ali bin abi Thalib ra,"Termasuk sunnah
adalah meletakkan kedua tangan di bawah pusat".(HR. Ahmad dan Abu Daud).
Tentu perkataan Ali bin Abi Thalib ini merujuk kepada
praktek shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana
beliau menyaksikannya.
b. Di antara pusat dan dada
Diantara yang berpendapat demikian adalah Asy-syafi'iyah.
Dan bahwa posisinya agak miring ke kiri, karena disitulah posisi hati, sehingga
posisi tangan ada pada anggota tubuh yang paling mulia. Dalilnya adalah hadits
berikut ini :
عَنْ وَائِلِ بْنِ
حُجْرٍ t قَالَ : صَلَّيْتُ مَعَ اَلنَّبِيِّ r فَوَضَعَ يَدَهُ اَلْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ اَلْيُسْرَى عَلَى
صَدْرِهِ أَخْرَجَهُ
اِبْنُ خُزَيْمَةَ
Dari Wail bin Hajr radhiyallahu ‘anhu berakta,”Aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dan meletakkan kedua tangannya
di atas dada.(HR. Ibnu Khuzaemah)[21]
Sedangkan Al-Malikiyah tidak menganggap meletakkan tangan di
atas dada dan lainnya itu sebagai sunnah. Bagi mazhab ini, posisi tangan
dibiarkan saja menjulur ke bawah. Bahkan mereka mengatakan bahwa hal itu kurang
disukai bila dilakukan di dalam shalat fardhu 5 waktu, namun dibolehkan bila
dilakukan dalam shalat sunnah (nafilah).
3. Melihat ke tempat sujud
As-Syafi'iyah dan para ulama lainnya mengatakan bahwa
melihat ke arah tempat sujud adalah bagian dari sunnah shalat. Sebab hal itu
lebih dekat ke arah khusyu'. Selain itu memang ada dalilnya.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bila memulai shalat, tidak melihat kecuali ke arah
tempat sujudnya. (Hadits Dhaif, Imam An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini
tidak diketahuinya)
Kecuali saat tahiyat, maka pandangan diarahkan ke jari
tangan kanannya. Sebagaimana hadits berikut :
Dari Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu bahwa apabila
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk dalam tasyahhud, beliau
meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan meletakkan tangan kirinya
di atas tangan kirinya lalu menunjuk dengan telunjuknya dan pandangan matanya
tidak lepas dari telunjuknya itu". (HR. Ahmad, An-Nasai, Abu
Daud)
4. Doa istiftah (doa tsana`)
Doa istiftiftah juga seringkali disebut dengan doa iftitah
atau do'a tsana'. Semuanya merujuk pada lafadz yang sama. Hukum
membacanya adalah sunnah menurut jumhur ulama, kecuali Al-Malikiyah yang
menolak kesunnahannya.
Sedangkan lafadznya memang sangat banyak versinya. Dan bisa
dikatakan bahwa semuanya bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam.
عَنْ
عُمَرَ t أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ :سُبْحَانَكَ
اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ , تَبَارَكَ اِسْمُكَ , وَتَعَالَى جَدُّكَ , وَلا
إِلَهُ غَيْرُكَ رَوَاهُ مُسْلِمٌ بِسَنَدٍ مُنْقَطِعٍ , وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ
مَوْصُولاً وَهُوَ مَوْقُوفٌ
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam membaca : “Maha suci Engaku dan segala puji untuk-Mu. Diberkahilah
asma-Mu, tinggilah keagungan-Mu. Dan tiada tuhan kecuali Engkau.(HR.
Muslim)[22]
Lafaz ini diriwayatkan oleh Asiyah radhiyallahu ‘anhu dengan
perawi Abu Daud dan Ad-Daruquthuny.
وَعَنْ
عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ t عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ r أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى اَلصَّلاةِ قَالَ :
"وَجَّهْتُ وَجْهِي لِلَّذِي فَطَّرَ اَلسّمَوَاتِ " . . . إِلَى
قَوْلِهِ : "مِنْ اَلْمُسْلِمِينَ , اَللَّهُمَّ أَنْتَ اَلْمَلِكُ لا
إِلَهَ إِلا أَنْتَ , أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ . . . إِلَى آخِرِهِ . رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bila berdiri untuk shalat membaca
:”Aku hadapkan wajahku kepada Tuhan Yang menciptakan langit dan bumi, dengan
lurus dan berserah diri sedangkan aku bukan bagian dari orang musyrik.
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan
semesta alam.Tiada sekutu baginya dan dengan itulah aku diperintahkan. Dan aku
termasuk bagian dari orang-orang muslim.(HR. Muslim)
Lafaz ini sampai kepada kita lewat perawi yang kuat seperti
Imam Muslim, Ahmad dan Tirmizy dan dishahihkan oleh Ali bin Abi Thalib. Lafaz
ini sebenarnya juga lafadz yang juga ada di dalam ayat Al-Quran Al-Kariem,
kecuali bagian terakhir tanpa kata "awwalu".
Selain itu juga ada lafdaz lainnya seperti di bawah ini :
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ t قَالَ :كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ r إِذَا كَبَّرَ لِلصَّلاةِ سَكَتَ هُنَيَّةً , قَبْلِ أَنْ
يَقْرَأَ , فَسَأَلْتُهُ , فَقَالَ : "أَقُولُ : اَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي
وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ اَلْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ ,
اَللَّهُمَّ نقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى اَلثَّوْبُ اَلابْيَضُ
مِنْ اَلدَّنَسِ , اَللَّهُمَّ اِغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ
وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bila bertakbir memulai shalat, beliau diam sejenak
sebelum mulai membaca (Al-Fatihah). Maka aku bertanya padanya dan beliau
menjawab,”Aku membaca : Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan
kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat. Ya
Allah, sucikanlah aku dari kesalahan-kesalahan sebagaimana Engaku mensucikan
pakaian dari kotoran. Ya Allah, mandikan aku dengan air, salju dan embun".
(HR. Muttafaq ‘alaihi)
5. Mengucapkan Amin
Dalilnya adalah hadits nabi berikut ini
وَعَنْ نُعَيْمٍ
اَلْمُجَمِّرِ t قَالَ : صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ : (بِسْمِ
اَللَّهِ اَلرَّحْمَنِ اَلرَّحِيمِ) . ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ اَلْقُرْآنِ , حَتَّى
إِذَا بَلَغَ : (وَلا اَلضَّالِّينَ) , قَالَ : "آمِينَ"
وَيَقُولُ كُلَّمَا سَجَدَ , وَإِذَا قَامَ مِنْ اَلْجُلُوسِ : اَللَّهُ أَكْبَرُ
. ثُمَّ يَقُولُ إِذَا سَلَّمَ : وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لاشْبَهُكُمْ
صَلاةً بِرَسُولِ اَللَّهِ r رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ
Dari Nu;aim Al-Mujammir radhiyallahu ‘anhu berkata,”Aku shalat di
belakang Abu Hurairah, beliau membaca : bismillahirrahmanirrahim. Kemudian
beliau membaca ummul-quran (Al-Fatihah), hingga beliau sampai kata
(waladhdhaallin) beliau mengucapkan : Amien. Dan beliau mengucapkannya setiap
sujud. Dan bila bangun dari duduk mengucapkan : Allahu akbar. Ketika salam
beliau berkata : Demi Allah Yang jiwaku di tangan-Nya, aku adalah orang yang
paling mirip shalatnya dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. (HR.
An-Nasai dan Ibnu Khuzaemah).
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Apabila imam mengucapkan
"Amien", maka ucapkanlah juga. Siapa yang amin-nya bersamaan dengan
ucapan amin para malaikat, maka Allah mengampunkan dosa-dosanya yang telah
lampau.(HR. Jamaah kecuali At-Tirmizy)
6. Merenggangkan kedua tumit
Disunnahkan merenggangkan kedua tumit saat berdiri kira-kira
selebar 4 jari. Sebab posisi yang demikian sangat dekat dengan khusyu'.
Sedangkan Imam As-syafi'i mengatakan bahwa jaraknya kira-kira sejengkal. Dan
makruh untuk menempelkan keduanya karena menghilangkan rasa khusyu'.
Sedangkan Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan
disunnahkan untuk merenggangkannya tapi tidak terlalu lebar dan tidak terlalu
dekat.
7. Membaca sebagian surat Quran setelah
membaca Al-Fatihah
Dasarnya adalah hadits berikut ini :
Dari Qatadah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam shalat Zhuhur pada dua rakaatnya
yang pertama surat Al-Fatihah dan dua surat, beliau memanjangkannya
di rakaat pertama dan memendekkannya di rakaat kedua. Terkadang beliau
mendengarkan ayat. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam shalat
Ashar pada dua rakaatnya yang pertama surat
Al-Fatihah dan dua surat,
beliau memanjangkannya di rakaat pertama dan memendekkannya di rakaat kedua.
Dan beliau beliau memanjangkannya di rakaat pertama shalat shubuh dan
memendekkannya di rakaat kedua. (HR. Muttafaqun 'alaihi).
Dari Abu Bazrah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam shalat shubuh dari 60-an ayat hingga
100-an ayat.". (HR. Muttafaqun 'alaihi)
8. Takbir ketika ruku`, sujud,
bangun dari sujud dan berdiri dari
sujud.
Dasrnya adalah hadits berikut ini :
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu berkata,"Aku melihat nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir setiap bangun atau turun, baik berdiri
atau duduk". (HR. Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmizy dengan
status shahih).
Kecuali pada saat bangun dari ruku', maka bacaannya adalah
"Sami'allahu liman hamidah". Maknanya, Allah Maha Mendengar orang
yang memuji-Nya.
9. Meletakkan kedua lutut lalu
kedua tangan kemudian wajah ketika turun sujud dan sebaliknya
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Kedua pendapat
yang anda tanyakan itu masing-masing memiliki dalil dari hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Baik yang mengatakan tangan dulu baru lutut atau yang
sebaliknya, lutut dulu baru tangan.
Pendapat Pertama: Tangan lebih dulu.
Dari Abi Hurairah ra. Berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,”bila kamu sujud, maka janganlah duduk seperti cara duduknya
unta. Hendaklah dia meletakkan tangannya terlebih dahulu sebelum lututnya.
Para fuqoha yang
berpendapat bahwa tangan terleib hdahulu sebelum lutut diantaranya adalah:
Al-Hadawiyah, Imam Malik menurut sebagian riwayat dan Al-auza‘i.
Pendapat Kedua: Lutut lebih dulu. Dari Wail bin Hujr
berjata,”Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bila sujud
meletakkanb kedua lututnya sebelum tangannya.
Sedangkan para fuqoha yang berpendapat bahwa tangan terleib
hdahulu sebelum lutut diantaranya adalah: mazhab Imam Abu Hanifah dan mazhab
Imam Asy-Syafi‘i serta menurut sebagian riwayat mazhab Imam Malik.
Mereka menolak pendapat yang mengatakan bahwa tangan yang
diletakkan terlebih dahulu sebelum lutut karena menurut anggapa nmereka hadits
yang digunakan ada masalah. Karena dalam matannya ada ketidak konsistenan.
Yaitu disebutkan bahwa jangan duduk seperti duduknya unta, lalu diteruskan
dengan perintah untuk meletakkan tangan terlebhi dahulu. Hal ini justru
bertentangan. Karena unta itu bila duduk, justru kaki depannya terlebih dahulu
baru kaki belakang. Sedangkan perintahnya jangan menyamai unta, artinya
seharusnya kaki terlebih dahulu baru tangan.
Ketidak-konsistenan ini dikomentari oleh Ibnul Qayyim bahwa
ada kekeliruan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-bukhari ini. Yaitu
tebaliknya perintah, seharusnya bunyi perintahnya adalah untuk meletakkan lutut
terlebih dahulu bahru tangan. Dan kemungkinan terbaliknya suatu lafaz dalam
hadits bukan hal yang tidak mungkin.
10. Sunnah dalam sujud
Disunnahkan untuk memperbanyak doa pada saat sujud. Dengan
dalil sunnah beriku ini.
Seorang hamba terdekat dengan tuhannya pada saat sedang sujud,
maka perbanyaklah doa pada saat sujud itu, pastilah akan dikabulkan".(HR.
Muslim)
Dari Abi Said radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,"Wahai Muaz, bila kamu meletakkan wajahmu dalam
sujud, katakanlah : Ya Allah, tolonglah aku untuk bersyukur dan beribadah
dengan baik kepada-Mu."
11. Doa saat duduk di antara dua
sujud
Menurut mazhab As-Syafi'iyah, Al-Hanabilah dan Al-Malikiyah,
doa yang dibaca ketika duduk antara 2 sujud adalah lafadz berikut ini.
رَبِّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي
وَاهْدِنيِ وَعَافِنيِ
Artinya : Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku, berikah aku
kekuatan, angkatlah aku, beri aku rezeki, tunjuki aku dan sehatkan aku".
Dalilnya adalah riwayat berikut ini :
Dari Huzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa dirinya shalat bersama
dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau mengucapkan antara dua
sujud : Rabbighfirli".(HR. An-Nasai dan Ibnu Majah)
12. Bertasyahhud awal
13. Meletakkan kedua tangan di
atas kedua paha.
14. Shalawat kepada nabi pada tasyahhud
akhir
Mazhab As-Syafi`iyyah dan Al-Hanabilah menyatakan bahwa
shalawat kepada nabi dalam tasyahhud akhir hukumnya wajib. Sedangkan
shalawat kepada keluarga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hukumnya
sunnah menurut As-Syafi`iyah dan hukumnya wajib menurut Al-Hanabilah.[23]
Sedangkan menurut Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah, membaca
shalawat kepada nabi pada tasyahhud akhir hukumnya sunnah.[24]
Adapun lafaz shalawat kepada nabi dalam tasyahhud
akhir seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah :
Allahumma Shalli `ala Muhammad wa `ala aali Muhammad,
kamaa shallaita `ala Ibrahim wa `ala aali Ibrahim. Wa baarik `ala `ala Muhammad
wa `ala aali Muhammad, kamaa barakta `ala Ibrahim wa `ala aali Ibrahim. Innaka
hamidun majid.(HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Artinya : Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Muhammad
dan kepada keluarganya, sebagaimana shalawat-Mu kepada Ibrahim dan kepada
keluarganya. Berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana barakah-Mu kepada
Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Agung.
* Masalah penggunaan lafaz
Sayyidina
Al-Hanafiyah dan As-Syafi`iyah menyunnahkan penggunaan kata
[sayyidina] saat mengucapkan shalawat kepada nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam (shalawat Ibrahimiyah). Landasannya adalah bahwa penambahan kabar
atas apa yang sesungguhnya memang ada merupakan bagian dari suluk adab. Jadi
lebih utama digunakan dari pada ditinggalkan. [25]
Sedangkan hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berkata,`Janganlah kamu memanggilku dengan sebuatan
sayyidina di dalam shalat`, adalah hadits maudhu` (palsu) dan dusta.[26]
15. Doa sesuadah shalawat pada tasyahhud
akhir
Diantara doa yang masyhur dan ma`tsur (diwariskan dari nabi shallallahu
‘alaihi wasallam) adalah lafaz berikut ini :
Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah
waqina azabannar.
Atau lafaz berikut ini
Allahumma inni zhalamtu nafsi zhulman katsira, wa innahu la
yaghfiruz-zunuba illa anta, faghfirli maghfiratan min indika, warhamni innaka
antal ghafururrahim. (HR. Bukhari dan Muslim)[27]
Artinya : Ya Allah, sungguh aku telah menzalimi diriku sendiri
dengan kezaliman yang besar. Tiada yang bisa mengampuni dosa-dosa itu kecuali
Engkau. Maka ampunilah diriku dengan ampunan dari-Mu. Kasihanilah diriku ini
karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. (HR.
Bukhari dan Muslim dan lafaznya dari Muslim)
Atau lafaz ini
Allahumma inni audzu bika min azabi jahannam, wa min azabil qabri,
wa min fityatil mahya wa mamat, wa min syarri fitnati masihid-dajjal.
Artinya : Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari dari
azab jahannam, dan dari azab kubur, dan dari fitnah makhluk hidup dan makhluk
mati, dan dari fitnah al-masih Dajjal.
Dalilnya adalah hadits berikut ini :
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,`Bila kalian telah selesai dari tasyahhud akhir maka
berlindunglah kepada Allah dari empat hal : [1] dari azab jahannam, [2] dari
azab kubur, [3] dari fitnah makhluk hidup dan makhluk mati, [4] dari fitnah
al-masih Dajjal.
Bahkan sebagian ulama mewajibkan untuk membaca doa ini dalam
tasyahhud akhir.[28]
16. Menoleh ke kanan dan ke kiri saat mengucap dua salam
Dari Said bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata,`Aku melihat
NAbi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan salam ke kanan dan ke kiri hingga
terlihat putih pipi beliau`.(HR. Muslim)
Dalam lain riwayat disebutkan
`NAbi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan salam ke kanan hingga
terlihat putih pipi beliau dan melakukan salam ke kiri hingga terlihat putih
pipi beliau`.(HR. Ad-Daruquthuny)
As-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa ketika
memulai lafaz salam (assalamu `alaikum), wajah masih menghadap kiblat. Ketika
mengucapkan (warahmatullah), barulah menoleh ke kanan dan ke kiri.
17. Melirihkan salam yang kedua
Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah menyunnahkan untuk melirihkan
ucapan salam kedua dan mengeraskan ucapan salam yang pertama. Demikian juga
dengan Al-Malikiyah, mereka mengatakan disunnahkan untuk melirihkan salam yang
kedua dan menjaharkan salam yang pertama, baik sebagai imam, sebagai makmum
atau pun bila shalat sendiri.
18. Menunggu bagi masbuq hingga
imam selesai dengan dua salamnya
Disunnahkan bagi makmum untuk tidak segera mengucapkan salam
kecuali setelah imam selesai dengan kedua salamnya. Hal itu dikarenakan untuk
berjaga-jaga apabila ternyata imam masih akan melakukan sujud sahwi. Menunda
salam bagi makmum hingga imam selesai dengan kedua salamnya adalah sunnah
menurut Al-Hanafiyah.
19. Khusyu`, tadabbur dalam
bacaan shalat dan zikir
AL-Imam As-Syafi`i menyebutkan bahwa disunnahkan untuk
melakukan shalat dengan khusyu` serta tadabbur (merenungkan) bacaan Al-Quran
pada shalat. Termasuk juga bacaan-bacaan lain (zikir) dalam shalat. Beliau juga
menyunnahkan untuk memulai shalat dengan segenap konsentrasi, mengosongkan hati
dari segala pikiran duniawi, karena hal itu lebih memudahkan seseorang untuk
bisa khusyu` dalam shalatnya.□
Hal-hal Yang Membatalkan Shalat
Di antara ha-hal yang membatalkan shalat sebagaimana yang
telah dijabarkan oleh para fuqaha adalah sebagai berikut :
1. Berbicara
Dari Zaid bin Al-Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata,"Dahulu
kami bercakap-capak pada saat shalat. Seseorang ngobrol dengan temannya di
dalam shalat. Yang lain berbicara dengan yang disampingnya. Hingga turunlah firman
Allah SWT "Peliharalah semua shalat, dan shalat wusthaa . Berdirilah untuk
Allah dengan khusyu". Maka kami diperintahkan untuk diam dan dilarang
berbicara dalam shalat". (HR. Jamaah kecuali Ibnu Majah)
2. Makan dan Minum
3. Banyak Gerakan dan Terus
Menerus
Yang dimaksud adalah gerakan yang banyak dan berulang-ulang
terus. Mazhab As-syafi'i memberikan batasan sampai tiga kali gerakan
berturut-turut sehingga seseorang batal dari shalatnya.
Namun bukan berarti setiap ada gerakan langsung membatalkan
shalat. Sebab dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
shalat sambil menggendong anak (cucunya).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat sambil mengendong
Umamah, anak perempuan dari anak perempuannya. Bila beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam sujud, anak itu diletakkannya dan bila berdiri digendongnya
lagi". (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahkan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah
orang yang sedang shalat untuk membunuh ular dan kalajengking (al-aswadain).
Dan beliau juga pernah melepas sandalnya sambil shalat. Kesemuanya gerakan itu
tidak termasuk yang membatalkan shalat.
4. Tidak Menghadap Kiblat
Bila seserang di dalam shalatnya melakukan gerakan hingga
badannya bergeser arah hingga membelakangi kiblat, maka shalatnya itu batal dengan
sendirinya.
Hal ini ditandai dengan bergesernya arah dada orang yang
sedang shalat itu, menurut kalangan As-Syafi'iyah dan Al-Hanafiyah. Sedangkan
menurut Al-Malikiyah, bergesernya seseorang dari menghadap kiblat ditandai oleh
posisi kakinya. Sedangkan menurut Al-Hanabilah, ditentukan dari seluruh
tubuhnya.
Kecuali pada shalat sunnah, dimana menghadap kiblat tidak
menjadi syarat shalat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
melakukannya di atas kendaraan dan menghadap kemana pun kendaraannya itu
mengarah.
Namun yang dilakukan hanyalah shalat sunnah, adapun shalat
wajib belum pernah diriwayatkan bahwa beliau pernah melakukannya. Sehingga
sebagian ulama tidak membenarkan shalat wajib di atas kendaraan yang arahnya
tidak menghadap kiblat.
5. Terbuka Aurat Secara Sengaja
Bila seseorang yang sedang melakukan shalat tiba-tiba
terbuka auratnya, maka shalatnya otomatis menjadi batal. Maksudnya bila terbuka
dalam waktu yang lama. Sedangkan bila hanya terbuka sekilas dan langsung
ditutup lagi, para ulama mengatakan tidak batal menurut As-Syafi'iyah dan
Al-Hanabilah.
Namun Al-Malikiyah mengatakan secepat apapun ditutupnya,
kalau sempat terbuka, maka shalat itu sudah batal dengan sendirinya.
Namun perlu diperhatikan bahwa yang dijadikan sandaran dalam
masalah terlihat aurat dalam hal ini adalah bila dilihat dari samping, atau
depan atau belakang. Bukan dilihat dari arah bawah seseorang. Sebab bisa saja
bila secara sengaja diintip dari arah bawah, seseorang akan terlihat auratnya.
Namun hal ini tidak berlaku.
6. Mengalami Hadts Kecil atau
Besar
Bila seseorang mengalami hadats besar atau kecil, maka batal
pula shalatnya. Baik terjadi tanpa sengaja atau secara sadar.
Namun harus dibedakan dengan orang yang merasa ragu-ragu
dalam berhadats. Para ulama mengatakan bahwa
rasa ragu tidak lah membatalkan shalat. Shalat itu baru batal apabila memang
ada kepastian telah mendapat hadats.
7. Tersentuh Najis baik pada
Badan, Pakaian atau Tempat Shalat
Bila seseorang yang sedang shalat terkena benda najis, maka
secara langsung shalatnya menjadi batal. Namun yang dijadikan patokan adalah
bila najis itu tersentuh tubuhnya atau pakaiannya. Adapun tempat shalat itu
sendiri bila mengandung najis, namun tidak sampai tersentuh langsung dengan
tubuh atau pakaian, shalatnya masih sah dan bisa diteruskan.
Demikian juga bila ada najis yang keluar dari tubuhnya
hingga terkena tubuhnya, seperti mulut, hidung, telinga atau lainnya, maka
shalatnya batal.
Namun bila kadar najisnya hanya sekedar najis yang
dimaafkan, yaitu najis-najis kecil ukuran, maka hal itu tidak membatalkan
shalat.
8. Tertawa
Orang yang tertawa dalam shalatnya, batallah shalatnya itu.
Maksudnya adalah tertawa yang sampai mengeluarkan suara. Adapun bila sebatas
tersenyum, belumlah sampai batal puasanya.
9. Murtad, Mati, Gila atau Hilang Akal
Orang yang sedang melakukan shalat, lalu tiba-tiba murtad,
maka batal shalatnya. Demikian juga bila mengalami kematian. Dan orang yang
tiba-tiba menjadi gila dan hilang akal saat sedang shalat, maka shalatnya juga
batal.
10. Berubah Niat
Seseorang yang sedang shalat, lalu tiba-tiba terbetik niat
untuk tidak shalat di dalam hatinya, maka saat itu juga shalatnya telah batal.
Sebab niatnya telah rusak, meski dia belum melakukan hal-hal yang membatalkan
shalatnya.
11. Meninggalkan Salah Satu
Rukun Shalat
Apabila ada salah satu rukun shalat yang tidak dikerjakan,
maka shalat itu menjadi batal dengan sendirinya. Misalnya, seseorang lupa tidak
membaca surat
Al-Fatihah lalu langsung ruku', maka shalatnya menjadi batal.
Kecuali dalam kasus shalat berjamaah dimana memang sudah
ditentukan bahwa imam menanggung bacaan fatihah makmum, sehingga seorang yang
tertinggal takbiratul ihram dan mendapati imam sudah pada posisi rukuk,
dibolehkan langsung ikut ruku' bersama imam dan telah mendapatkan satu rakaat.
Demikian pula dalam shalat jahriyah (suara imam dikeraskan),
dengan pendapat yang mengataka bahwa bacaan Al-Fatihah imam telah menjadi
pengganti bacaan Al-Fatihah buat makmum, maka bila makmum tidak membacanya,
tidak membatalkan shalat.
12. Mendahului Imam dalam Shalat
Jama'ah
Bila seorang makmum melakukan gerakan mendahului gerakan
imam, seperti bangun dari sujud lebih dulu dari imam, maka batal-lah shalatnya.
Namun bila hal itu terjadi tanpa sengaja, maka tidak termasuk yang membatalkan
shalat.
AS-Syafi'iyah mengatakan bahwa batasan batalnya shalat
adalah bila mendahului imam sampai dua gerakan yang merupakan rukun dalam
shalat. Hal yang sama juga berlaku bila tertinggal dua rukun dari gerakan imam.
13. Terdapatnya Air bagi Orang
yang Shalatnya dengan Tayammum
Seseorang yang bertayammum sebelum shalat, lalu ketika
shalat tiba-tiba terdapat air yang bisa dijangkaunya dan cukup untuk digunakan
berwudhu', maka shalatnya batal. Dia harus berwudhu' saat itu dan mengulangi
lagi shalatnya.
14. Mengucapkan Salam Secara Sengaja
Bila seseorang mengucapkan salam secara sengaja dan sadar,
maka shalatnya batal. Dasarnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam yang menyatakan bahwa salam adalah hal yang mengakhiri shalat.
Kecuali lafadz salam di dalam bacaan shalat, seperti dalam bacaa tahiyat. □
Shalat Berjamaah
Diantara keistimewaan ajaran Islam adalah disyariatkannya
banyak bentuk ibadah dengan cara berjamaah, sehingga bisa menjadi representasi
sebuah muktamar Islam, dimana umat Islam berkumpul bersama pada satu tempat dan
satu waktu. Mereka bisa saling bertemu, bertatap muka, saling mengenal dan
saling berinteraksi satu sama lain. Bahkan mereka bisa saling belajar atas apa
yang telah mereka pahami.
Allah telah memerintahkan umat Islam untuk berjamaah
terutama dalam beribadah kepada-Nya. Maka redaksional perintahnya pun datang
dengan bentuk jamak.
يَآيُّهَا
الذِّيْنَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الخَيْرَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Hai orang-orang yang beriman, ruku`lah kamu, sujudlah kamu,
sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Dan
berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu , dan dalam ini, supaya Rasul itu menjadi saksi
atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah.
Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik
Penolong.(QS. Al-HAjj : 77-78)
Umat Islam berdiri di hadapan tuhan mereka pun secara
berjamaah, hal itu tercermin dalam ayat-ayat dalam surat Al-Fatihah yang juga menggunakan kata
`kami`.
Hanya kepada-Mu kami
menyembah dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan.(QS.
Al-Fatihah : 6-7)
A. Sejarah Shalat Jamaah
Jauh sebelum disyariatkan shalat 5 waktu saat mi`raj Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, umat Islam sudah melakukan shalat jamaah, namun siang
hari setelah malamnya beliau mi`raj, datanglah malaikat Jibril ‘alaihissalam
mengajarkan teknis pengerjaan shalat dengan berjamaah. Saat itu memang
belum ada syariat Adzan, yang ada baru panggilan untuk berkumpul dalam rangka
shalat. Yang dikumandangkan adalah seruan `Ash-shalatu jamiah`, lalu Jibril
shalat menjadi imam buat nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam shalat menjadi imam buat para shahabat
lainnya.
Namun syariat untuk shalat berjamaah memang belum lagi
dijalankan secara sempurna dan tiap waktu shalat, kecuali setelah beliau shallallahu
‘alaihi wasallam tiba di Madinah dan membangun masjid. Saat itulah shalat
berjamaah dilakukan tiap waktu shalat di masjid dengan ditandai dengan
dikumandangkannya Adzan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta Bilal
radhiyallahu ‘anhu untuk berAdzan dengan sabdanya :
Wahai Bilal, bangunlah dan lihatlah apa yang
diperintahkan Abdullah bin Zaid dan lakukan sesuai perintahnya. (HR.
Bukhari)
B. Anjuran untuk Shalat
Berjamaah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Shalatnya
seseorang dengan berjamaah lebih banyak dari pada shalat sendirian dengan dua
puluh tujuh kali`. (HR Muslim)[29]
Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari[30]
dalam kitab adzan telah menyebutkan secara rinci apa saja yang membedakan keutamaan
seseorang shalat berjamaah dengan yang shalat sendirian. Diantaranya adalah
ketika seseorang menjawab Adzan, bersegera shalat di awal waktu, berjalannya
menuju masjid dengan sakinah, masuknya ke masjid dengan berdoa, menunggu
jamaah, shalawat malaikat atas orang yang shalat, serta permohonan ampun dari
mereka, kecewanya syetan karena berkumpulnya orang-orang untuk bericadah,
adanya pelatihan untuk membaca Al-Quran dengan benar, pengajaran rukun-rukun
shalat, keselamatan dari kemunafikan dan seterusnya.
Semua itu tidak didapat oleh orang yang melakukan shalat
dengan cara sendirian di rumahnya. Dalam hadits lainnya disebutkan juga
keterangan yang cukup tentang mengapa shalat berjamaah itu jauh lebih berharga
dibandingkan dengan shalat sendirian.
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,"Shalatnya seseorang dengan berjamaah lebih
banyak dari pada bila shalat sendirian atau shalat di pasarnya dengan duap
puluh sekian derajat. Hal itu karena dia berwudhu dan membaguskan wudhu`nya,
kemudian mendatangi masjid dimana dia tidak melakukannya kecuali untuk shalat
dan tidak menginginkannya kecuali dengan niat shalat. Tidaklah dia melangkah
dengan satu langkah kecuali ditinggikan baginya derajatnya dan dihapuskan kesalahannya
hingga dia masuk masjid....dan malaikat tetap bershalawat kepadanya selama dia
berada pada tempat shalatnya seraya berdoa,"Ya Allah berikanlah kasihmu
kepadanya, Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah ampunilah dia...". (HR.
Muslim dalam kitab al-masajid wa mawwadhiusshalah no. 649)
Pada kesempatan lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
Dari Abi Darda`
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi
tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah
kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari
kawanannya". (HR Abu Daud dan Nasai)[31]
Dari Ibnu Mas`ud
radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa aku melihat dari kami yaitu tidaklah seseorang
meninggalkan shalat jamaah kecuali orang-orang munafik yang sudah dikenal
kemunafikannya atau seorang yang memang sakit yang tidak bisa berjalan". (HR.
Muslim)
Dari Ibni Abbas
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Siapa yang mendengar adzan namun tidak mendatanginya untuk
shalat, maka tidak ada shalat baginya. Kecuali bagi orang yang uzur". (HR. Ibnu
Majah, Ad-Daruquthuni, Ibnu Hibban, Al-Hakim)[32]
Pada kesempatan lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah
shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari
kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak.
Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku
memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan
beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut
menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR.
Bukhari dan Muslim)[33]
C. Siapakah Yang Disyariatkan
Untuk Shalat Jamaah
Telah disyariatkan untuk menjalankan shalat 5 waktu secara
berjamaah kepada orang-orang dengan kriteria berikut ini :
1. Muslim laki-laki, sedangkan wanita tidak wajib untuk
shalat berjamaah secara ijma`.
Shalat berjamaah hanya sunnah saja bagi wanita. Itupun bila
aman dari fitnah serta adanya jaminan terjaganya adab-adab mereka untuk pergi
ke masjid.
2. Merdeka, sedangkan budak tidak diwajibkan untuk shalat
berjamaah.
3. Orang yang tidak punya halangan / uzur syar`i.
4. Hanya untuk shalat fardhu yang 5 waktu saja,
Sedangkan shalat jamaah lainnya yang hukumnya sunnah tidak
wajib dihadiri. Seperti shalat Idul Fitri, Idul Adha, Shalat Istisqa` atau
shalat gerhana matahari dan bulan.
D. Kapan Seorang Masbuq
Dikatakan Mendapatkan Shalat Berjamaah
Shalat berjamaah yang afdhal adalah dilakukan bersama imam
sejak mula sebelum imam memulai shalat. Bahkan sejak mendengar panggilan Adzan.
Namun bila ada seorang masbuq (yang munyusul) sebuah shalat berjamaah, sampai
batas manakah dia masih bisa mendapat shalat berjamaah dan keutamaannya?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian
mengatakan bahwa minimal seorang makmum harus mendapatkan satu rakaat sempurna
bersama imam. Sedangkan yang lain mengatakan minimal seorang makmum ikut satu
kali takbir bersama imam. Lebih dalam lagi kammi uraikan berikut ini.
1. Pendapat Pertama : minimal
ikut satu rakaat terakhir
Sebagian ulama mengatakan bahwa bila makmum itu masih bisa
ikut satu rakaat penuh bersama imam, maka dia termasuk mendapatkan shalat
berjamaah. Diantara yang berpendapat demikian seperti para ulama di kalangan
mazhab Al-Malikiyah, Al-Ghazali dari kalangan mazhab Asy-Syafi`iyah, sebuah
riwayat dari imam Ahmad bin Hanbal, zahir pendapat Ibnu Abi Musa, Ibnu
Taymiyah, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab serta Syeikh Abdurrahman bin
As-Sa`di.
Adapun dasar pendapat mereka antara lain dalil-dalil berikut
ini:
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,`Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia mendapatkan
shalat`.(HR. Bukhari 1/145 Muslim 1/423 dan lafazh hadits ini oleh Muslim).
Dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,`Siapa yang
mendapatkan satu rakaat dalam shalat jumat atau shalat lainnya, maka dia mendapatkan
shalat`.(HR. Ibnu Majah, An-Nasai, Ibnu Khuzaemah, Al-Hakim)[34]
Ibnu Taymiyah menambahkan bahwa bila seorang makmum ikut
sebuah shalat jamaah tapi kurang dari satu rakaat bersama imam, tidak bisa
dikatakan telah ikut shalat jamaah. Sebab gerakan yang kurang dari satu rakaat
tidak bisa dihitung sebagai rakaat shalat, sehingga bila makmum hanya
mendapatkan kurang dari satu rakaat bersama imam, yaitu baru masuk ke dalam
shalat setelah imam bangun dari ruku` pada rakaat terakhir, maka dia dianggap
tidak mendapatkan shalat jamaah, meski pun pada gerakan terakhir sempat shalat
bersama imam.
2. Pendapat Kedua : minimal ikut
satu takbir terakhir
Sebagian ulama lain mengatakan bahwa bila makmum masih
mendapatkan satu takbir terakhir sebelum imam mengucapkan salam, maka dia
mendapatkan shalat berjamaah.
Yang berpedapat seperti ini antara lain adalah ulama
kalangan Al-Hanafiyah dan As-Syafi`iyah serta riwayat yang masyhur dari Imam
Ahmad bin Hanbal beserta para murid beliau. (lihat kitab Hasyiatu Ibnu Abidin
jilid 2 halaman 59, kitab Al-Majmu` jilid 4 halaman 151 serta kitab Al-Inshaf
jilid 2 halaman 221).
Adapun dalil yang mereka kemukakan antara lain adalah
hadits-hadits berikut ini :
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,`Bila kalian menjalankan shalat janganlah mendatanginya dengan
berlari, tapi berjalan saja. Kalian harus melakukannya dengan sakinah (tenang),
apa yang bisa kamu dapat lakukanlah dan apa yang tertinggal sempurnakanlah.`(HR.
Muslim)[35].
Dari hadits ini bisa dikatakan bahwa siapa yang ikut shalat
jamaah pada saat imam sedang sujud atau duduk tasyahhud akhir,
disebutkan telah mendapatkan shalat berjamaah, tinggal dia menggenapkan apa-apa
yang tertinggal. Karena itulah bila dia masih mendapatkan satu kali takbir imam
yang terakhir sebelum salam, yaitu takbir ketika bangun dari sujud terakhir
sebelum tasyahhud akhir, maka dia dikatakan sudah ikut shalat jamaah.
E. Hukum Shalat Berjamaah
Di kalangan ulama berkembang banyak pendapat tentang hukum
shalat berjamaah. Ada
yang mengatakan fardhu `ain, sehingga orang yang tidak ikut shalat berjamaah
berdosa. Ada
yang mengatakan fardhu kifayah sehingga bila sudah ada shalat jamaah, gugurlah
kewajiban orang lain untuk harus shalat berjamaah. Ada yang mengatakan bahwa shalat jamaah
hukumnya fardhu kifayah. Dan ada juga yang mengatakan hukumnya sunnah
muakkadah.
Berikut kami uraikan masing-masing pendapat yang ada beserta
dalil masing-masing.
1. Pendapat Pertama : Fardhu
Kifayah
Yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Asy-Syafi`i dan Abu
Hanifah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Habirah dalam kitab Al-Ifshah jilid 1
halaman 142. Demikian juga dengan jumhur (mayoritas) ulama baik yang lampau
(mutaqaddimin) maupun yang berikutnya (mutaakhkhirin). Termasuk juga pendapat
kebanyakan ulama dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah.
Dikatakan sebagai fardhu kifayah maksudnya adalah bila sudah
ada yang menjalankannya, maka gugurlah kewajiban yang lain untuk melakukannya.
Sebaliknya, bila tidak ada satu pun yang menjalankan shalat jamaah, maka
berdosalah semua orang yang ada disitu. Hal itu karena shalat jamaah itu adalah
bagian dari syiar agama Islam.
Di dalam kitab Raudhatut-Thalibin karya Imam An-Nawawi
disebutkan bahwa :
Shalat jamaah itu itu hukumnya fardhu `ain untuk shalat
Jumat. Sedangkan untuk shalat fardhu lainnya, ada beberapa pendapat. Yang
paling shahih hukumnya adalah fardhu kifayah, tapi juga ada yang mengatakan
hukumnya sunnah dan yang lain lagi mengatakan hukumnya fardhu `ain.
Adapun dalil mereka ketika berpendapat seperti di atas
adalah :
Dari Abi Darda`
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Tidaklah 3 orang yang tinggal di suatu kampung atau pelosok tapi
tidak melakukan shalat jamaah, kecuali syetan telah menguasai mereka. Hendaklah
kalian berjamaah, sebab srigala itu memakan domba yang lepas dari
kawanannya". (HR Abu Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad
yang hasan)
Dari Malik bin Al-Huwairits
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,`Kembalilah kalian kepada
keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka shalat dan
perintahkan mereka melakukannya. Bila waktu shalat tiba, maka hendaklah salah
seorang kalian melantunkan adzan dan yang paling tua menjadi imam.(HR.
Muslim 292 - 674)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,`Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat
sendirian dengan 27 derajat. (HR. Muslim 650,249)
Al-Khatthabi berkata bahwa kebanyakan ulama As-Syafi`i
mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu `ain
dengan berdasarkan hadits ini[36].
2. Pendapat Kedua : Fardhu `Ain
Yang berpendapat demikian adalah Atho` bin Abi Rabah,
Al-Auza`i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hibban, umumnya ulama Al-Hanafiyah
dan mazhab Hanabilah. Atho` berkata bahwa kewajiban yang harus dilakukan dan
tidak halal selain itu, yaitu ketika seseorang mendengar Adzan, haruslah dia
mendatanginya untuk shalat.[37]
Dalilnya adalah hadits berikut :
Dari Aisah
radhiyallahu ‘anhu berkata,`Siapa yang mendengar adzan tapi tidak menjawabnya
(dengan shalat), maka dia tidak menginginkan kebaikan dan kebaikan tidak
menginginkannya[38].
Dengan demikian bila seorang muslim meninggalkan shalat
jamaah tanpa uzur, dia berdoa namun shalatnya tetap sah.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,`Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan,
lalu aku memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku
dengan beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak
ikut menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR.
Bukhari dan Muslim)[39].
3. Pendapat Ketiga : Sunnah
Muakkadah
Pendapat ini didukung oleh mazhab Al-Hanafiyah dan
Al-Malikiyah sebagaimana disebutkan oleh imam As-Syaukani[40].
Beliau berkata bahwa pendapat yang paling tengah dalam masalah hukum shalat
berjamaah adalah sunnah muakkadah. Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa
hukumnya fardhu `ain, fardhu kifayah atau syarat sahnya shalat, tentu
tidak bisa diterima.
Al-Karkhi dari ulama Al-Hanafiyah berkata bahwa shalat
berjamaah itu hukumnya sunnah, namun tidak disunnahkan untuk tidak mengikutinya
kecuali karena uzur. Dalam hal ini pengertian kalangan mazhab Al-Hanafiyah
tentang sunnah muakkadah sama dengan wajib bagi orang lain. Artinya, sunnah
muakkadah itu sama dengan wajib[41].
Khalil, seorang ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah
dalam kitabnya Al-Mukhtashar mengatakan bahwa shalat fardhu berjamaah selain
shalat Jumat hukumnya sunnah muakkadah[42].
Ibnul Juzzi berkata bahwa shalat fardhu yang dilakukan
secara berjamaah itu hukumnya fardhu sunnah muakkadah[43].
Ad-Dardir berkata bahwa shalat fardhu
dengan berjamaah dengan imam dan selain Jumat, hukumnya sunnah muakkadah[44].
Dalil yang mereka gunakan untuk pendapat mereka antara lain
adalah dalil-dalil berikut ini :
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,`Shalat berjamaah itu lebih utama dari shalat
sendirian dengan 27 derajat. (HR. Muslim)[45]
Ash-Shan`ani dalam kitabnya Subulus-Salam jilid 2 halaman 40
menyebutkan setelah menyebutkan hadits di atas bahwa hadits ini adalah dalil
bahwa shalat fardhu berjamaah itu hukumnya tidak wajib.
Selain itu mereka juga menggunakan hadits berikut ini :
Dari Abi Musa radhiyallahu
‘anhu berkata bahwa Rasulullah SAw bersabda,`Sesungguhnya orang yang
mendapatkan ganjaran paling besar adalah orang yang paling jauh berjalannya.
Orang yang menunggu shalat jamaah bersama imam lebih besar pahalanya dari orang
yang shalat sendirian kemudian tidur. [46]
4. Pendapat Keempat : Syarat Sahnya
Shalat
Pendapat keempat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum
syarat fardhu berjamaah adalah syarat sahnya shalat. Sehingga bagi
mereka, shalat fardhu itu tidak sah kalau tidak dikerjakan dengan
berjamaah.
Yang berpendapat seperti ini antara lain adalah Ibnu
Taymiyah dalam salah satu pendapatnya[47].
Demikian juga dengan Ibnul Qayyim, murid beliau. Juga Ibnu Aqil dan Ibnu Abi
Musa serta mazhab Zhahiriyah[48].
Termasuk diantaranya adalah para ahli hadits, Abul Hasan At-Tamimi, Abu
Al-Barakat dari kalangan Al-Hanabilah serta Ibnu Khuzaemah.
Dalil yang mereka gunakan adalah :
Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAw bersaba,`Siapa yang mendengar adzan tapi
tidak mendatanginya, maka tidak ada lagi shalat untuknya, kecuali karena ada
uzur.(HR Ibnu Majah, Ad-Daruquthuny, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)[49]
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,"Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah
shalat Isya dan Shubuh. Seandainya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari
kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya meski dengan merangkak.
Sungguh aku punya keinginan untuk memerintahkan shalat dan didirikan, lalu aku
memerintahkan satu orang untuk jadi imam. Kemudian pergi bersamaku dengan
beberapa orang membawa seikat kayu bakar menuju ke suatu kaum yang tidak ikut
menghadiri shalat dan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api". (HR.
Bukhari dan Muslim)[50]
Dari Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
didatangi oleh seorang laki-laki yang buta dan berkata,"Ya Rasulullah,
tidak ada orang yang menuntunku ke masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata untuk memberikan keringanan untuknya. Ketika sudah berlalu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan bertanya,`Apakah kamu
dengar adzan shalat?`. `Ya`, jawabnya. `Datangilah`, kata Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Muslim)
Kesimpulan :
Setiap orang bebas untuk memilih pendapat manakah yang akan
dipilihnya. Dan bila kami harus memilih, kami cenderung untuk memilih pendapat
menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya sunnah muakkadah, karena jauh
lebih mudah bagi kebanyakan umat Islam serta didukung juga dengan dalil yang kuat.
Meskipun demikian, kami tetap menganjurkan umat Islam untuk selalu memelihara
shalat berjamaah, karena keutamaannya yang disepakati semua ulama.□
Shalat Jumat
A. Pensyariat Shalat Jumat
Shalat Jumat disyariatkan di dalam Al-Quran Al-Kariem,
As-sunnah an-Nabawiyah dan juga oleh Ijma` (kesepaktan) seluruh ulama. Sehingga
siapa yang mengingkari kewajiban shalat jumat, maka dia kafir karena
mengingkari Al-Quran dan As-Sunnah.
1. Pensyariatan Oleh al-Quran
Di dalam Al-Quran, pensyariatan shalat jumat disebutkan di
dakam sebuah surat khusus yang dinamakan dengan surat Al-Jumu`ah. Disana
Allah telah mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan shalat jumat sebagai
bagian dari kewajiban / fardhu `ain atas tiap-tiap muslim yang memenuhi syarat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ
مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum'at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS.
Al-Jumu’ah : 9)
2. Pensyariatan Oleh As-Sunnah
Ada
banyak hadits nabawi yang menegaskan kewajiban shalat jumat. Diantaranya adalah
hadits berikut ini :
وَعَنْ
طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r قَالَ مَمْلُوكٌ وَامْرَأَةٌ وَصَبِيٌّ
وَمَرِيضٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi
setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1]
Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit." (HR. Abu
Daud)[51]
مَنْ
تَرَكَ َثلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا طبَعَ الله عَلىَ قَلْبِهِ
Dari Abi Al-Ja`d Adh-dhamiri radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Orang yang meninggalkan
3 kali shalat Jumat karena lalai, Allah akan menutup hatinya." (HR. Abu
Daud, Tirmizy, Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad)
لَيَنتَهِيَنَّ
أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الجُمُعَةَ أَوْ لَيَخْتَمَنَّ الله عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنَنَّ مِنَ الغَافِلِيْنَ
Dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa
mereka mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di atas
mimbar,"Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan shalat Jumat atau
Allah akan menutup hati mereka dari hidayah sehingga mereka menjadi orang-orang
yang lupa".(HR. Muslim, An-Nasai dan Ahmad)
Berdasarkan riwayat di atas, meninggalkan shalat jum’at
termasuk dosa-dosa besar. Al-Hafidz Abu Al-Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh dalam
kitabnya Ikmalul Mu’lim Bifawaidi Muslim [52]
berkata: “Ini menjadi hujjah yang jelas akan kewajiban pelaksanaan shalat
Jum’at dan merupakan ibadah Fardhu, karena siksaan, ancamam, penutupan dan
penguncian hati itu ditujukan bagi dosa-dosa besar (yang dilakukan), sedang
yang dimaksud dengan menutupi di sini adalah menghalangi orang tersebut untuk
mendapatkan hidayah sehingga tidak bisa mengetahu mana yang baik dan mana yang
munkar”.
B. Yang Diwajibkan Atasnya Untuk
Shalat Jumat
Kewajiban shalat jumat berlaku untuk semua umat Islam,
dengan kriteria sebagai berikut :
1.
Laki-laki, sedangkan wanita tidak diwajibkan
untuk shalat jumat namun bila dia mengerjakan, maka kewajiban shalat zuhurnya
telah gugur (tidak perlu shalat zhuhur lagi).
2.
Dalam keadaan sehat, sedangkan orang sakit tidak
wajib shalat jumat.
3.
Dewasa yaitu baligh, sedang anak-anak tidak
wajib shalat jumat.
4.
Mukimin yaitu orang yang menetap bukan musafir
atau yang sedang dalam perjalanan.
5.
Merdeka bukan hamba sahaya. Namun ulama berbeda
pendapat tentang dua nomor terakhir itu, apakah termasuk atau tidak.
Demkian dijelaskan dalam kitab Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu
Rusyd Al-Hafid pada jilid 1 hal 380. Sehingga orang-orang berikut ini yang
telah disebutkan dalam nash sebagai pengecualian. Mereka ini tidak diwajibkan
shalat jumat berdasarkan dalil-dali yang shahih, yaitu :
§ Para budak
§ Wanita
§ Anak-anak
§ Orang
Sakit
§ Musafir
Dalilnya adalah hadits nabi yang telah disebutkan di atas,
yaitu :
Dari Thariq bin Syihab radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,"Shalat Jumat itu adalah kewajiban
bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang.
[1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit." (HR. Abu
Daud)[53]
C. Tempat Shalat Jumat
Pada dasarnya shalat jumat itu dilakukan di dalam masjid
atau di dalam pusat pemukiman manusia. Bukan di hutan, padang pasir, pedalaman atau tempat-tempat
yang sepi dari manusia.
Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dulu,
orang-orang yang tinggal di badiyah (luar kota)
harus berjalan jauh untuk masuk ke Madinah untuk bisa ikut shalat Jumat. Sebab
shalat jumat tidak wajib dilaksanakan di luar wilayah pemukiman yang dihuni
masyarakat.
Disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab pernah mengirim surat kepada penduduk Bahrain untuk melakukan shalat
Jumat dimanapun[54].
Pada zaman kita sekarang ini bila mesjid penuh sedangkan
jumlah orang yang akan melaksanakan shalat jumat tidak tertampung lagi, boleh
membuat shalat jumat di tempat selain masjid. Dan memang secara statistik,
jumlah masjid yang ada tidak mencukupi untuk menampung shalat seluruh kaum
muslimin. Bila ada masjid nampak lengang, kemungkinan besar adalah kurangnya
kesadaran masyarakat sekitar untuk melakukan shalat berjamaah. Jadi memang
jumlah masjid itu kurang cukup dibandingkan dengan jumlah umat Islam.
Boleh memanfaatkan suatu ruangan sebagai tempat shalat
jumat, asalkan tempat itu bersih dan suci. Boleh menggunakan aula, ruang
pertemuan, gedung parkir dan ruangan-ruangan lain yang layak ‘disulap’ menjadi
masjid untuk shalat jumat.
Bahkan dalam kasus seperti itu, menurut sebagian pendapat,
tempat itu untuk sementara waktu berubah hukumnya menjadi mesjid. Karena itu
berlaku pula shalat sunnah dua rakaat tahiyatul masjid. Namun bila ada pendapat
yang menolak hal ini, mungkin saja. Karena pendapat ini tidak mutlak
kebenarannya, tetapi merupakan ijtihad para ulama berdasarkan mashlahat dan
kepentingan umat.
D. Jumlah Minimal Jama`ah Jum`at
As-Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunah menyebutkan paling tidak
ada 15 pendapat yang berbeda dalam menetukan batas minimal jumlah jamaah dalam
shalat Jumat[55].
Meski boleh tidak mencapai 40 orang, bukan berati setiap
beberapa orang boleh menyelenggarakan sendiri-sendiri dengan 2 atau 3 orang.
Bukan demikian pengetianya, tetapi bila memang tidak ada lagi orang muslim
lainnya di suatu tempat.
Syeikh Ibnu Taimiyyah berpendapa bahwa shalat Jum’at boleh
dilakukan oleh tiga orang; satu orang berkhutbah dan dua orang mendengarkan khutbah
tersebut. Dan ini merupakan salah satu riwayat dari Ahmad dan merupakan
pendapat sebagian ulama[56].
Pandangan Para Imamm Mazhab Atas Hal Ini
1. Pendapat Kalangan
Al-Hanafiyah
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa jumlah minimal untuk sahnya
shalat jumat adalah tiga orang selain imam. Nampaknya kalangan ini berangkat
dengan pengertian lughawi (bahasa) tentang sebuah jamaah. Yaitu bahwa yang bisa
dikatakan jamaah itu adalah minimal tiga orang.
Bahkan mereka tidak mensyaratkan bahwa peserta shalat jumat
itu harus penduduk setempat, orang yang sehat atau lainnya. Yang penting
jumlahnya tiga orang selain imam / khatib.
Selain itu mereka juga berpendapat bahwa tidak ada nash
dalam Al-Quran Al-Karim yang mengharuskan jumlah tertentu kecuali perintah itu
dalam bentuk jama`. Dan dalam kaidah bahasa arab, jumlah minimal untuk bisa
disebut jama’ adalah tiga orang.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ
مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat
Jum`at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS.
Al-Jumu’ah : 9)
Kata kalian menurut mereka tidak menunjukkan 12 atau 40
orang, tetapi tiga orang pun sudah mencukupi makna jama’.
2. Pendapat kalangan
Al-Malikiyah
Al-Malikiyah menyaratkan bahwa sebuah shalat jumat itu baru sah
bila dilakukan oleh minimal 12 orang untuk shalat dan khutbah.
Jumlah ini didapat dari peristiwa yang disebutkan dalam surat Al-Jumu’ah yaitu
peristiwa bubarnya sebagian peserta shalat jumat karena datangnya rombongan
kafilah dagang yang baru pulang berniaga. Serta merta mereka meninggalkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang saat itu sedang berkhutbah
sehingga yang tersisa hanya tinggal 12 orang saja.
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا
إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ مِّنَ اللَّهْوِ
وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar
untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri . Katakanlah:
`Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan`, dan Allah
Sebaik-baik Pemberi rezki.(QS. Al-Jumu’ah : 11)
Oleh kalangan Al-Malikiyah, tersisanya 12 orang yang masih
tetap berada dalam shaf shalat Jum’at itu itu dianggap sebagai syarat minimal
jumlah peserta shalat Jumat. Dan menurut mereka, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam saat itu tetap meneruskan shalat jumat dan tidak
menggantinya menjadi shalat zhuhur.
3. Pendapat kalangan Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah
Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah menyaratkan bahwa sebuah
shalat jumat itu tidak sah kecuali dihadiri oleh minimal 40 orang yang
ikut shalat dan khutbah dari awal sampai akhirnya.
Dalil tentang jumlah yang harus 40 orang itu berdasarkan
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
وَعَنْ
جَابِرٍ t قَالَ: مَضَتِ السُّنَّةُ أَنَّ فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ فَصَاعِدًا
جُمُعَةً رَوَاهُ
اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيف
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam shalat Jum’at di Madinah dengan jumlah peserta 40 orang. (HR.
Ad-Daruquthuny)[57].
Inil adalah dalil yang sangat jelas dan terang sekali yang
menjelaskan berapa jumlah peserta shalat jumat di masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Menurut kalangan Asy-Syafi`iyah, tidak pernah didapat
dalil yang shahih yang menyebutkan bahwa jumlah mereka itu kurang dari 40
orang. Tidak pernah disebutkan dalam dalil yang shahih bahwa misalnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu pernah shalat jumat hanya
bertiga saja atau hanya 12 orang saja. Karena menurut mereka ketika terjadi
peristiwa bubarnya sebagian jamaah itu, tidak ada keterangan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan sisa jamaah meneruskan shalat itu dengan shalat jumat.
Dengan hujjah itu, kalangan Asy-Syafi`iyah meyakini bahwa
satu-satu keterangan yang pasti tentang bagaimana shalat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam ketika shalat jumat adalah yang menyebutkan bahwa jumlah
mereka 40 orang.
Bahkan mereka menambhakan syarat-syarat lainnya, yaitu bahwa
keberadaan ke-40 orang peserta shalat jumat ini harus sejak awal hingga
akhirnya. Sehingga bila saat khutbah ada sebagian peserta shalat jumat yang
keluar sehingga jumlah mereka kurang dari 40 orang, maka batallah jumat itu.
Karena didengarnya khutbah oleh minimal 40 orang adalah bagian dari rukun
shalat jumat dalam pandangan mereka.
Seandainya hal itu terjadi, maka menurut mereka shalat itu
harus dirubah menjadi shalat zhuhur dengan empat rakaat. Hal itu dilakukan
karena tidak tercukupinya syarat sah shalat jumat.
Selain itu ada syarat lainnya seperti :
Ke-40 orang itu harus muqimin atau orang-orang yang tinggal
di tempat itu (ahli balad), bukan orang yang sedang dalam perjalanan (musafir),
Karena musafir bagi mereka tidak wajib menjalankan shalat jumat, sehingga
keberadaan musafir di dalam shalat itu tidak mencukupi hitungan minimal peserta
shalat jumat.
Ke-40 orang itu pun harus laki-laki semua, sedangkan
kehadiran jamaah wanita meski dibenarkan namun tidak bisa dianggap mencukupi
jumlah minimal.
Ke-40 orang itu harus orang yang merdeka, jamaah yang budak
tidak bisa dihitung untuk mencukupi jumlah minimal shalat jumat.
Ke-40 orang itu harus mukallaf yang telah aqil baligh,
sehingga kehadiran anak-anak yang belum baligh di dalam shalat jumat tidak
berpengaruh kepada jumlah minimal yang disyaratkan.
E. Bila Tertinggal Shalat Jumat
Para ulama telah bersepakat
bahwa siapa yang tertinggal ikut jamaah shalat jumat, maka harus shalat empat
rakaat yaitu shalat zhuhur. Sedangkan batas apakah seseorang itu bisa dikatakan
masih ikut shalat jumat atau tidak adalah bila minimal masih mendapat satu
rakaat bersama imam dalam shalat jumat.
Misal, pada shalat jumat ada seorang yang terlambat. Lalu
dia ikut shalat bersama imam, sedangkan saat itu imam sudah berada pada rakaat
kedua tapi belum lagi bangun dari ruku‘. Maka bila makmum itu masih sempat
ruku‘ bersama imam, berarti dia telah mendapat satu rakaat bersama imam. Dalam
hal ini, dia mendapatkan shalat jumat karena minimal ikut satu rakaat. Jadi
bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk menyelesaikan satu
rakaat lagi.
Tapi bila dia tidak sempat bersama imam pada saat ruku‘ di
rakaat kedua, maka dia tidak mendapat minimal satu rakaat bersama imam. Yang
harus dilakukannya adalah tetap ikut dalam jamaah itu, tapi berniat untuk
shalat zhuhur.
Bila seseorang masuk masjid untuk shalat jumat, tetapi imam
sudah i`tidal (bangun dari ruku`) pada rakaat kedua, maka saat itu dia harus
takbiratul ihram dan langsung ikut shalat berjamaah bersama imam tapi niatnya
adalah shalat zhuhur. Bila imam mengucapkan salam, maka dia berdiri lagi untuk
shalat zhuhur sebanyak 4 rakaat. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
مَرْفُوعًا مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ
الصَّلاةِ فَقَدْ أَدْرَكَهَا
Dari Abi Hurairah ra.“Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama
imam, maka dia terhitung (mendapat) shalat itu”. (Hadits
Muttafaq Alaihi)[58].
وَعَنِ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ r مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ صَلاةِ اَلْجُمُعَةِ
وَغَيْرِهَا فَلْيُضِفْ إِلَيْهَا أُخْرَى وَقَدْ تَمَّتْ صَلاتُهُ رَوَاهُ
النَّسَائِيُّ, وَابْنُ مَاجَهْ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَاللَّفْظُ لَهُ,
وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ, لَكِنْ قَوَّى أَبُو حَاتِمٍ إِرْسَالَهُ
Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Siapa yang mendapatkan satu rakaat pada shalat Jumat atau
shalat lainnya, maka tambahkanlah rakaat lainnya, maka dia terhitung (mendapat)
shalat itu”. (HR. An-Nasai, Ibnu Majah, Ad-Daruquthuni)[59]
Selain kedua dalil ini adalah beberapa hadits lain yang
senada yang diriwayatkan oleh An-Nasai, Ad-Daruquhtuni dan lainnya. □
Shalat Dalam Perjalanan
Ciri khas syariat Islam adalah keringanan dan kemudahan yang
tersebar di hampir semua bagian ibadah. Salah satunya adalah keringanan untuk
menjama’ dan mengqashar shalat. Menjama’ adalah melakukan dua
shalat dalam satu waktu. Misalnya, shalat Zhuhur dan shalat Ashar dikerjakan di
waktu Zhuhur atau di waktu Ashar. Sedangkan mengqashar adalah mengurangi jumlah
rakaat shalat ruba'iyah (yang jumlah rakaatnya empat) menjadi dua rakaat.
Namun semua keringanan itu punya aturan, sejumlah syarat dan
ketentuan untuk bisa dilakukan. Tidak boleh asal gabung atau asal mengurangi
begitu saja.
I. Shalat Jama'
Ada
dua jenis jama', yang pertama disebut jama’ taqdim dan yang kedua
disebut jama’ ta'khir. Jama’ taqdim adalah melakukan dua shalat
pada waktu shalat yang pertama. Jama’ tadim ini hanya ada dua saja.
yaitu shalat Zhuhur dan shalat Ashar dilakukan pada waktu Zhuhur. Lalu shalat
Maghrib dan shalat Isya' dilakukan pada waktu Maghrib.Di luar keduanya, tidak
ada jama’ lainnya.
A. Hal-hal Yang Membolehkan
Jama'
Dalam keadaan safar yang panjang sejauh orang berjalan kaki
atau naik kuda selama dua hari. Para ulama
kemudian mengkonversikan jarak ini menjadi 89 km atau tepatnya 88,704 km.
Hujan yang turun membolehkan dijama'nya Mahgrib dan Isya' di
waktu Isya, namun tidak untuk jama’ antara Zhuhur dan Ashar. Dengan
dalil :
إِنَّ
مِنَ السُنَّةِ إِذَا كَانَ يَوْمُ مُطِير أَنْ يجَمَعَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ
رواه
الأثرم
Sesungguhnya merupakan
sunnah bila hari hujan untuk menjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya' (HR.
Atsram)
Keadaan sakit menurut Imam Ahmad bisa membolehkan seseorang
menjama’ shalat. Dalilnya adalah hadits nabawi
كَانَ
النَّبِيَُ r جَمَعَ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam
menjama’ shalat bukan karena takut juga bukan karena hujan.
B. Syarat Jama’ Taqdim
Untuk dibolehkan dan sah-nya jama’ taqdim, paling
tidak harus dipenuhi 4 syarat. Bila salah satu syarat ini tidak terpenuhi,
tidak sah bila dilakukan jama’ taqdim.
1. Niat Sejak Shalat Yang
Pertama
Misalnya kita menjama’ shalat Zhuhur dengan shalat
Ashjar di waktu Zhuhur, maka sejak berniat shalat Zhuhur kita juga harus sudah
berniat untuk menjama’ dengan Ashar. Niat untuk menjama’ ini
masih dibolehkan selama shalat Zhuhur belum selesai. Jadi batas kebolehan
berniatnya hingga sebelum mengucapkan salam dari shalat Zhuhur. Bila selesai
salam kita baru berniat untuk menjama', jama taqdim tidak boleh dilakukan.
Sehingga shalat Ashar hanya boleh dilakukan nanti bila waktu Ashar telah tiba.
2. Tertib
Misalnya kita menjama’ shalat Maghrib dengan shalat
Isya' dengan taqdim, yaitu di waktu Maghrib, maka keduanya harus dilakukan
sesuai dengan urutan waktunya. Harus shalat Maghrib dulu yang dikerjakan baru
kemudian shalat Isya'. Bila shalat Isya' yang dikerjakan terlebih dahulu, maka
tidak sah hukumnya.
Namun bila bukan jama’ taqdim, dimungkinkan untuk
melakukannnya dengan terbalik, yaitu shalat Isya' dulu baru shalat Maghirib.
Meski pun tetap lebih utama bila dilakukan dengan tertb urutan waktunya.
3. Al-Muwalat (Bersambung)
Maksudnya antara shalat yang awal dengan shalat kedua tidak
boleh terpaut waktu yang lama. Boleh diselingi sekadar lama waktu orang
melakukan shalat dua rakaat yang ringan. Juga boleh diselingi dengan mengambil
wudhu'. Tapi tidak boleh bila diselingi pekerjaan lain dalam waktu yang terlalu
lama.
Disunnahkan di antara jeda waktu itu untuk mengulangi adzan dan
iqamah, tapi bukan shalat sunnah. Sebab pada hakikatnya kedua shalat ini
disatukan. Ketiga syarat ini berlaku mutlak untuk jama’ taqdim namun
untuk jama’ ta'khir bukan menjadi syarat, hanya menjadi sunnah saja.
4. Masih Berlangsungnya Safar
Hingga Takbiratul Ihram Shalat Yang Kedua
Misalnya kita menjama’ taqdim shalat Maghrib dengan
Isya' di waktu Maghrib, maka pada saat Isya' kita harus masih dalam keadaan
safar atau perjalanan. Paling tidak pada saat takbiratul hram shalat Isya'.
Hal itu terbayang kalau kita melakukannya di kapal laut
misalnya. Kapal itu harus masih dalam pelayaran pada saat kita takbiratul ihram
shalat Isya. Tidak mengapa bila selama shalat Isya itu, kapal sudah merapat ke
pelabuhan negeri kita.
B. Syarat Jama’ Ta'khir
Sedangkan syarat dibolehkannya jama’ ta'khir hanya
ada dua saja. Yaitu adalah :
1. Berniat Untuk Menmaja'
Ta'khir Sebelum Habisnya Waktu Shalat Yang Pertama
Misalnya kita berniat untuk menjama’ shalat Maghrib
dengan Isya di waktu Isya', maka sebelum habis waktu Maghrib, kita wajib untuk
berniat untuk menjama’ takhir shalat Maghrib di waktu Isya'. Niat itu
harus dilakuakan sebelum habisnya waktu shalat Maghrib.
2. Safar Harus Masih Berlangsung
Hingga Selesainya Shalat Yang Kedua.
Kita masih harus dalam perjalanan hingga selesai shalat
Maghrib dan Isya'. Tidak boleh jama’ ta'khir itu dilakukan di rumah
setelah safar sudah selesai. Sebab syarat menjama’ shalat adalah safar,
maka bila safar telah selesai, tidak boleh lagi melakukan jama'. Oleh karena
itu, bila kita mau menjama’ ta'khir, jangan lakukan di rumah, melainkan
sebelum sampai ke rumah atau selama masih dalam kondisi perjalanan.
Bolehkah Shalat Isya' Dulu Baru
Maghrib?
Bila jama’ taqdim, tidak boleh mendahulukan shalat
Isya', tapi boleh bila jama’ ta'khir. Namun tetap lebih utama bila
dilakukan sesuai urutan shalatnya. Kecuali ada uzdur tertentu yang tidak
memungkinkan mendahulukan shalat Maghirb. Misalnya, di waktu Isya di suatu
masjid dimana orang-orang sedang shalat Isya', tidak mungkin para musafir yang
singgah mengerjakan shalat Maghrib
dengan berjamaah.
II. Shalat Qashar
Allah SWT berfirman di dalam Al-quran al-Kariem tentang keringanan
bagi orang yang sedang dalam perjalanan untuk mengurangi jumlah bilangan rakaat
shalat. Pengurangan bilangan rakaat ini disebut juga dengan istilah Qashr.
Yaitu pada shalat fardhu yang jumlah rakaatnya empat dikurangi menjadi dua
rakaat. Sedangkan yang jumlahnya tiga rakaat (shalat Maghrib) dan dua rakaat
(shalat Shubuh) tidak ada pengurangan jumlah rakaat.
1. Dasar dari Al-Quran
وَإِذَا
ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ
الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ
الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa
kamu men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.(QS.
An-Nisa : 110)
2. Dasar dari Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Dari ‘Aisah radhiyallahu
‘anhu berkata : “Awal diwajibkan shalat adalah dua rakaat, kemudian ditetapkan
bagi shalat safar dan disempurnakan ( 4 rakaat) bagi shalat hadhar (tidak
safar)” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dari ‘Aisah radhiyallahu ‘anhu berkata:” Diwajibkan shalat 2
rakaat kemudian Nabi hijrah, maka diwajibkan 4 rakaat dan dibiarkan shalat
safar seperti semula (2 rakaat)” (HR Bukhari)
Dalam riwayat Imam Ahmad menambahkan :
“Kecuali Maghrib, karena Maghrib adalah shalat witir di siang hari
dan shalat Subuh agar memanjangkan bacaan di dua rakaat tersebut”
B. Kapankah Dibolehkan Menjama`
/ Qashar Shalat?
Sebenarnya untuk membolehkan seseorang menjama` shalatnya,
ada beberapa syarat yang harus terpenuhi. Tidak sembarang keadaan bisa
membolehkan jama` shalat, sebab kewajiban shalat itu sudah memiliki waktu yang
tetap dan pasti. Dan dimana pun seorang muslim mendapatkan waktu shalat, maka
disitu dia bisa melakukan shalat. Hal ini sangat jauh berbeda dengan bentuk
ibadah ahli kitab yang diwajibkan untuk ibadah HANYA didalam rumah ibadahnya
yang khusus. Tidak boleh dilakukan di sembarang tempat.
Buat umat Muhammad, bumi telah dijadikan suci, baik untuk
tayammum atau pun untuk melakukan shalat. Kapan pun seorang muslim mendengar Adzan,
pada prinsipnya dia bisa langsung mengerjakan shalat di tempat itu. Sebagaimana
hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini :
عَنْ جَابِرِ بْنِ
عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ r
قَالَ
وَجُعِلَتْ لِي اَلارْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا, فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ اَلصَّلاةُ
فَلْيُصَلِّ
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu bahwa nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,”Telah dijadikan bumi ini bagiku dan bagi umatku
sebagai masjid dan suci. Dimana pun umatku mendapatkan waktu shalat, maka dia
suci. (HR. Bukhari dan Muslim)
[1] Tidak ada air? Tayammum atau wudhu pakai air di botol
minuman kemasan.
[2] Tidak ada masjid/mushalla? Boleh di atas tanah, rumput,
trotoar, gang, gudang atau apapun.
[3] Baju kotor? Kotor itu bukan najis dan shalat tetap sah
walau baju kotor belepotan lumpur, oli, debu atau cat.
[4] Tidak ada waktu? Shalat itukan cuma beberapa gerakan
kecil yang paling panjang cuma 4 rakaat. Total waktu yang dibutuhkan per
rakaatnya kurang lebih satu menit. Jadi shalat yang paling panjang itu hanya
butuh maksimal 4 menit saja. Ini waktu yang lebih singkat dari menghabiskan
sebatang rokok, atau waktu yang lebih cepat dari berjalan bolak balik ke
toilet.
[5] Tidak mau? Nah inilah satu-satunya alasan untuk tidak
shalat atau untuk melalaikan kewajibannya.
Dengan demikian, hampir-hampir tidak ada alasan bagi setiap
muslim untuk tidak shalat atau mengabung-gabung shalatnya, selama kondisi masih
memungkinkan.
Diantara penyebab dibolehkannya jama` dan qashar adalah
safar adalah :
1. Bepergian atau safar
Syarat yang harus ada dalam perjalanan itu menurut ulama
fiqih antara lain :
a.
Niat Safar
b.
Memenuhi jarak minimal dibolehkannya safar yaitu
4 burd (88, 656 km ). Sebagian ulama berbeda dalam menentukan jarak minimal.
c.
Keluar dari kota tempat tinggalnya
d.
Shafar yang dilakukan bukan safar maksiat
2. Sakit
Imam Ahmad bin Hanbal membolehka jama` karena disebabkan
sakit. Begitu juga Imam Malik dan sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah.
Sedangkan dalam kitab Al-Mughni karya Ibnu Qudamah dari
mazhab Al-Hanabilah menuliskan bahwa sakit adalah hal yang membolehkan jama`
shalat. Syeikh Sayyid Sabiq menukil masalah ini dalam Fiqhussunnah-nya.
Sedangkan Al-Imam An-Nawawi dari mazhab Asy-Syafi`iyyah
menyebutkan bahwa sebagian imam berpendapat membolehkan menjama` shalat saat
mukim (tidak safar) karena keperluan tapi bukan menjadi kebiasaan[60].
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Ibnu Sirin dan
Asyhab dari kalangan Al-Malikiyah. Begitu juga Al-Khattabi menceritakan dari
Al-Quffal dan Asysyasyi al-kabir dari kalangan Asy-Syafi`iyyah.
Begitu juga dengan ibnul munzir yang menguatkan pendapat
dibolehkannya jama` ini dengan perkataan Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin
memberatkan ummatnya”.
Allah SWT berfirman :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Allah tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan”. (QS.
Al-Hajj : 78)
لَيْسَ عَلَى الاعْمَى حَرَجٌ وَلا عَلَى الاعْرَجِ
حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
“Dan bagi orang sakit tidak ada kesulitan” (QS. Annur
: 61)
3. Haji
Para jamaah haji
disyariatkan untuk menjama` dan mengqashar shalat zhuhur dan Ashar ketika berga
di Arafah dan di Muzdalifah dengan dalil hadits berikut ini :
Dari Abi Ayyub al-Anshari
ra. Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama` Maghrib dan Isya` di
Muzdalifah pada haji wada`. (HR. Bukhari 1674).
4. Hujan
Dari Ibnu Abbas RA. Bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di Madinah tujuh atau delapan ;
Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya`”. Ayyub berkata,”Barangkali pada malam turun
hujan?”. Jabir berkata,”Mungkin”. (HR. Bukhari dan Muslim)[61].
Dari Nafi` maula
Ibnu Umar berkata,”Abdullah bin Umar bila para umaro menjama` antara maghrib
dan isya` karena hujan, beliau ikut menjama` bersama mereka”. (HR. Ibnu Abi
Syaibah)[62].
Hal seperti juga dilakukan oleh para salafus shalih seperti
Umar bin Abdul Aziz, Said bin Al-Musayyab, Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin
Abdurrahman dan para masyaikh lainnya di masa itu. Demikian dituliskan oleh
Imam Malik dalam Al-Muwattha` jilid 3 halaman 40.
Selain itu ada juga hadits yang menerangkan bahwa hujan
adalah salah satu sebab dibolehkannya jama` qashar.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan
Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR.
Muslim)[63].
5. Keperluan Mendesak
Bila seseorang terjebak dengan kondisi dimana dia tidak
punya alternatif lain selain menjama`, maka sebagian ulama membolehkannya.
Namun hal itu tidak boleh dilakukan sebagai kebiasaan atau rutinitas.
Dalil yang digunakan adalah dalil umum seperti yang sudah
disebutkan diatas.
Allah SWT berfirman :
“Allah tidak menjadikan
dalam agama ini kesulitan”. (QS. Al-Hajj : 78)
Dari Ibnu Abbas ra, “beliau tidak ingin memberatkan ummatnya”.
Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjama` zhuhur, Ashar, Maghrib dan
Isya` di Madinah meski tidak dalam keadaan takut maupun hujan.” (HR.
Muslim)[64].
C. Jarak Dibolehkan Jama` /
Qashar
Para ulama berbeda pendapat
tentang kebolehan menjama` shalat dilihat dari segi batas minimal jarak
perjalanan.
1. Pendapat Pertama :
Imam Malik ra, Imam Asy-Syafi`i ra, Imam Ahmad bin Hanbal
ra. dan lainnya mengatakan minimal berjarak 4 burud (4 farsakh). Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 Farsakh itu
sama dengan 4 mil. Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid dituliskan
bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 km[65].
2. Pendapat Kedua :
Abu Hanifah dan Kufiyun mengatakan minimal perjalanan 3
hari.
3. Pendapat Ketiga :
Sedangkan Zahiri mengatakan tidak ada batas minimal seperti
yang telah kami sebutkan di atas. Jadi mutlak safar, artinya berapa pun
jaraknya yang penting sudah masuk dalam kriteria safar atau perjalanan.
Seorang musafir dapat mengambil rukhsoh shalat dengan mengqashar
dan menjama’ jika telah memenuhi jarak tertentu.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: Dari Yahya bin Yazid al-Hana’i berkata, saya
bertanya pada Anas bin Malik tentang jarak shalat Qashar? “Anas menjawab:”
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika keluar menempuh jarak 3 mil
atau 3 farsakh beliau shalat dua rakaat” (HR
Muslim)
Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:” Wahai penduduk Mekkah janganlah kalian mengqashar shalat kurang dari
4 burd dari Mekah ke Asfaan” (HR at-Tabrani, ad-Daruqutni)[66]
Dari Ibnu Syaibah
dari arah yang lain berkata:” Qashar shalat dalam jarak perjalanan sehari
semalam”.
Adalah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu mengqashar shalat dan buka puasa pada perjalanan menepun
jarak 4 burd yaitu 16 farsakh”. Ibnu Abbas menjelaskan jarak minimal
dibolehkannya qashar shalat yaitu 4 burd atau 16 farsakh. 1 farsakh = 5541
meter sehingga 16 Farsakh = 88,656 km.
Dan begitulah yang dilaksanakan sahabat seperti Ibnu Abbas
dan Ibnu Umar. Sedangkan hadits Ibnu Syaibah menunjukkan bahwa qashar shalat
adalah perjalanan sehari semalam. Dan ini adalah perjalanan kaki normal atau
perjalanan unta normal. Dan setelah diukur ternyata jaraknya adalah sekitar 4
burd atau 16 farsakh atau 88,656 km. Dan pendapat inilah yang diyakini
mayoritas ulama seperti imam Malik, imam asy-Syafi’i dan imam Ahmad serta
pengikut ketiga imam tadi.
Kesimpulan :
Jarak dibolehkannya seseorang mengqashar dan menjama’ shalat,
menurut jumhur ulama; yaitu pada saat seseorang menempuh perjalanan minimal 4
burd atau 16 farsakh atau sekitar 88, 656 km.
C. Syarat Menjama` / Mengqashar
Untuk dapat mengerjakan jama` dan qashar, ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi. Yaitu :
1. Niat
Safar
2. Memenuhi
jarak minimal dibolehkannya safar yaitu 4 burd (88, 656 km )
3. Keluar
dari kota
tempat tinggalnya
4. Shafar
yang dilakukan bukan safar maksiat
Dengan demikian, maka para ulama mensyaratkan bahwa shalat
jama` dan qashar itu baru bisa dikerjakan bila telah melakukan perjalanan walau
belum mencapai jarak itu. Sebagian lagi memberi batasan asal sudah keluar
rumah.
D. Batasan Waktu Untuk Tetap
Menjama` / Mengqashar
Batasan berapa lama seseorang boleh tetap menjama` dan
mengqashar shalatnya, ada beberapa perbedaan pendapat di antara para fuqoha.
Imam Malik dan Imam As-Syafi`i berpendapat bahwa masa
berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 4 hari, maka
selesailah masa jama` dan qasharnya.
Sedangkan Imam Abu Hanifah dan At-Tsauri berpendapat bahwa
masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 15 hari,
maka selesailah masa jama` dan qasharnya.
Dan Imam Ahmad bin Hanbal dan Daud berpendapat bahwa masa
berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat lebih dari 4 hari, maka
selesailah masa jama` dan qasharnya.
Adapaun musafir yang tidak akan menetap maka ia senantiasa
mengqashar shalat selagi masih dalam keadaan safar.
Ibnul Qoyyim berkata,
” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di
Tabuk 20 hari mengqashar shalat”.
Disebutkan Ibnu Abbas :”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat di sebagian
safarnya 19 hari, shalat dua rakaat. Dan kami jika safar 19 hari, shalat dua
rakaat, tetapi jika lebih dari 19 hari, maka kami shalat dengan sempurna”. (HR.
Bukhari) □
Shalat Sunnah Rawatib
(131)
A. Sunnah Rawatib Muakkadah dan Ghairu Muakkadah
A. Sunnah Rawatib Muakkadah dan Ghairu Muakkadah
Shalat
sunnah rawatib yang selalu dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah :
- Dua rakaat sebelum zhuhur
- Dua rakaat sesudah zhuhur
- Dua rakaat sesudah maghrib
- Dua rakaat setelah ‘Isya’
- Dua rakaat sebelum shubuh.
Adapun
yang selain itu memang tidak menjadi kebiasaan beliau meski tetap ada dalil
masyru’iyahnya. Derajat kesunnahannya sedikit di bawah yang 10 rakaat itu namun
tetap berpahala dan menjadi dari ibadah tambahan yang bila dikerjakan akan
memberikan nilai tambah tersendiri. Pada dasarnya semua sholat rawatib adalah
dianjurkan hanya saja para ulama membaginya menjadi dua bagian; sholat sunnah
Mu’akkadah dan sholat sunnah Ghair Mu’akkadah.
Yang
termasuk sholat rawatib mu’akkadah adalah dua rakaat sebelum shubuh, dua rakaat
atau empat rakaat sebelum Dzuhur dan dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah
Maghrib, dua rakaat setelah Isya.
Dari Ummu Habibah Ramlah Ra ia berkata :
Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada seorang hamba muslim yang
melaksanakan sholat karena Allah dalam setiap hari dua belas rakaat berupa
tathowwu’ bukan sholat fardhu melainkan Allah akan membangunkan bagi orang
tersebut sebuah istana di surga atau melainkan akan dibangubn bagi orang
tersebut istana di surga” (HR. Muslim No. 728)
Sedangkan
yang dimaksud dengan sholat rawatib ghair mu’akkaddah dan sebagian ulama
menyebutnya sebagai sholat sunnah muthlaqah adalah
a. Dua rakaat sebelum
Ashar.
Dari Abdullah bin
Mughaffal Ra ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Diantara adzan dan iqomah ada
sholat, diantara adzan dan iqomah ada sholat (kemudian dikali ketiga beliau
berkata:) bagi siapa yang mau” (HR. Bukhari No. 627 dan Muslim No. 838)
b. Dua rakaat sebelum
Maghrib
Dari Abdullah bin
Mughaffal Ra dari Nabi SAW bersabda: “Shalatlah kalian sebelum Maghrib (beliau
mengulangnya tiga kali). Diakhirnya beliau bersabda: Bagi siapa saja yang mau
melaksankannya. Beliau takut hal tersebut dijadikan oleh orang-orang sebagai
sunnah. (HR. Bukhori No. 1183)
Dan dalam riwayat Abu
Daud : “Sholatlah kalian sebelum Maghrib dua rakaat”. Kemudian beliau bersabda:
“Sholatlah kalian sebelum Maghrib dua rakaat bagi yang mau” Beliau takut
prang-orang akan menjadikannya sholat sunnah. (HR. Abu Daud No. 1281)
Dari Abdullah bin
Mughaffal Ra ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Diantara adzan dan iqomah ada
sholat, diantara adzan dan iqomah ada sholat (kemudian dikali ketiga beliau
berkata:) bagi siapa yang mau” (HR. Bukhari No. 627
dan Muslim No. 838)
c. Dua rakaat sebelum
Isya.
Dari Abdullah bin
Mughaffal Ra ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Diantara adzan dan iqomah ada
sholat, diantara adzan dan iqomah ada sholat (kemudian dikali ketiga beliau
berkata:) bagi siapa yang mau” (HR. Bukhari No. 627
dan Muslim No. 838)
B. Keutamaan Shalat
Sunnah Rawatib
Ada sejumlah keterangan dari
Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang keutamaan melaksanakan sholat sunah
rawatib. Antara lain:
Dari Aisyah Ra dari
Nabi SAW belaiu bersabda: “Dua rakaat fajar (qbliyah shubuh) adalah lebih baik
dari dunia dan segala isinya” (HR. Muslim No. 725)
Dari Ummu Habibah
Ramlah Ra ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada
seorang hamba muslim yang melaksanakan sholat karena Allah dalam setiap hari
dua belas rakaat berupa tathowwu’ bukan sholat fardhu melainkan Allah akan
membangunkan bagi orang tersebut sebuah istana di surga atau melainkan akan
dibangubn bagi orang tersebut istana di surga” (HR. Muslim No. 728)
Dari Ummu Habibah Ra
dari Nabi SAW beliau bersabda: “Barangsiapa yang melaksankan sholat sebelum
dzuhur empat rakaat (qabliyah dzuhur) dan setelahnya empat rakaat (ba’diyyah
dzuhur) Allah akan mengharamkan orang tersebut masuk neraka” (HR. Abu Daud/shohih sunan Abu Daud No. 1130, Tirmidzy/shohih sunan
Tirmidzi No. 352, Nasai/shohih sunan An-Nasai No. 1708 dan Ibnu Majah/shohih
sunan Ibnu Majah No. 951)
Demikianlah sebagian dalil dari
hadis yang menjelaskan tentang fadhilah melaksanakan sholat rawatib, baik
qabliyah maupun ba’diyyah.
C. Hukum Berpindah
Tempat
Ada sejumlah riwayat yang
menjelaskan bahwa berpindah tempat ketika akan melaksanakan sholat rawatib,
baik qabliyah maupun ba’diyyah adalah disunahkan.
Bahkan lebih afdholnya lagi,
sholat sunnah rawatib dilaksanakan di dalam rumah sebagaimana yang biasa dilakukan
oleh Rasulullah SAW. Dari Zaid bin Tsabit Ra sesungguhnya Rasulullah SAW telah
bersabda:
“Sholatnya seseorang
di rumahnya adalah lebih baik daripada sholatnya di masjidku ini keculai sholat
fardhu” (HR. Abu Daud/Shaih sunan Abi Daud N0.22)
Dari Al-Mughiroh bin
Syu’bah Ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Seorang imam tidak boleh
sholat di tempat dimana ia sholat sehingga ia berpindah tempat” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Dari Abu Hurairoh Ra
dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Apakah kamu merasa lemah (keberatan) apabila
kamu sholat untuk maju sedikit atau mundur, atau pindah ke sebelah kanan atau
ke sebelah kiri ?” (HR. Ibnu Majah)
Hadits-hadits di atas menunjukan
bahwa berpindah tempat ketika melaksanakan sholat adalah masyru’. Dan diantara
alasan disyariatkanya hal tersebut adalah untuk memperbanyak tempat sujud atau
ibadah, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Bukhori dan Al-Baghowi. Karena
tempat-tempat ibadah tersebut akan memberi kesaksian di hari akhir nanti
sebagaimana firman Allah Swt:
”Pada hari itu bumi
menceritakan khabarnya“ (QS. Al-Zalzalah : 4)
Penejelasan ini dapat anda rujuk
pada kitab ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud 2/227-228.
Namun jika masjid atau musholanya
sempit, bisa saja seseorang meminta jamaah yang lain untuk bergeser ke
tempatnya dan melaksanakan sholat sunnah rawatib di tempatnya. Tetapi jika
memang tidak memungkinkan juga untuk bertukar tempat, maka tidak mengapa untuk
melaksanakan sholat rawatib di tempat yang sebelumnya digunakan untuk
melaksanakan sholat fardhu.
* * *
Shalat Tarawih
(132)
Jumlah Rakaat
Jumlah Rakaat
Hadits tentang sholat tarawih 20
rakaat memang bukan sekedar dhaif jiddan tapi sampai pada derajat mungkar,
matruk dan maudhu‘.
Teks hadis ini adalah dari Ibn
Abbas, ia berkata:
“Nabi SAW
melakukan shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan witir”.
Hadis ini diriwayatkan Imam
al-Thabrani dalam kitabnya al-Mu‘jam al-Kabir. Dalam sanadnya terdapat rawi
yang bernama Abu Syaibah Ibrahim bin Utsman yang menurut Imam al-Tirmidzi,
hadis-hadisnya adalah munkar. Imam al-Nasa‘i mengatakan hadis-hadis Abu Syaibah
adalah matruk. Imam Syu‘bah mengatakan Ibrahim bin Utsman adalah pendusta. Oleh
karenanya hadis shalat tarawih dua puluh rakaat ini nilainya maudhu (palsu)
atau minimal matruk (semi palsu).
Tetapi yang jumlahnya delapan pun
tidak kurang derajatnya dari yang 20 rakaat.
“Rasulullah
SAW melakukan shalat pada bulan Ramadhan sebanyak delapan rakaat dan witir”.
Hadis ini diriwayatkan Ja‘far bin
Humaid sebagaimana dikutip kembali lengkap dengan sanadnya oleh al-Dzahabi
dalam kitabnya Mizan al-I‘tidal dan Imam Ibn Hibban dalam kitabnya Shahih Ibn
Hibban dari Jabir bin Abdullah. Dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama ‘Isa
bin Jariyah yang menurut Imam Ibnu Ma‘in, adalah munkar al-Hadis
(Hadis-hadisnya munkar). Sedangkan menurut Imam al-Nasa‘i, ‘Isa bin Jariyah
adalah matruk (pendusta). Karenanya, hadis shalat tarawih delapan rakaat adalah
hadis matruk (semi palsu) lantaran rawinya pendusta.
Jadi bila disandarkan pada kedua
hadits di atas, keduanya bukan dalili yang kuat untuk rakaat 8 atau 20 dalam
tarawih.
Namun, perlu diketahui, hal itu
bukan berarti shalat delapan rakaat atau dua puluh rakaat itu tidak boleh.
Sebab yang dibahas di sini adalah bahwa hadis shalat tarawih delapan rakaat dan
hadis tarawih dua puluh rakaat itu kedua-duanya maudhu atau minimal matruk.
Jadi shalat tarawih dengan delapan rakaat atau dua puluh rakaat, kedua-duanya
boleh dilakukan karena tidak ada keterangan yang konkret tentang jumlah rakaat
shalat tarawih Nabi.
Keterangan yang shahih, Nabi Saw
tidak membatasi jumlah rakaat shalat Tarawih (Qiyam al-Lail). Misalnya hadis
riwayat Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a dimana Nabi mengatakan, ‘‘Siapa yang shalat pada bulan Ramadhan karena iman dan
mengharapkan pahala Allah, maka allah akan mengampuni dosanya (yang
kecil-kecil).‘‘
Dan khusus bagi yang menjalankan
shalat tarawih dua puluh rakaat, ada dalil tambahan, yaitu ijma (konsensus)
para sahabat Nabi SAW, di mana pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab, Ubay bin
Ka‘ab menjadi imam shalat tarawih dua puluh rakaat, dan tidak ada satu pun dari
sahabat Nabi yang memprotes hal itu.
***
Apakah shalat Tarawih
Sama Dengan Tahajjud ?
Shalat tarawih dikenal sebagai
shalat yang dilakukan pada malam bulan Ramadhan. Dahulu Rasulullah SAW pernah
melakukannya di masjid bersama dengan beberapa shahabat. Namun pada malam
berikutnya, jumlah mereka menjadi bertambah banyak. Dan semakin bertambah lagi
pada malam berikutnya.
Sehingga kemudian Rasulullah SAW
memutuskan untuk tidak melakukannya di masjid bersama para shahabat. Alasan
yang dikemukakan saat itu adalah takut shalat tarawih itu diwajibkan. Karena
itu kemudian mereka shalat sendiri-sendiri.
Hingga datang masa kekhalifahan
Umar bin Khattab yang menghidupkan lagi sunnah Nabi tersebut serayas mengomentari,”Ini
adalah sebaik-baik bid‘ah”. Maksudnya bid‘ah secara bahasa yatiu sesuai yang
tadinya tidak ada lalu diadakan kembali.
Semenjak itu, umat Islam hingga
hari ini melakukan shalat yang dikenal dengan sebutan shalat tarawih secara
berjamaah di masjid pada malam Ramadhan.
Adapun tahajjud atau qiamullail,
adalah shalat yang biasa dilakukan Rasulullah SAW baik di malam Ramadhan atau
diluar Ramadhan. Dan shalat itu bukan shalat Tarawih itu sendiri. Maka dapat
disimpulkan bahwa pada malam Ramadhan, Rasulullah SAW shalat tarawih di awal
malam ba‘da isya‘ lalu tidur dan pada akhir malam beliau melakukan shalat
tahajjud/lail hingga sahur.
Nampaknya hal itu pula yang hingga
kini dilakukan oleh sebagian umat Islam di berbagai belahan dunia.
***
Yang Dibaca Saat
Tarawih
Doa atau wirid yang dibaca
diantara sela atau jeda di dalam rakaat-rakaat shalat tarawih sebenarnya tidak
memiliki dasar masyru`iyah dari Rasulullah SAW. Baik wirid itu dalam bentuk doa
atau zikir atau syair-syair yang biasa dilantunkan oleh para jamaah, kesemuanya
tidak ada kaitannya dengan apa yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW
maupun para shahabat.
Sehingga bila anda mendapati di
setiap shalat tarawih ada perbedan bacaan, karena memang tidak ada dasarnya,
sehingga masing-masing penyelenggara shalat tarawih berimprofisasi
sendiri-sendiri. Terkadang mereka meniru ucapan-ucapan dari tempat lain yang
tidak mereka sendiri tidak tahu dasar masyru`iyahnya. Apalagi maknanya sehingga
semua itu berlangsung begitu saja tanpa kejelasan hukumnya.
Disinilah sesungguhnya kita umat
Islam dituntut untuk belajar secara serius tentang praktek ibadah kita langsung
dari sumber yang muktamad dan kepada para ulama yang faqih di bidangnya.
***
Shalat Tarawih
Sendirian di Rumah
Sholat tarawih disunahkan untuk
dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh
Rasulullah SAW . Adapun persolaan kenapa Rasulullah SAW selanjutnya tidak
melaksankan sholat tersebut secara berjama’ah bersama para sahabat ?,
Berdasarkan sejumlah hadis, hal tersebut dilatarbelakangi kekhawatiran
Rasulullah SAW bahwa sholat tarawih tersebut akan difardukan kepada kaum
muslimin.
Dari
Aisyah Ra sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam pernah melaksankan
sholat kemudian orang-orang sholat dengan sholatnya tersebut, kemudian beliau
sholat pada malam selanjutnya dan orang-orang yang mengikutinya tambah banyak
kemudian mereka berkumpul pada malam ke tiga atau keempat dan Rasulullah SAW
tidak keluar untuk sholat bersama mereka. Dan di pagi harinya Rasulullah SAW
berkata: “Aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan dan tidak ada yang
menghalangiku untuk keluar (sholat) bersama kalian kecuali bahwasanya akau
khawati bahwa sholat tersebut akan difardukan” Rawi hadis berkata: Hal tersebut
terjadi di bulan Ramadhan” (HR.
Bukhori 923 dan Muslim 761)
Dan sekarang kekhawatiran tersebut
telah hilang dengan wafatnya Rasulullah SAW setelah Allah SWT menyempurnakan
syariat-Nya. Dengan demikian, hilang pula Al-Ma’lul yaitu meninggalkan jama’ah
dalam Qiyam Ramadhan dan hukum yang terdahulu berlaku lagi yakni disyariatkanya
sholat tersebut berjama’ah sebagaimana yang dihidupkan kembali oleh Umar Ra.
Permasalahan selanjutnya apakah
tarawih secara berjama’ah adalah bid’ah? Sebelum kita membahas masalah
tersebut, kita perjelas makna bid’ah terlebih dahulu. Sheikh Ali Mahfudz di
dalam kitabnya Al Ibda` fi Madharil Ibtida` berkata bahwa bid`ah bisa ditinjau
dari segi bahasa dan istilah. Dari segi bahasa ia bermakna: `Segala sesuatu
yang diciptakan dengan tidak didahului contoh-contoh`Sedangkan menurut istilah
adalah sebagai berikut:`Bid`ah ialah suatu ibarat yang berkaitan dengan
masalah-masalah agama. Dilakukannya menyerupai syariat dengan cara yang
berlebihan dalam mengabdikan kepada Allah swt.`
Dari definisi di atas, tidaklah
tepat jika kita mengatakan bahwa sholat tarawih berjama’ah setelah isya adalah
bid’ah karena beberapa alasan:
Pertama: Sholat tarawih adalah
termasuk sholat sunah malam dan pelaksanaannya boleh dilaksanakan setelah
pelaksanaan sholat isya sampai terbit fajar atau sholat shubuh. Meskipun memang waktu yang paling utama adalah sepertiga malam terakhir.
Zaid bin
Wahab berkata: “Abdulloh pernah melaksankan sholat Qiyam ramadhan bersama kami
dan pulang di waktu malam (Ini menunjukkan pelaksanaannya di permulaan malam)” (HR. Abdurrazaq No 7741 dan sanadnya Shahih)
Kedua: Sebagaimana kami kemukakan
di atas, sholat tarawih disunahkan dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana
yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan dihidupkan kembali oleh Umar
ra.
Kemudian jika ada yang bertanya
lebih afdhol mana sholat tarawih sendiri di sepertiga malam terakhir dengan
sholat tarawih berjama’ah ba’da isya? Husen Al-Uwaesyah mengutip perkataan
Al-Bani berpendapat:
“Jika permasalah berkisar anta sholat di permulaan malam secara berjama’ah
dan sholat diakhir malam sendirian maka sholat secara berjama’ah adalah lebih
utama karena ia kan dihitung melaksankan sholat sepanjang malam” (Al-Mausu’ah
Al-Fiqh Al-Muyassaroh II/149).
Shalat Tahajjud
Sholat sunnah yang dilaksanakan di waktu malam hari,
memiliki sejumlah nama. Ia bisa disebut qiyamul lail sesuai dengan pelaksanaan
waktunya malam hari, sholat tahajjud kalau dilaksanakan setelah tidur dahulu,
karena kata tahajjud dalam bahasa Arab berarti bergadang, atau sholat witir
karena jumlah rakaatnya ganjil.
Jadi kalau ada pendapat yang
menyatakan bahwa sholat tahajjud boleh dilaksanakan sebelum tidur, pendapat
tersebut adalah benar karena inti dari sholat tahajud dan qiyamul lail adalah
sama. Hanya saja secara bahasa mungkin kurang tepat.
Meskipun sholat malam boleh
dilaksanakan sebelum tidur –setelah pelaksanan sholat Isya-, akan tetapi waktu
yang paling utama untuk melaksanakan sholat malam atau tahajjud ini adalah
sepertiga malam terakhir atau menjelang fajar. Hal tersebut berdasrakan
sejumlah hadit, antara lain;
Dari Abu
Hurairoh RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Rabb kita akan turun setiap
malam ke langit dunia ketika sepertiga malam terakhir. Dia pun berfirman:
“Barang siapa yang berdo’a pada-Ku, Aku akan mengabulkannya. Barang siapa yang
minta pada-Ku, Aku akan memberinya dan barangsiap yang memohon ampunan pada-Ku,
Aku akan mengampuninya”(HR. Bukhori 1145, Muslim 758)
Dari Abu Hurairoh RA, dari Nabi SAW, beliau
bersabda: “Kalaulah tidak memberatkan umatku, aku akan memerintahkan mereka
untuk bersiwak (menggosok gigi) setiap kali wudhu dan aku akan mengakhirkan
sholat Isya sampai sepertiga malam atau setengahnya. Dan apabila telah berlalu
sepertiga malam atu setengahnya. Alloh SWT turun ke langit dunia, Dia pun
berfirman: “Barang siapa yang berdo’a pada-Ku, Aku akan mengabulkannya. Barang
siapa yang minta pada-Ku, Aku akan memberinya dan barangsiap yang memohon
ampunan pada-Ku, Aku akan mengampuninya. Adakah orang yang bertaubat sehingga
pasti Aku menerima taubatnya” (HR Ahmad)
Dari Abdullah bin Amr ian berkata:
Rasulullah SAW berkata padaku: “Shaum yang paling dicintai oleh Alloh adalah
shaum Daud, beliau shaum satu hari dan berbuka tiga hari. Dan sholat yang
paling disenangi oleh Allah adalah sholat Daud, beliau tidur sepertengah malam
dan sholat sepertiganya dan tidur seperenamnya”(HR Bukhori 3420 Muslim 1159)
Dari Al-Aswad ia berkata: Aku bertanya
kepada Aisyah RA; “bagaimana sholat Nabi SAW di waktu malam?” Aisyah berkata:
“Beliau biasa tidur di awal malam dan bangun di akhir malam kemudian beliau
sholat, kemudian beliau kembali ke tempat tidurnya. Apabila adzan telah
berkumandang beliau bangkit. Jika beliau junub, beliau mandi jika tida beliau
hanya berwudhu” (HR. Bukhori 1146)
***
A. Sholat tahajjud lebih
diutamakan dilaksanakan pada pertengahan atau sepertiga malam terakhir, Hal
tersebut berdasarkan sejumlah hadis antara lain :
Dari Abu
Hurairoh RA, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: “Rabb kita Tabaaroka
Wa Ta’aala turun setipa malam ke langit dunia kita spertiga malam terakhir
sambil berfirman : “Siapa yang berdo’a padaku akau akan mengabulkannya, siapa
yang meminta padaku aku akan memberikannya dan siapa yang meminta ampunan
padaku aku akan mengampuninya” (HR. Bukhori : 1145 dan Muslim : 785)
Dari Abdulloh bin Amr RA, ia berkata:
Rasulullah SAW telah bersabda: “Shaum yang paling dicintai Alloh adalah shaum
Daud AS, ia shaum satu hari dan berbuka satu hari. Dan sholat yang paling
dicintai oleh Alloh adalah sholat Daud AS, ia tidur setengah malam dan
beribadah sepertiganya serta tidur lagi seperenamnya” (HR Bukhori : 3420 dan
Muslim 1159)
B. Sholat Tahajud diperbolehkan dilaksanakan secara berjama’ah dan imam
diperbolehkan untuk mengeraskan bacaannya sebagaimana dalam pelaksanaan sholat
qiyam Ramadhan, Hanya saja para ulama mensyaratkan bahwa pelaksanaan sholat
malam secara berjamah agar tidak dijadikan suatu kebiasaan dan tidak boleh di
tempat yang terkenal dan hal tersebut dilakukan karena kebetulan saja.
Dari Abu
Hurariroh Dan Abu Said Al-Khudri RA mereka berkata : Rasulullah SAW telah
bersabda: “Apabila seorang laki-laki membangunkan istrinya di waktu malam, maka
keduanya sholat atau sholat dua rakaaatberjam,ah, maka keduanya akan dicatat
sebagai Adz-Dzakiriin wa Dzakiroot (laki-laki dan perempuan yang selalu
mengingat Alloh SWT” (HR Abu Daud : 1288 dan Ibnu Majah 1098)
C. Sholat yang dilakukan oleh orang tersebut adalah sah. Hanya yang
perlu anda ketahui adalah banyak sekali pemahaman yang salah mengenai masalah
ini. Sebenarnya para ulama tidak membeda-bedakan antara Qiyamul Lail, tahajjud,
dan sholat witir. Dinamakan sholat malam, karena memang pelakasannannya adalah
malam hari. Disebut tahajjud karena pelaksanaannya dilakukan setelah bangun
tidur (tahjjud dalam bahsa arab berarti bergadang) sedang dinamakan sholat
witir karena memang jumlah rakaatnya ganjil.
***
Tahajjud Berjamaah
Kalau kita membolak-balik
kitab-kitab fiqih dari setiap mazhab, maka kita mendapati bahwa ternyata para
ulama memang berbeda pendapat tentang masalah shalat tahajuud berjamaah ini.
Sebagian mereka memakruhkannya dan sebagian lagi membolehkannya.
Diantara pendapat yang memakruhkan
shalat tahajjud dengan berjamaah adalah para ulama dari kalangan Al-Hanafiyah
dan Asy-Syafi`iyah. Mereka berpendapat bahwa ijtima` (berkumpulnya) manusia
untuk menghidupkan malam hanya dibenarkan untuk shalat tarawih di bulan
Ramadhan. Di luar itu menurut mereka disunnahkan untuk melakukannya dengan
secara sendiri sendiri.
Namun sebaliknya, para ulama dari
kalangan Al-Hanabilah membolehkan untuk melakukan shalat tahajjud dengan cara
berjamaah yang terdiri dari banyak orang. Meski demikian, mereka tetap
membolehkan untuk melakukannya dengan sendiri-sendiri.
Hal itu karena Rasulullah SAW
pernah melakukannya dengan berjamaah dan juga pernah melakukannya dengan
sendiri.
Namun bila dihitung-hitung, memang
benar bahwa frekuensi dimana Rasulullah SAW shalat tahajjud sendirian lebih
banyak dibadingkan dengan berjamaah. Rasulullah SAW pernah melakukannya sekali
dengan Huzaifah, sekali dengan Ibnu Abbas, dan sekali dengan Anas dan ibunya.
Sehingga Al-Malikiyah memberikan
kesimpulan bahwa bila jamaah shalat tahajjud itu tidak terlalu banyak dan bukan
di tempat yang masyhur, hukumnya boleh tanpa karahah. Sedangkan bila ada dalil
yang yang membid’ahkan untuk menghidupkan malam dengan shalat tahajjud
berjamaah, maka hukumnya tidak dianjurkan. Seperti shalat tahajjud berjamaah
pada malam nisfu sya’ban atau malam asyuro’.
Sedangkan untuk membid’ahkannya,
para ulama tidak ada yang sampai melakukannya, kecuali hanya memakruhkan saja.
Karena tuduhan bid’ah itu lumayan dahsyat sehingga biasanya para ulama tidak
terlalu mudah untuk mengeluarkannya kecuali memang benar-benar sudah melampaui
batas. Apalagi masih ada riwayat dimana Rasulullah SAW pernah berjamaah ketika
melakukan shalat tahajjud.
Semoga kita semua terhindar dari fitnah lisan dan dari sikap terlalu mudah
membid’ahkan orang lain sebelum mendapatkan ilmu dan keterangan yang yakin.
Shalat `Iedul Fithri dan `Iedul Adha
(134)
I. Hukum Shalat 'Ied
I. Hukum Shalat 'Ied
Sholat sunnah Ied menurut jumhur
ulama hukumnya adalah sunnah mu’akkadah. Hal ini dikarenakan Rasulullah SAW
selalu melaksanakan sholat sunah tersebut dan tidak pernah meninggalkannya.
Bahkan dalam salah satu hadis Rasulullah SAW memerintahkan agar semua wanita
baik itu yang haidh, yang dipingit, dan budak belian agar berangkat ke tempat
pelaksanaan sholat Ied. Semua itu menujukkan bahwa hukum shoat Ied adalah
sunnah mu’akkadah.
وَعَنْ
أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : { أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْعَوَاتِقَ ، وَالْحُيَّضَ فِي
الْعِيدَيْنِ
: يَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ
الْمُسْلِمِينَ ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى } . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ummu
‘Athiyyah Ra ia berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami untuk
mengeluarkan pada hari Iedul Fithri dan Iedul Adhaa: Wanita-wanita yang
dipingit, Wanita-wanita dan Hamba sahaya. Adapaun wanita-wanita yang sedang
haidh hendaklah mereka menjaughi tempat sholat dan menyaksikan kebaikan dan
dakwah kaum muslimin” Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, salah seorang diantara
kami tidak memiliki jilbab” Beliau menjawab: “Hendaklah saudaranya memberikan
pakaian kepadanya” (HR. Bukhori
324 dan Muslim 890)
وَعَنْ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : { كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ،
وَأَبُو
بَكْرٍ وَعُمَرُ يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ
قَبْلَ الْخُطْبَةِ } . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ibnu
Abbas Ra ia berkata: “Aku pernah menyaksikan sholat Ied bersama Rasulullah SAW,
Abu Bakar, Umar dan Utsman Ra. Dan mereka semuanya melaksanakan sholat sebelum
khutbah” (HR. Bukhari No. 989 dan Muslim 884)
Dari Abu Umair bin Anas bin Malik
ia berkata: “Paman-pamanku dari kalangan Anshor yang termasuk sahabat
Rasulullah SAW pernah menceritakan padaku: Mereka berkata : “Hilal bulan Syawal
pernah tertutupi sehingga kami tidak bisa melihatnya, kemudian besoknya kami
melaksanakan shaum, kemudian menjelang sore datang sekelompok kafilah dan
bersaksi di hadapan Nabi SAW bahwa mereka melihat hilal kemarin. Maka
Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk berbuka dan pergi untuk melaksankan
sholat Ied esok harinya” (HR. Abu Daud/ Shohih Sunan Abi Daud No. 1026 dan Ibnu
Majah/Shohih Sunan Ibnu Majah No. 634)
***
II. Waktu Pelaksanaan
Sholat
Sholat Iedul fitri dilaksanakan
pada saat matahari telah meninggi seukuran dua tumbak sedangkan pelaksanaan
sholat iedul Adha dilakukan lebih awal, yaitu seukuran satu tombak.
Dari
Abdullah bin Bisr Ra, bahwasanya ia pernah keluar bersama orang-orang untuk
melaksanakan sholat iedul fithri dan iedul Adhaa, kemudian ia mengecam imam
yang selalu terlambat dan berkata: “Sesunguhnya ketika kami bersama Nabi SAW
maka pada saat ini kami telah selesai” dan hal tersebut terjadi ketika sholat
sunat dhuha. (HR Abu Daud lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1005)
***
III. Shifat Sholat
a. Jumlah Rakaat
Jumlah rakaat shalat ied 2 rakaat
sebagaimana hadits berikut :
وَعَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ
الْعِيدِ
رَكْعَتَيْنِ ، لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُمَا
وَلا بَعْدَهُمَا } . أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ
Dari Dari
Ibni Abbas ra bahwa Nabi SAW melakukan shalat 'Ied 2 rakaat, beliau tidak
melakukan shalat sebelumnya atau sesudahnya” (HR. As-Sab'ah)
b. Takbir 7 kali dan 5 kali
Dalam pelaksanaan sholat Ied
disunahkan untuk melaksanakan takbir 7 kali di rakaat pertama dan 5 kali di
rakaat yang kedua.
Dari
Abdullah bin Amr bin Al-Ash ia berkata: Nabi SAW bersabda: “Takbir ketika
sholat Ied 7 kali di rakaat yang pertama dan 5 kali di rakaat yang kedua” (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi. Lihat
Shohih Sunan Abu Daud No. 1020 dan Shohih Sunan Ibnu Majah 1056)
وَعَنْ
عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ : قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: { التَّكْبِيرُ فِي الْفِطْرِ سَبْعٌ فِي الْأُولَى وَخَمْسٌ فِي الْأُخْرَى
وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا } أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد ، وَنَقَلَ
التِّرْمِذِيُّ عَنْ الْبُخَارِيِّ تَصْحِيحَهُ
Dari
Amr bin Syu'aib dari ayahnya dan dari kakeknya radhiyallahu 'anhum berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Takbir di sholat Iedul Fithri tujuh kali di
rakaat pertama dan lima
kali di rakaat yang kedua. Dan membaca ayat Al-Quran sesudah takbir pada
keduanya” (HR Abu Daud, lihat Shohih Sunan Abu Daud No. 1018)
Menurut
Imam Malik ra dan Auza’i tidak disunnahkan untuk membaca zikir apapun di antara
takbir-takbir tersebut karena tidak ada keterangan dari Rasulullah SAW yang
menyatakannya. Namun Imam Abu Hanifah ra dan Imam As-Syafi’i ra menyunnahkan
untuk membaca zikir di antara takbir itu dengan lafaz yang tidak ditentukan.
c. Tidak Disyariatkannya Sholat sunnah, baik sebelum
atau sesudahnya.
وَعَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
: { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْعِيدِ رَكْعَتَيْنِ ،
لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُمَا وَلا بَعْدَهُمَا } . أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ
Dari
Ibnu Abbas Ra, berkata : “Sesungguhnya Nabi SAW keluar untuk melaksanakan
sholat Ied, kemudian beliau melaksankan sholat dua rakaat (sholat Ied), beliau
tidak melaksanakan sholat apapun baik sebelum atau sesudahnya dan Bilal Ra ada
bersama beliau” (HR. Bukhari 989 dan Muslim 884)
d. Tidak Disyariatkan Adzan dan Iqomah Ketika Sholat
Ied.
Dalam
pelaksanaan sholat Ied, tidak disyariatkan dikumandangkannya adzan, iqomah
maupun bentuk panggilan-panggilan yang lainnya.
وَعَنْهُ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الْعِيدَ بِلَا أَذَانٍ ، وَلَا إقَامَةٍ } .
أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد ، وَأَصْلُهُ فِي الْبُخَارِيِّ
Dari
Ibnu Abbas ra berkata bahwa Nabi SAW melaksanakan sholat Ied tanpa ada adzan
maupun iqomah” (HR. Abu Daud dan berasal dari Bukhari)
Dari
Jabir bin Samuroh Ra ia berkata: “Aku pernah melaksanakan sholat Ied bersama
Rasulullah SAW bukan sekali atau dua kali, tanpa ada adzan maupun iqomah” (HR
Muslim 887)
e. Dilanjutkan dengan 2 khutbah
Khutbah Idul Fithri dan Idul Adha sebenarnya tidak berbeda dengan
khutbah jumat. Kecuali memang ada beberapa hal yang berbeda hukumnya. Ada beberapa urusan yang
diwajibkan dalam khutbah Jumat namun tidak diwajibkan dalam khutbah Ied.
وَعَنْهُ
قَالَ : { كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ
وَالْأَضْحَى إلَى الْمُصَلَّى
وَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ - وَالنَّاسُ عَلَى صُفُوفِهِمْ -
فَيَعِظُهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ } . مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ
Bahwa Nabi SAW keluar pada hari 'Iedul
Fithr dan 'Iedul Adha ke mushalla, beliau memulai pertama kali dengan shalat,
kemudian beranjak dan berdiri menghadap orang-orang, sementara orang-orang
masih dalam shaf masing-masing, beliau menasehati mereka dan memerintahkan
mereka.
Para ulama Asy-Syafi`iyah menyebutkan bahwa dalam masalah
keharusan duduk antara dua khutbah, bila pada khutbah Jumat diharuskan ada
duduk antara dua khutbah, maka pada khutbah Ied tidak diwajibkan untuk duduk
diantara dua khutbah, hanya disunnahkan.
Begitu juga bila dalam khutbah Jumat, disyaratkan kondisi imam
yang suci dari hadats kecil (dalam keadaan berwudhu’), dalam khutbah Ied tidak
disyaratkan. Begitu juga dengan berdiri, bila pada khutbah diwajibkan untuk
berdiri saat menyampaikan khutbah, maka pada khutbah Ied tidak diwajibkan,
hanya disunnahkan.
(Silahkan periksa pada kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh
Dr. Wahbah Zuhaili hal 1405).
Dengan demikian, bila dalam kesempatan khutbah Idul Fitri maupun
Idul Adh-ha, Anda mendapati ada khatib yang khutbah hanya sekali, hukumnya
boleh karena hanya sunnah saja. Namun tentu saja lebih baik bila khutbah itu
dilakukan secara lengkap dengan sunnahnya.
***
IV. Tempat Shalat `Ied
Para fuqoha
telah sepakat bahwa semua tempat yang bersih dan bisa menampung jama’ah yang
banyak jumlahnya bisa dipergunakan sebagai tempat untuk melaksankan sholat Ied.
Baik itu di Masjid atau di tanah lapang. Namun demikian, mereka menyatakan
pelaksanaan sholat tersebut di tanah lapang adalah lebih utama.
Dari
Ummu ‘Athiyyah RA ia berkata: “Rasulullah SAW memerintahkan supaya kami
mengeluarkan di hari Iedul Fitri dan Iedul Adha, para gadis yang belum menikah,
wanita-wanita haidh dan wanita-wanita dalam pingitan. Adapun wanita yang sedang
haidh diperintahkan untuk menjauhi tempat sholat, supaya mereka dapat
menyaksikan kebaikan dan da’wah kaum muslimin”. Aku bertanya : “Wahai Rasulullah
salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?” Beliau menjawab:
“Hendaklah saudaranya yang perempuan memakaikan jilbab untuknya” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Hanya saja fuqoha madzhab Syafi’i menyatakan bahwa keutamaan
sholat 'Ied di tanah lapang berlaku jika memang masjid yang biasa digunakan
untuk melakukan shalat terlalu sempit. Tetapi jika masjid tersebut adalah luas,
maka melaksanakan shalat di masjid adalah lebih utama sebagaimana yang biasa
dilakukan di Masjidil Haram. Karena masjid adalah lebih bersih dan lebih mulia.
(Al-Mausu’ah Al-Fiqghiyyah 27/245)
Sedangkan kebiasan membaca tahlilan seusai melaksanakan sholat
'Ied, belum kami dapatkan dalil yang sharih dan tegas yang menyatakan
pensyariatan hal tersebut. Oleh karena itu kami sarankan anda untuk tidak
melakukannya sampai ada keterangan yang shohih dari Rasulullah SAW, bahwa
beliau pernah melakukan atau memerintahkan hal tersebut.
Sedangkan yang disyariatkan setelah pelaksanaan sholat Iedain
tersebut adalah mengucapakan tahni'ah Ied sebagaimana diriwayatakan dari Jubair
bin Nufair Ra, ia
berkata: “Para sahabat Nabi SAW apabila
bertemu di hari raya (Ied) sebagian dari mereka berkata kepada yang lain:
“Taqobbalallohu Minnaa Wa Minkum (Semoga Alloh menerima ibadah kita semua)” (HR
Al-Muhamili)
***
Tertinggal / Masbuk Pada Shalat Ied
Salah satu yang membedakan shalat ‘Ied dengan shalat lainnya
adalah adanya beberapa kali takbir di awal rakaat. Baik rakaat pertama atau pun
rakaat kedua. Di dalam hadits Rasulullah SAW, memang ada disebutkan masalah ini
:
Dari
Katsir dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa Rasulullah SAW dalam shalat Iedain
dalam rakaat pertama melakukan takbir 7 kali sebelum qiraah dan dalam rakaat kedua
bertakbir 5 kali sebelum qiraah.(HR. Turmuzi, Abu Daud, Ibnu
Majah)
Juga ada keterangan yang
menyebutkan bahwa disunnahkan untuk mengangkat tangan pada saat takbir-tabkir
itu dilakukan. Dalilnya adalah :
Dari
Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW mengangkat tangan pada setiap takbir dalam
shalat ‘Ied.(HR. Baihaqi dalam hadits mursal dan munqathi’)
Sedangkan pada setiap jeda antara satu takbir dengan takbir
lainnya, disunnahkan untuk membaca tasbih, tahmid dan tahlil seperti lafaz
‘Subhanallah, walhamdulillah, walaa ilaha illallah). Lafaz ini juga dikenal
dengan istilah ‘al-baqiyatush shalihat’. Sebuah istilah yang ada dalam
ayat Al-Quran Al-Karim :
Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi ‘al-baqiyatush
shalihat’(amalan-amalan yang kekal lagi saleh) adalah lebih baik pahalanya
di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.(QS.
Al-Kahfi : 46)
Kasus Makmum Ketinggalan Takbir Dalam mazhab Al-Malikiyah disebutkan bahwa bila seorang makmum ketinggalan dalam mengikuti imam dalam takbir shalat ‘Ied, maka selama imam masih bertakbir, hendaknya dia diam saja dan baru bertakbir saat imam sudah selesai membaca takbir atau sudah mulai membaca Al-fatihah.
Tetapi bila seorang makmum bergabung dengan shalat sebagai masbuk,
dimana imam sudah selesai bertakbir dan sudah membaca Al-Fatihah atau ayat
Al-Quran Al-Karim, maka dia boleh bertakbir sendiri setelah takbiratul ihram
lalu mengikuti imam. Hal seperti juga dikerjakan bila dia tertinggal satu
rakaat dan baru ikut shalat dengan imam pada rakaat kedua.
Khusus bagi makmum yang tertinggal dua rakaat, yaitu yang tidak
sempat ikut rukuk bersama imam pada rakaat kedua, maka makmum itu harus
mengqadha’ sendirian shalatnya itu dengan melakukan shalat dua rakaat setelah
imam selesai salam. Juga dengan bertakbir 6 kali di rakaat pertama dan 5 di
rakaat kedua. (Mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa takbir pada rakaat pertama
itu 6 kali selain takbirtaul ihram).
Dalam mazhab Asy-Syafi`iyah disebutkan bahwa orang yang masbuk di
dalam shalat ‘Ied atau tertinggal sebagian shalat hendaknya bertakbir pada
saaat setelah selesai mengqadha’ apa yang dia tertinggal.
Dalam mazhab Al-Hanabilah disebutkan bahwa makmum yang mendapati
imam sudah selesai bertakbir atau sudah dalam bertakbir, maka dia tidak perlu
bertakbir. Hal yang sama juga bila dia mendapati imam
sudah rukuk. Hal itu karena tempat untuk takbir sudah terlewat. Dan makmum yang
masbuk bertakbir bila makmum itu sudah menyelesaikan qadha’ atas apa yang
tertinggal.
Semua itu merupakan
kesimpulan dari para ahli ilmu dengan dalil hadits :
Apa yang
bisa kamu dapati bersama imam maka shalatlah, sedangkan apa yang
terlewat/tertinggal, maka qadha’lah(HR. )
***
Shalat Dhuha`
(135)
A. Pensyariatan Shalat Dhuha`
A. Pensyariatan Shalat Dhuha`
Shalat dhuha� adalah salah satu shalat sunnah yang dianjurkan untuk dikerjakan sebagai shalat tambahan.
Hukumnya mustahabbah tapi tidak mencapai sunnah muakkadah.
Dasar pensyariatannya adalah
hadits berikut ini :
Dari Abu
Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Beliau berwasiat
kepadaku untuk mengerjakan 3 hal : puasa 3 hari tiap bulan, 2 rakaat shalat
dhuha, dan shalat witir sebelum tidur. (HR. Muttaqun `alaihi)
Namun sebagian kalangan
Al-Hanafiyah mengatakan bahwa membiasakan shalat dhuha` bukan termasuk hal yang
dianjurkan. Alasannya
ada beberapa hal, diantaranya adalah :
- Karena Rasulullah SAW dahulu semasa hidupnya tidak melakukannya secara rutin. Sehingga tidak ada anjuran bagi kita untuk melakukannya secara rutin juga.
- Bila amal sunnah dilakukan secara rutin akan menimbulkan kemiripan dengan shalat wajib. Sehingga hal ini akan menyalahi hukum dasarnya.
- Mereka juga mengungkapkan hadits dari Aisyah ra ummul mukminin.
Dari Aisyah ra berkata,"Aku belum
pernah melihat Rasulullah SAW shalat dhuha`. (HR. Muttafaqun `alaihi)
Namun
sebagian ulama lainnya seperti Abul KHattab mengatakan bahwa dianjurkan untuk
merutinkan shalat dhuha` meski hukumnya hanya sunnah. Alasannya ada beberapa
faktor, diantaranya adalah :
- Karena Rasulullah SAW berwasiat kepada kita untuk melakukannya sebagaimana hadits Abu Hurairah ra di atas.
- Selain itu mereka juga mengatakan bahwa amal yang paling dicintai oleh Allah SWT adalah yang dilakukan secara rutin meski hanya sedikit. Sehingga meski Rasulullah SAW sendiri tidak melakukannya bukan berarti tidak dianjurkan untuk melakukannya secara rutin.
- Mereka juga mengajukan sebuah hadits meskipun menjadi bahan kritik ahli hadits, yaitu :
Siapa yang memelihara untuk mengerjakan
shalat dhuha`, maka dosa-dosanya akan diampuni meski seperti buih di laut.
At-Tirmizy
mengomentari hadits ini dengan ungkapan : Aku tidak mengenal hadits ini kecuali
hanya melalui An-Nahas bin Qahm.
***
B. Jumlah Rakaat
Jumlah
rakaat shalat dhuha tidak dibatasi jumlahnya, sedangkan paling sedikit adalah
dua rakaat. Namun ada juga yang berpendapat bahwa bilangan rakaatnya delapan
dan dua belas. Semua pendapat itu berdasarkan dalil yang berbeda-beda,
diantaranya kami kutipkan dari Fiqih Sunnah Dr. Sayyid Sabiq bab Shalat Dhuha:
Dari Ummu Hani bahwa Rasulullah SAW shalat
dhuha 8 rakaat dan bersalam tiap dua rakaat. (HR Abu Daud)
Dari Aisyah ra. Berkata bahwa Rasulullah
SAW shalat dhuha 4 rakat dan menambahi sesuai dengan keinginannya. (HR Ahmad
Muslim dan Ibnu Majah
Said
bin Manshur mengeluarkan dari al-Hasan bahwa dia ditanya,�Apakah para
shahabat Nabi melakukan shalat dhuha?�. Ya, mereka
melakukannya � ada yang
mengerjakan 2 rakaat, ada yang 4 rakaat, ada yang shalat terus hingga tengah
hari.
Dari
Ibrahim an-Nakha�i bahwa seseorang bertanya kepada Al-Aswan bin Yazid,�Berapa rakaat saya shalat dhuha��. Dijawab,�terserah
berapa saja�.
***
C. Waktu Pelaksanaan Shalat Dhuha`
Sedangkan
untuk shalat dhuha� adalah waktu dhuha� sesuai dengan namanya. Dan batasannya adalah
mulai matahari sebatas tombak dan berakhir ketika tergelincirnya di cakrawala
(tengah hari).
Dalilnya
adalah hadits berikut
Dari
Zaid bin Arqam ra. Berkata,�Nabi
SAW keluar ke penduduk Quba dan mereka sedang shalat dhuha�. Beliau bersabda,�Shalat awwabin (duha�) berakhir hingga panas menyengat (tengah hari).(HR Ahmad
Muslim dan Tirmizy).
Shalat Istikharah
(136)
A. Pengertian dan Pensyariatan
A. Pengertian dan Pensyariatan
Istikharah
berasal dari kata Khiyar yang maknanya adalah pilihan. Istikharah artinya
meminta dipilihkan atau meminta petunjuk atas beberapa alternatif pilihan.
Jika salah seorang
di antara kalian bermaksud melakukan suatu hal, hendaklah dia melaksanakan
shalat dua rakaat selain fardhu, kemudian hendaklah ia berdo�a :
�Allahumma Inni Astakhiruka bi 'ilmika wa
astaqdiruka
diqudratika wa as'alukan min fadhlikal 'azhiem, fainnaka taqdiru wa la aqdir,
wa ta'lamu wa la a'lam. Wa anta 'allamul
ghuyub. Allahumma inkunta ta'lamu anna hadzal amra khairun li fi dini wa ma'asyi
wa 'aqibatu amri faqdurhu li wa yassirhu li tsumma baarikhu li�.�
(HR. Bukhori, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai)
Makna
doa tersebut adalah :
Ya
Allah, aku memohon dipilihkan dengan ilmu-Mu. Aku bermohon penilaian dengan kekuasaan-Mu. Dan meminta dengan keutamaan-Mu
yang Agung. Sesungguhnya Engkau berkuasa dan aku tidak berkuasa. Engkau Maha
Mengetahui dan aku tidak mengetahui. Dan Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang
ghaib.
Ya Allah, bila Engkau mengetahui
bahwa urusan ini baik untukku, untuk agamaku dan untuk kehidupanku, serta
resikoku, taqdirkanlah hal itu untukku, mudahkanlah untukku, serta berkahilah
aku pada hal itu.
* * *
B. Kapan Kita
Dianjurkan Shalat Istikharah?
Disunnahkan untuk melakukan shalat
Istikharah saat menghadapi dua pilihan atau lebih. Namun pilihan itu haruslah
berada dalam hukum yang mubah. Tidak boleh beristikharah dengan pilihan yang
sudah jelas dilarang atau diharamkan. Sebab sesuatu yang haram tidak boleh
dijadikan pilihan. (Fiqhus Sunnah li As-Sayyid Sabiq jilid 1 halaman 178).
Demikian juga seharusnya seseorang
belum punya kecenderungan pada salah satu pilihan tertentu. Kemungkinan atau
kecenderungan untuk menjatuhkan pada salah satu pilihan haruslah sama imbang.
Jangan sampai seseorag sudah cenderung pada salah satu pilihan, tapi masih
melakukan istikharah juga. Kecuali bila seseorang memang sudah cenderung
memilih suatu hal, namun untuk lebih meyakinkan lagi, bolehlah dia melakukan
shalat istikharah. Demikian disebutkan
oleh As-Sayyid Sabiq.
Shalat istikharah bisa
dilaksanakan baik ketika menghadapi persoalan yang berat maupun yang ringan.
Hal tersebut berdasarkan sabda Rasulullah SAW.
Diriwayatkan dari
Jabir bin Abdulloh ia berkata: Rasulullah SAW pernah mengajarkan kepada kami
perihal meminta pilihan kepada Allah (istikharah) yang berkaitan dengan segala
hal dan urusan, sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami surat dari Al-Qur�an. Beliau bersabda: Jika
salah seorang di antara kalian bermaksud
melakukan suatu hal, hendaklah dia melaksanakan shalat dua rakaat selain
fardhu, kemudian hendaklah ia berdo�a : �Allohumma Inni Astakhiruka�.� (HR. Bukhori,
Abu Daud, Tirmidzi, Nasai)
Oleh karena itu Imam An-Nawawi
berkata dalam kitabnya, Al-Adzkar, bahwa shalat Istikharah disunnahkan
dilaksanakan pada segala kondisi, sebagaimana dijelaskan oleh Nash hadis di
atas. Hal ini juga dikemukakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani (Fathul Bari 11/184)
Dalam hadis di atas Rasulullah SAW
tidak menjelaskan kapan pelaksanaan shalat sunnah tersebut, yang dijelaskan
hanyalah jumlah rakaatnya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan shalat
istikharah bisa kapan saja, pada saat kita akan melakukan suatu hal.
* * *
C. Cara Shalat
Istikharah
Shalat Istikharah sebenarnya tidak
ada bedanya dengan shalat sunnah lainnya. Dikerjakan dengan dua rakaat dengan
bacaan surat yang bebas ditentukan sendiri. Tidak ada ketentuan khusus untuk
membaca ayat-ayat tertentu dari Al-Quran. Kecuali niatnya memang untuk shalat
Istikharah.
Kemudian setelah itu mulai berdoa
dengan lafadz sebagai berikut :
اللهم إني أستخيرك بعلمك وأستقدرك بقدرتك وأسألك من فضلك العظيم فإنك تقدر ولا أقدر ، وتعلم ولا أعلم وأنت علام
الغيوب.
اللهم إن كنت تعلم أن هذا الأمر خير لي في
ديني ومعاشي وعاقبة أمري فاقدره لي ويسره لي ثم بارك لي فيه.
وإن كنت تعلم أن هذا الأمر شرلي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري فاصرفه عني واصرفني عنه واقدر لي الخير حيث كان ثم ارضني به
وإن كنت تعلم أن هذا الأمر شرلي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري فاصرفه عني واصرفني عنه واقدر لي الخير حيث كان ثم ارضني به
Allahumma Inni
Astakhiruka bi 'ilmika wa astaqdiruka diqudratika wa as'alukan min fadhlikal
'azhiem, fainnaka taqdiru wa la aqdir, wa ta'lamu wa la a'lam. Wa anta 'allamul ghuyub.
Allahumma inkunta ta'lamu anna hadzal amra khairun li fi dini wa ma'asyi wa
'aqibatu amri faqdurhu li wa yassirhu li tsumma baarikhu li.
Wa inkunta ta'lamu
anna hadzal amra syarran li fi dini wa ma'asyi wa 'aqibatu amri, fashrifhu
'anni washrifni 'anhu, waqdu liyal khaira hatsu kaana tsummardhini bihi.�
Ya Allah, aku memohon
dipilihkan dengan ilmu-Mu. Aku bermohon penilaian dengan kekuasaan-Mu. Dan
meminta dengan keutamaan-Mu yang Agung. Sesungguhnya Engkau berkuasa dan aku
tidak berkuasa. Engkau Maha Mengetahui dan aku tidak mengetahui. Dan Engkau Maha
Mengetahui hal-hal yang ghaib.
Ya Allah, bila Engkau
mengetahui bahwa urusan ini baik untukku, untuk agamaku dan untuk kehidupanku,
serta resikoku, taqdirkanlah hal itu untukku, mudahkanlah untukku, serta
berkahilah aku pada hal itu.
Ya Allah, bila Engkau
mengetahui bahwa urusan ini buruk untukku, untuk agamaku dan untuk kehidupanku,
serta resikoku, jauhkanlah hal itu untukku, jauhkan aku dari hal itu.
Jadikanlah untukku kebaikan di manapun kebaikan itu berada. Kemudian ridhai aku
pada hal itu.
Kemudian dia menyebutkan hajatnya,
yaitu pada kalimat hadzal amra.
* * *
D. Bentuk Jawaban
Dalam hadis tidak dijelaskan
bagaimana jawaban akan diberikan, meskipun Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar
menyatakan hendaklah orang tersebut memilih sesuai dengan pilihan hatinya
(hatinya menjadi condong terhadap suatu pilihan setelah shalat). Tetapi
pendapat tersebut ditentang oleh sejumlah ulama karena hadis yang menjadi
rujukan Imam Nawawi adalah hadis dhaif. Para ulama hanya menegaskan bahwa
jangan memilih pilihan yang ada sebelumnya yang hanya berdasarkan kepada hawa
nafsu (Fathul bari 11/187)
Jadi yang seharus dilakukan
adalah, setelah kita melaksanakan shalat istikharah kita pilih mana yang
terbaik (berazam) dan meyerahkan segala urusannya pada Allah. Karena kalau
pilhan tersebut adalah pilihan yang terbaik, maka Allah akan memudahkannya bagi
orang tersebut dan akan memberkahinya. Tetapi jika hal tersebut adalah
sebaliknya maka Allah akan memalingkannya dan memudahkan orang tersebut kepada
kebaikan dengan idzin-Nya. (Bughyatul Mutathowwi� Fi Shalat At-Tathowwu� hal 105)
Tidak ada satu keterangan pun yang
menjelaskan bahwa hasil dari shalat istikharah akan ada pada mimpi. Sejumlah
ulama di antaranya Imam An-Nawawi menyatakan bahwa pilihan akan diberikan
kepada orang yang melaksanakan shalat tersebut dengan dibukakan hatinya untuk
menerima atau melakukan suatu hal. Tetapi pendapat ini ditentang oleh sejumlah
ulama diantaranya Al-�Iz bin Abdis-Salam, Al-Iroqi dan Ibnu Hajar. Bahwasanya orang
yang telah melaksanakan shalat istikharah hendaklah melaksanakan apa yang telah
diazamkannya, baik hatinya menjadi terbuka maupun tidak tidak.
Ibnu Az-Zamlakani berkata: Apabila
seseorang melaksanakan shalat istikharah dua rakaat karena sesuatu hal, maka
hendaklah ia mengerjakan apa yang memungkinkan baginya, baik hatinya menjadi
terbuka untuk melakukannya atau tidak, karena sesungguhnya kebaikan ada pada
apa yang dia lakukan meskipun hatinya tidak menjadi terbuka� beliau berpendapat karena
dalam hadis Jabir tidak dijelaskan adanya hal tersebut
(Thobaqot Asy-Syafi�iyah/ Ibnu As-Subki 9/206). Sedangkan hadis Anas
bin Malik yang dijadikan alasan oleh Imam Nawawi didhoifkan oleh sejumlah ulama
(Fathul Bari 11/187)
* * *
E. Batasan Jumlah
Shalat Istikharah
Kami tidak mendapatkan dalil shohih yang
menjelaskan tentang batasan minimum maupun maksimum pelaksanaan shalat
istikharah. Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu sunni dari Anas RA ia
berkata : Rasulullah SAW bersabda: �Wahai Anas, Apabila engkau
berniat melaksanakan suatu urusan, maka minta pilihan pada tuhanmu mengenai
urusan tersebut tujuh kali, kemudian perhatikan mana urusan yang pertama
dipilih oleh hatimu, karena kebikan ada padanya�
Hadis di atas dihoif sebagaimana
dikemukakan oleh Ibnu Hajar : �Sanadnya dhoif sekali� (Fathul Bari 11/187).
Al-Iroqi berkata :�Mereka (para rowi) memang terkenal tetapi di
antara mereka ada rowi yang terkenal dengan kedhoifannya (bahkan sangat dhoif)
yaitu Ibrohim bin Al-Baro� ( Kitab Al-Adzkar An-Nawawi dan Tuhfatul Abror
As-Suyuthi hal 162-163).
* * *
Shalat Gerhana
(137)
Gerhana Matahari
Shalat gerhana dalam bahasa arab
sering disebut dengan istilah khusuf dan juga kusuf sekaligus. Secara bahasa,
kedua istilah itu sebenarnya punya makna yang sama. Shalat gerhana matahari dan
gerhana bulan sama-sama disebut dengan kusuf dan juga khusuf sekaligus.
Namun masyhur juga di kalangan
ulama penggunaan istilah khusuf untuk gerhana bulan dan kusuf untuk gerhana
matahari. (Lihat Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili
jilid 2 halaman 1421).
- Kusuf adalah peristiwa dimana sinar matahari menghilang baik sebagian atau total pada siang hari karena terhalang oleh bulan yang melintas antara bumi dan matahari.
- Khusuf adalah peristiwa dimana cahaya bulan menghilang baik sebagian atau total pada malam hari karena terhalang oleh bayangan bumi karena posisi bulan yang berada di balik bumi dan matahari.
Gerhana Bulan
A. Pensyariatan Shalat
Gerhana
Shalat gerhana adalah shalat
sunnah muakkadah yang ditetapkan dalam syariat Islam sebagaimana para ulama telah
menyepakatinya.
Dalilnya adalah firman Allah SWT :
Dan dari
sebagian tanda-tanda-Nya adalah adanya malam dan siang serta adanya matahari
dan bulan. Janganla kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi sujudlah
kepada Allah Yang Menciptakan keduanya. (QS. Fushshilat : 37)
Maksud dari perintah Allah SWT
untuk bersujud kepada Yang Menciptakan matahari dan bulan adalah perintah untuk
mengerjakan shalat gerhana matahari dan gerhana bulan.
Selain itu juga Rasulullah SAW
bersabda :
Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya
tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila
kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai
fenomena itu.(HR. Bukhari Muslim dan Ahmad)
Shalat gerhana disyariatkan kepada siapa saja, baik dalam keadaan muqim di negerinya atau dalam keadaan safar, baik untuk laki-laki atau untuk perempuan. Atau diperintahkan kepada orang-orang yang wajib melakukan shalat Jumat. Namun meski demikian, kedudukan shalat ini tidak sampai kepada derajat wajib, sebab dalam hadits lain disebutkan bahwa tidak ada kewajiban selain shalat 5 waktu semata.
* * *
B. Pelaksanaan Shalat
Gerhana
1. Shalat gerhana matahari dan
bulan dikerjakan dengan cara berjamaah, sebab dahulu Rasulullah SAW
mengerjakannya dengan berjamaah di masjid. Shalat gerhana secara berjamaah
dilandasi oleh hadits Aisyah ra.
2. Shalat gerhana dilakukan tanpa
didahului dengan azan atau iqamat. Yang disunnahkan hanyalah panggilan shalat dengan
lafaz "As-Shalatu Jamiah". Dalilnya adalah hadits berikut :
Dari
Abdullah bin Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW mengutus orang yang memanggil
shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah". (HR. Muttafaqun alaihi).
3. Namun shalat ini boleh juga
dilakukan dengan sirr (merendahkan suara) maupun dengan jahr (mengeraskannya).
4. Juga disunnahkan untuk mandi
sunnah sebelum melakukan shalat gerhana, sebab shalat ini disunnahkan untuk
dikerjakan dengan berjamaah
5. Shalat ini juga dilakukan
dengan khutbah menurut pendapat As-Syafi`i. Khutbahnya seperti layaknya khutbah
Idul Fithri dan Idul Adha dan juga khutbah Jumat.
Dalilnya adalah hadits Aisyah ra
berikut ini :
Dari
Aisyah ra berkata,"Sesungguhnya ketika Nabi SAW selesai dari shalatnya,
beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan manusia dengan memuji Allah, kemudian
bersabda,"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah
sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana
disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana,
maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena itu.(HR.
Bukhari Muslim dan Ahmad)
Dalam khutbah itu Rasulullah SAW
menganjurkan untuk bertaubatdari dosa serta untuk mengerjakan kebajikan dengan
bersedekah, doa dan istighfar (minta ampun).
Sedangkan Al-Malikiyah mengatakan
bahwa dalam shalat ini disunnahkan untuk diberikan peringatan (al-wa`zh) kepada
para jamaah yang hadir setelah shalat, namun bukan berbentuk khutbah formal di
mimbar. Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah juga tidak mengatakan bahwa dalam shalat
gerhana ada khutbah, sebab pembicaraan nabi SAW setelah shalat dianggap oleh
mereka sekedar memberikan penjelasan tentang hal itu.
* * *
C. Tata Cara Teknis
Shalat Gerhana
1. Shalat gerhana dilakukan
sebanyak 2 rakaat.
2. Masing-masing rakaat dilakukan
dengan 2 kali berdiri, 2 kali membaca qiraah surat Al-Quran, 2 ruku` dan 2
sujud. Dalil yang melandasi hal tersebut adalah :
Dari
Abdullah bin Amru berkata,"Tatkala terjadi gerhana matahari pada masa nabi
SAW, orang-orang diserukan untuk shalat "As-shalatu jamiah". Nabi
melakukan 2 ruku` dalam satu rakaat kemudian berdiri dan kembali melakukan 2
ruku` untuk rakaat yang kedua. Kemudian matahari kembali nampak. . Aisyah ra
berkata,"Belum pernah aku sujud dan ruku` yang lebih panjang dari ini.(HR. Muttafaqun alaihi)
3. Lebih utama bila pada rakaat
pertama pada berdiri yang pertama setelah Al-Fatihah dibaca surat seperti
Al-Baqarah dalam panjangnya. Sedangkan berdiri yang kedua masih pada rakaat
pertamadibaca surat dengan kadar sekitar 200-an ayat, seperti Ali Imran.
Sedangkan pada rakaat kedua pada berdiri yang pertama dibaca surat yang
panjangnya sekitar 250-an ayat, seperti An-Nisa. Dan pada berdiri yang kedua
dianjurkan membaca ayat yang panjangnya sekitar 150-an ayat seperti Al-Maidah.
4. Disunnahkan untuk memanjangkan
ruku` dan sujud dengan bertasbih kepada Allah SWT, baik pada 2 rukuk dan sujud
rakaat pertama maupun pada 2 ruku` dan sujud pada rakaat kedua. Yang dimaksud
dengan panjang disini memang sangat panjang, sebab bila dikadarkan dengan
ukuran bacaan ayat Al-Quran, bisa dibandingkan dengan membaca 100, 80, 70 dan
50 ayat surat Al-Baqarah.
Panjang rukuk dan sujud pertama
pada rakaat pertama seputar 100 ayat surat Al-Baqarah, pada ruku` dan sujud
kedua dari rakaat pertama seputar 80 ayat surat Al-Baqarah. Dan seputar 70 ayat
untuk rukuk dan sujud pertama dari rakaat kedua. Dan sujud dan rukuk terakhir
sekadar 50 ayat.
Dalilnya adalah hadits shahih yang
keshahihannya telah disepakati oleh para ulama hadits.
Dari Ibnu Abbas ra berkata,"Terjadi gerhana matahari
dan Rasulullah SAW melakukan shalat gerhana. Beliau beridri sangat panjang
sekira membaca surat Al-Baqarah. Kemudian beliau ruku` sangat panjang lalu
berdiri lagi dengan sangat panjang namun sedikit lebih pendek dari yang
pertama. Lalu ruku` lagi tapi sedikit lebih pendek dari ruku` yang pertama.
Kemudian beliau sujud. Lalu beliau berdiri lagi dengan sangat panjang namun
sidikit lebih pendek dari yang pertama, kemudian ruku` panjang namun sedikit
lebih pendek dari sebelumnya....(Muttafaqun
alaihi).
Shalat Jenazah
(138)
Shalat Jenazah termasuk shalat yang unik, karena barangkali itulah satu-satunya shalat yang tidak perlu ruku� dan sujud. Bahkan tidak ada istilah berapa rakaat. Karena intinya hanya berdiri, takbir sebanyak empat kali dengan diselingi bacaan dan doa tertentu lalu salam.
Shalat Jenazah termasuk shalat yang unik, karena barangkali itulah satu-satunya shalat yang tidak perlu ruku� dan sujud. Bahkan tidak ada istilah berapa rakaat. Karena intinya hanya berdiri, takbir sebanyak empat kali dengan diselingi bacaan dan doa tertentu lalu salam.
A. Hukum Shalat
Jenazah
Para ulama telah sepakat
berdasarkan nash-nash yang kuat bahwa shalat jenazah termasuk jenis shalat yang
hukumnya fardhu kifayah. Dimana bila sudah ada satu orang yang mengerjakannya,
gugurlah kewajiban orang lain.
B. Pensyariatan Shalat
Jenazah
Ada banyak dalil tentang pensyariatan shalat jenazah, salah
satunya yang paling mashur adalah hadits berikut ini :
Dari Abi Hurairah ra
berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Shalatilah jenazah saudara
kalian". (HR. Bukhari dan Muslim)
C. Keutamaan Shalat
Jenazah
Ada beberapa hadits yang
mengungkapkan keutamaan shalat jenazah. Antara lain :
Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda,"Siapa yang mengantar jenazah dan menshalatinya,
maka dia akan mendapat balasan satu qirath. Siapa yang mengantarnya hingga selesai di kuburkan, maka dia mendapat 2
qirath. Yang paling kecil dari 1 qirath itu seperti gunung Uhur (HR. Jamaah)
Dalam kesehariannya nilai 1 Qirath
setara dengan 1/16 dirham perak.
Dari Khabbab ra
berkata,"Wahai Abdullah bin Umar, tidakkah Anda mendengar apa yang
dikatakan Abu Hurairah?. Sesungguhnya dia mendengar Rasulullah SAW
bersabda,"Siapa yang pergi bersama jenazah dari rumahnya, lalu
menshalatinya, kemudian mengikutinya hingga dimakamkan, maka dia mendapat 2
qirath balasan. Setia satu qirath setara dengan gunung Uhud. Namun siapa yang
menshalati jenazah kemudian pulang, maka dia mendapat satu gunung Uhud
saja". (HR. Muslim)
Kemudian Ibnu Umar mengutus
Khabbab kepada Aisyah ra untuk menanyakan kepada beliau tentang kebenaran
riwayat Abu Hurairah itu. Aisyah ra berkata,"Abu Hurairah benar".
Maka berkatalah Ibnu Umar
ra,"Sungguh kita telah kehilangan banyak qirath".
D. Rukun Shalat Jenazah Shalat jenazah itu terdiri dari 8 rukun. Rukun ini maksudnya adalah kerangka yang bila ditinggalkan, shalat itu menjadi tidak syah.
- Niat
Shalat jenazah sebagaimana shalat dan ibadah lainnya tidak dianggap syah kalau tidak diniatkan. Dan niatnya adalah untuk melakukan ibadah keapada Allah SWT.
Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam
agama yang lurus , dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat;
dan yang demikian itulah agama yang lurus.(QS. Al-Bayyinah : 5).
Rasulullah SAW pun telah bersabda dalam
haditsnya yang masyhur :
Dari Ibnu Umar ra bahwa
Rasulullah SAW bersabda,�Sesungguhnya
setiap amal itu tergantung niatnya. Setiap orang
mendapatkan sesuai niatnya(HR. Muttafaq Alaihi).
Niat itu adanya di dalam hati dan intinya
adalah tekad serta menyengaja di dalam hati bahwa kita akan melakukan shalat
tertentu saat ini.
- Berdiri
Bila Mampu
Shalat jenazah tidak syah bila dilakukan sambil duduk atau di atas kendaraan (hewan tunggangan) selama seseorang mampu untuk berdiri dan tidak ada uzurnya. - Takbir
4 kali
Aturan ini didapat dari hadits Jabir yang menceritakan bagaimana bentuk shalat Nabi ketika menyolatkan jenazah.
Dari Jabir ra bahwa Rasulullah
SAW menyolatkan jenazah Raja Najasyi (shalat ghaib) dan beliau takbir 4 kali�. (HR. Bukhari : 1245, Muslim 952
dan Ahmad 3:355)
Najasyi dikabarkan masuk Islam setelah
sebelumnya seorang pemeluk nasrani yang taat. Namun begitu mendengar berita
kerasulan Muhammad SAW, beliau akhirnya menyatakn diri masuk Islam.
- Membaca Surat Al-Fatihah
- Membaca Shalawat kepada Rasulullah SAW
- Doa
Untuk Jenazah
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :
Bila kalian menyalati jenazah,
maka murnikanlah doa untuknya. (HR. Abu Daud : 3199 dan Ibnu Majah : 1947).
Diantara lafaznya yang dicontohkan oleh
Rasulullah SAW antara lain :
Allahummaghfir lahu warhamhu, wa �aafihi wa�fu �anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi� madkhalahu, waghsilhu bil-ma�i watstsalji wal-baradi.
- Doa
Setelah Takbir Keempat
Misalnya doa yang berbunyi :
Allahumma Laa Tahrimna Ajrahu wa laa
taftinnaa ba�dahu waghfirlana wa lahu
- Salam
Jadi
secara urutannya adalah sebagai berikut :
- Takbiratul Ihram [pertama]
- Membaca surat Al-Fatihah
- Takbir ke-2
- Membaca Shalawat kepada Nabi SAW : �Allahumma Shalli �Alaa Muhamad�
- Takbir ke-3
- Membaca Doa : Allahummaghfir lahu war-hamhu . . .
- Takbir ke-4
- Membaca Doa : Allahumma Laa Tahrimnaa Ajrahu �
Mengucap Salam
Shalat Tasbih
(139)
Shalat ini sering kali dilakukan oleh sebagian masyarakat kita. Bagaimana sesungguhnya kedudukan shalat ini? Seberapa kuatkah landasan syar'i yang melatar-belakanginya?
Shalat ini sering kali dilakukan oleh sebagian masyarakat kita. Bagaimana sesungguhnya kedudukan shalat ini? Seberapa kuatkah landasan syar'i yang melatar-belakanginya?
Kajian kita kali ini akan membahas
masalah ini, karena sering menjadi bahan pembicaraan di tengah masyarakat.
A. Landasan Syariah
Para fuqoha berbeda pendapat
tentang hukum sholat tasbih. Perbedaan tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan
mereka dalam hal kedudukan hadis yang menjadi pensyariatan ibdah sholat
tersebut.
1. Pertama: Sholat
tashbih adalah mustahabbah (sunnah).
Pendapat ini dikemukakan oleh
sebahagian fuqoha Syafi’iyyah. Pendapat mereka dilandasi oleh sabda Rasulullah
SAW kepada paman beliau Abbas bin Abdul Mutholib yang diriwayatkan oleh Abu
Daud.
Dari Ikrimah bin Abbas
ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Al-Abbas bin Abdul
Muttalib,“Wahai Abbas pamanku, Aku ingin memberikan padamu, aku benar-benar
mencintaimu, aku ingin engkau melakukan -sepuluh sifat- jika engkau
melakukannya Alloh akan mengampuni dosamu, baik yang pertama dan terakhir, yang
terdahulu dan yang baru, yang tidak sengaja maupun yang disengaja, yang kecil
maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan. Sepuluh sifat
adalah: Engkau melaksankan sholat empat rakaat; engkau baca dalam setiap rakaat
Al-Fatihah dan surat, apabila engkau selesai membacanya di rakaat pertama dan
engkau masih berdiri, mka ucapkanlah: Subhanalloh Walhamdulillah Walaa Ilaaha
Ilalloh Wallohu Akbar 15 kali, Kemudian ruku’lah dan bacalah do’a tersebut 10
kali ketika sedang ruku, kemudian sujudlah dan bacalah do’a tersebut 10 kali
ketika sujud, kemudian bangkitlah dari sujud dan bacalah 10 kali kemudian
sujudlah dan bacalah 10 kali kemudian bangkitlah dari sujud dan bacalah 10
kali. Itulah 75 kali dalam setiap rakaat, dan lakukanlah hal tersebut pada
empat rakaat. Jika engkau sanggup untuk melakukannya satu kali dalam setiap
hari, maka lakukanlah, jika tidak, maka lakukanlah saru kali seminggu, jika
tidak maka lakukanlah sebulan sekali, jika tidak maka lakukanlah sekali dalam
setahun dan jika tidak maka lakukanlah sekali dalam seumur hidupmu” (HR Abu Daud 2/67-68, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaemah, dalam Shahihnya dan
At-Thabarani.)
Mereka berpendapat bahwa hadits
tersebut meskipun merupakan riwayat dari Abdul Aziz, ada sejumlah ulama yang
mentsiqohkannya di antaranya adalah Ibnu Ma’in. An-Nasaiy berkata: Ia tidak
apa-apa. Az-Zarkasyi berpendapat: “Hadis shohih dan bukan dhoif”. Ibnu
As-Sholah: “Hadisnya adalah Hasan”.
Al-Hafizh menyebutkan bahwa hadits
ini diriwayatkan lewat jalur yang banyak dan dari sekumpulan jamaah dari
kalangan shahabat. Salah satunya hadits Ikrimah ini. Dan sejumlah ahli hadits
telah menshahihkan hadits ini, diantaranya Al-Hafizh Abu Bakar Al-Ajiri, Abu
Muhammad Abdurrahim Al-Mashri, Al-Hafizh Abul Hasan Al-Maqdisi rahimahullah.
Ibnul Mubarak berkata,"Shalat tasbih ini muraghghab (dianjurkan) untuk
dikerjakan, mustahab diulang-ulang setiap waktu dan tidak dilupakan".
Lihat Fiqhus Sunnah oleh As-Sayyid Sabiq jilid 1 halaman 179.
2. Kedua: Sholat
tasbih tidak apa-apa untuk dilaksanakan (boleh tapi tidak disunnahkan).
Pendapat ini dikemukakan oleh
sebahagian fuqoha Hanbilah. Mereka berkata: “Tidak ada hadits yang tsabit (kuat)
dan sholat tersebut termasuk Fadhoilul A’maal, maka cukup berlandaskan hadis
dhoif.
Oleh karena itu Ibnu Qudamah
berkata: “Jika ada orang yang melakukannya maka hal tersebut tidak mengapa,
karena sholat nawafil dan Fadhoilul A’maal tidak disyaratkan harus dengan
berlandaskan hadis shohih” (Al-Mughny 2/123)
3. Ketiga: Sholat
tersebut tidak disyariatkan.
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’
berkata: “Perlu diteliti kembali tentang kesunahan pelaksanaan sholat tasbih
karena hadisnya dhoif, dan adanya perubahan susunan sholat dalam sholat tasbih
yang berbeda dengan sholat biasa. Dan hal tersebut hendaklah tidak dilakukan
kalau tidak ada hadis yang menjelaskannya. Dan hadis yang menjelaskan sholat
tasbih tidak kuat”. Ibnu Qudamah menukil riwayat dari Imam Ahmad bahwa tidak
ada hadis shohih yang menjelaskan hal tersebut.
Ibnuljauzi mengatakan bahwa
hadits-hadits yang berkaitan dengan shalat tasbih termasuk maudhu` / palsu.
Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhis bahwa yang benar adalah seluruh riwayat
hadits adalah dhaif meskipun hadits Ibnu Abbas mendekati syarat hasan, akan
tetapi hadits itu syadz karena hanya diriwayatkan oleh satu orang rawi dan
tidak ada hadits lain yang menguatkannya. Dan juga shalat tasbih berbeda gerakannya dengan shalat-shalat yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqih mazhab Hanafiyah dan Malikiyah tidak pernah
disebutkan perihal shalat tasbih ini kecuali dalam Talkhis Al-Habir dari Ibnul
Arabi bahwa beliau berpendapat tidak ada hadits shahih maupun hasan yang
menjelaskan tentang shalat tasbih ini.
Shalat Istisqa`
(140)
A. Pengertian�
A. Pengertian�
Istisqa` secara bahasa berasal
dari makna meminta air. Dan secara istilah syariat adalah ibadah shalat
yang secara khusus dilakukan agar Allah SWT segera menurunkan air hujan.
Biasanya shalat ini dilakukan bila terjadi kemarau berkepanjangan yang
mengakibatkan keringnya sumber-sumber air, mati tanaman, hewan kehausan dan
manusia kesusahan.
Demikian syariat Islam memberikan
ajaran bagi umat manusia manakala menghadapi masalah kekeringan. Bukan dengan
pergi ke pawang hujan atau orang sakti. Sebab hal-hal yang demikian malah bisa
membuatnya kita terperosok pada syirik dan dosa besar. Sebab orang-orang yang
mengaku bisa menurunkan hujan dengan ilmu ghaibnya, tidak lain mendapat bantuan
dari syetan.
* * *
B. Pensyariatan Shalat
Istisqa`
Shalat istisqa` adalah shalat yang
disyariatkan dalam agama Islam. Dimana dahulu Rasulullah SAW pernah
melakukannya sebagaimana tercantum dalam hadits-hadits berikut ini.
Hadits pertama
Dari Aisyah ra berkata bahwa orang-oang datang mengadu kepada Rasulullah SAW atas tidak turunnya hujan (kemarau). Maka beliau memerintahkan orang-orang untuk menyiapkan mimbar pada tempat shalat (mushalla) dan berkumpul pada hari yang ditentukan. Beliau kemudian keluarrumah tatkala mahatari terik dan duduk di mimbar kemudian bertakbir dan memuji Allah lau bepidato,
Dari Aisyah ra berkata bahwa orang-oang datang mengadu kepada Rasulullah SAW atas tidak turunnya hujan (kemarau). Maka beliau memerintahkan orang-orang untuk menyiapkan mimbar pada tempat shalat (mushalla) dan berkumpul pada hari yang ditentukan. Beliau kemudian keluarrumah tatkala mahatari terik dan duduk di mimbar kemudian bertakbir dan memuji Allah lau bepidato,
"Kalian
telah mengadukan keringnya rumah dan Allah telah memerintahkan untuk meminta
kepada-Nya serta berjanji untuk memberikan apa yang diminta".
Beliau meneruskan,
"Alhamdu
lillahi rabbil `alamin, Arrahmanurrahim, Maliki Yaumiddin, Laa Ilaha Illalah
Yang Maha Mengerjakan apa yang diinginkan, Ya Allah, tidak ada tuhan kecuali
Engkau, Engkau Maha Kaya dan kami orang yang faqir. Turunkan kepada kami air hujan. Jadikan apa yang Engkau
turunkan itu sebagai kekuatan yang lama".
Kemudian
beliau mengangkat kedua tangannya hingga nampak putihnya ketiaknya. Kemudian
beliau membelakangi orang-orang dan membalik selendangnya dengan masih
mengangkat tangannya. Kemudian berbalik lagi menghadap orang-orang dan turun
lalu shalat dua rakaat. Maka Allah menciptakan awan hujan lengkap dengan guruh
dan kilatnya. Kemudian turunlah hujan atas izin Allah SWT. Beliau belum lagi
sampai masjid ketika sudha terjadi banjir air hujan. Ketika belliau menyaksikan
kecepatan air masuk ke rumah beliau tertawa hingga nampak putihnya giginya.
Beliau berkata,"Aku bersaksa bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dan bahwa aku adalah hamba dan rasul-Nya. (HR. Hakim 1/328 dan Abu Daud 1173. Abu Daud menshahihkannya dengan
komentar bahwa hadits ini gharib tapi isnadnya jayyid)
Hadits Kedua
Hadits lainnya adalah hadits dari Abdullah bin Zaid Al-Mazani
Hadits lainnya adalah hadits dari Abdullah bin Zaid Al-Mazani
Dari
Abdullah bin Zaid Al-Mazani bahwa Nabi SAW keluar kepada orang-orang untuk
meminta diturunkan air hujan. Maka
beliau shalat bersama mereka dua rakaat dengan mengeraskan bacaannya. (HR. Bukhari 1024, Muslim 1254, Abu Daud 1161, Tirmizy 557, Nasai 1521,
Ibnu Majah 1267)
Hadits Ketiga
Dari Abu
Hurairah ra bahwa Nabi SAW keluar pada suatu hari untuk meminta hujan. Beliau
shalat bersama kami dua rakaat tanpa azan dan iqamat. Kemudian berkhutbah untuk
kami, berdoa kepada Allah, memalingkan wajah ke kiblat dengan mengangkat kedua
tangan. Lalu membalikkan selendangnya sehingga yang kanan di kiri dan yang kiri
di kanan. (HR. Ahmad 4/41 dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 3/347)
* * *
C. Tata Cara Shalat
Istisqa`
Di dalam Fiqhus Sunnah pada jilid
1 halaman 182, As-Sayyid Sabiq menuliskan beberapa hal yang menjadi ketentuan
dalam shalat Istisqa' antara lain :
- Disunnahkan untuk dilakukan dengan berjamaah, minimal ada imam dan makmumnya.�
- Jumlah bilangan rakaatnya hanya dua rakaat saja�
- Dikerjakan kapan saja asalkan bukan di dalam waktu-waktu yang terlarang untuk shalat.�
- Shalat ini dilakukan dengan mengerasakan bacaan oleh imam (jahr).
- Disunnahkan untuk membaca surat Al-A`la (Sabbhisma rabbikal a`la) pada rakaat pertama dan surat Al-Ghasyiah (Hal Attaka) pada rakaat kedua setelah membaca Al-Fatihah.
- Disunnahkan untuk disampaikan khutbah baik sebelum atau sesudah shalat.
- Disunnahkan untuk memanjatkan doa kepada Allah SWT setelah selesai shalat khususnya permintaan untuk segera diturunkan hujan, dengan mengangkat tangan.
- Memindahkan rida' (selendang) dari bagian kanan tubuh ke bagian kiri atau sebaliknya.
* * *
[1]
Di dalam kitab Nailul Authar karya Al-Imam Asy-Syaukani disebutkan bahwa
Al-Bukhari mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang
waktu-waktu shalat. Hadits ini berbicara tentang Jibril yang shalat menjadi
imam bagi nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
[2]
As-Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, jilid 1 halaman 95
[3]
Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 133
[4]
Lihat kitab Al-Muhgny jilid 1 halaman 403, kitab Kasysyaf Al-Qanna` jilid 1
halaman 267, kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 138
[5]
Lihat kitab Nailul Authar jijlid 2 halaman 57, kitab Subulus Salam jilid 1 halaman
129, kitab Al-Mughny jilid 1 halaman 415-416
[6]
Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu jilid 1 halaman 720-721
[7]
Al-Majmu, karya Al-Imam An-Nawawi rahimahullah jilid 3 halaman 344 s/d 350
[8]
kitab Addur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 415, kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman
193-205322, kitab Al-Badai` jilid 1 halaman 110 dan kitab Tabyinul Haqaiq jilid
1 halaman 104
[9]
kitab Al-Majmu` jilid 3 halaman 302
[10]
Rujuk ke kitab-kitab berikut ini : Fathul Qadir
jilid 1 halaman 193-208, Ad-Dur al-Mukhtar jilid 1 halaman 416, As-Syarhu
Ash-Shaghir jilid 1 halaman 313, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 62, Mughni
Al-Muhtaj jilid 1 halaman 163, Kassyaf Al-Qanna` jilid 1 halaman 452,
Al-Muhazzab jilid 1 halaman 74).
[11]
Nailul
Authar : 2/253
[13] Hadits
hasan shahih - Nailul Authar : 2/273)
[14]
Lihat Al-Qawanin Al-Fiqhiyah jilid 66, Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 177,
Hasyiyatul Bajuri jilid 1 halaman 163, Kasysyaf Al-Qanna’ jilid 1 halaman 454,
Al-Mughni jilid 1 halaman 551-558, As-Syarhusshaghir jilid 1 halaman 315-321,
Asysyarhulkabir jilid 1 halaman 240
[15]
Menurut Al-Hakim hadits ini shahih dengan syarat dari Muslim. Hadits ini juga
mutawatir yang diriwayatkan oleh 7 shahabat – lihat An-Nuzhum Al-Mutanatsir
halaman 57
[16]
Nailul Authar bab Al-Khuruj minashshalah bissalam, jilid 2 halaman 332
[17]
Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, jilid 1 halaman 673
[18]
Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Az-Zuhaili, jilid 1 halaman 675
[19]
Nailul Authar jilid 2 halaman 298
[20]
dalam
nashbur-Rayah
[21]
Hadits ini shahih meski lewat sanad yang lemah, namun banyak syawahid yang
menguatkannya.
[22]
Hadits riwayat Muslim ini derajatnya shahih, namun oleh Al-Hafidz ibnu Hajar
dikatakan sanadnya munqathi’ (terputus). Sedangkan riwayat Ad-Daruquthuni
maushul dan dia mauquf.
[23]
lihat kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halama 173 dan kitab Al-Mughni jilid 1
halaman 541
[24]
lihat kitab Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 478 dan kitab Asy-Syarhu
Ash-Shaghir jilid 1 halaman 319
[25]
kitab Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 479, kitab Hasyiyah Al-Bajuri jilid 1
halaman 162 dan kitab Syarhu Al-Hadhramiyah halaman 253
[26]
lihat kitab Asna Al-Mathalib fi Ahaditsi Mukhtalaf Al-Marathib karya Al-Hut
Al-Bairuti halaman 253
[27]
lafaznya dari muslim diriwwayatkan dari hadits Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, lihat
Nailul Authar jilid 2 halaman 287
[28]
lihat Subulus Salam jilid 1 halaman 194
[29]
kitab
al-masajid wa mawwadhiusshalah no. 650
[30]
Fathul Bari jilid 2 halaman 133
[31]
Abu
Daud 547 dan Nasai 2/106 dengan sanad yang hasan
[32]
(HR.
Ibnu Majah 793, Ad-Daruquthuni 1/420, Ibnu Hibban 2064, Al-Hakim 1/245 dan
sanadnya shahih).
[33]
Bukhari
644,657,2420,7224. Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya
[34] Sunan Ibnu Majah 1/202,
Sunan An-Nasai 3/112, Sunan Ibnu Khuzaemah 3/173, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
1/291 menshahihkan hadits ini hadits ini
dari tiga jalannya.
[35]
Shahih Muslim jilid 1 halaman 420
[36]
kitab Ma`alimus-Sunan jilid 1 halaman 160
[37]
lihat Mukhtashar Al-Fatawa Al-MAshriyah halaman 50
[38]
Al-Muqni` 1/193
[39]
Shahih Bukhari 644, 657, 2420, 7224; Shahih Muslim 651 dan lafaz hadits ini
darinya
[40]
Nailul Authar jilid 3 halaman 146
[41]
kitab Bada`ius-Shanai` karya Al-Kisani jilid 1 halaman 76
[42]
Lihat Jawahirul Iklil jilid 1 halama 76.
[43]
lihat Qawanin Al-Ahkam As-Syar`iyah halaman 83
[44]
kitab Asy-Syarhu As-Shaghir jilid 1 halaman 244
[45]
Shahih Muslim 650, 249
[46]
lihat
Fathul Bari jilid 2 halaman 278
[47]
Majmu` Fatawa jilid 23 halaman 333
[48]
Al-Muhalla jilid 4 halaman 265
[49] Sunan Ibnu Majah 793, Sunan Ad-Daruquthuny 1/420, Ibnu Hibban 2064 dan
Al-Hakim 1/245
[50]
Shahih Bukhari 644, 657, 2420, 7224 Shaih Muslim 651 dan lafaz hadits ini darinya
[51]
Imam
An-Nawawi berkata bahwa isnadnya shahih sesuai dengan syarat dari Bukhari. Ibnu
Hajar mengatakan bahwa yang menshahihkan hadits itu bukan hanya satu orang
[52]
Salah satu kitab penjelasan Shahih Muslim. Penjelasan ini pada jilid III
halaman 265
[53] Imam An-Nawawi berkata bahwa isnadnya shahih sesuai dengan syarat dari
Bukhari. Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang menshahihkan hadits itu bukan hanya
satu orang
[54]
Di dalam kitab Nailul Authar jilid 2 halaman 498-499. Haditsnya diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah. Imam Ahmad bin Hanbal mengomentari hadits ini bahwa
isnadnya baik (jayyid)
[55]
Fiqih Sunnah jilid 1 halaman 288. As-Sayyid Sabiq sebenarnya mengutip dari
kitab Fathul Bari
karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani.
[56]
Al-Ikhtiyaarot Al-Fiqhiyyah Min Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah/ Al-Ba’ly
hal 145-146
[57]
dengan
isnad yang lemah
[58]
Shahih Bukhari 580, Shahih Muslim no. 607
[59]
Lafadz ini oleh Ad-Daruquthuni. Isnad hadits ini shahih, namun Abu Hatim
menguatkan ke-irsalannya.
[60]
dalam Syarah An-Nawawi jilid 5 halaman 219
[61]
Shahih
Bukhari 543 dan Shahih Muslim 705
[62]
dengan sanad Shahih
[63]
Shahih Muslim 705
[64]
idem
[65]
Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd Al-Hafid, jilid 1 halaman
404
[66]
Hadits
mauquf