Ilmu ushul fiqih menurut ahlu sunnah wal
jama’ah sebagaimana bidang keilmuan lainnya mengalami dan melalui beberapa
tahapan penting.
1. Marhalah Tadwin
(kodefikasi) atau penulisan dasar-dasar ilmu ushul fiqih yang dipelopori oleh
imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i رحمه الله
2. Marhalah Ittijaah al-Haditsi
(ushul fiqih dengan metodologi hadits) yang dipelopori imam Al-Khothib
al-Baghdadi رحمه
الله dan
Ibnu Abdilbarr رحمه الله.
3. Marhalah Ishlah dan pelurusan
yang tidak benar dalam ilmu ushul fiqih yang dipelopori imam Ibnu Taimiyah رحمه الله dan Ibnu al-Qayyim رحمه الله.
MARHALAH-MARHALAH PERKEMBANGAN ILMU USHUL FIQIH
MARHALAH PERTAMA
Marhalah
Pertama
dimulai pada masa imam asy-Syafi’i رحمه الله dan berakhir kurang
lebih sekitar akhir abad ke empat hijriyah. Keistimewaan marhalah ini adalah
penulisan kaidah ilmu ushul fiqih oleh imam asy-Syafi’i رحمه الله dan keadaan serta
kondisi yang berhubungan langsung dengan penulisan ini.
Imam asy-Syafi’i hidup dimasa berkembangnya
dua madrasah yang setiap dari madrasah ini tegak diatas manhaj yang tidak sama
dengan yang lainnya. Dua madrasah ini adalah madrasah hadits yang berada di
Madinah dengan tokoh besarnya adalah imam Malik bin Anas bin Malik al-Ashbahi رحمه الله (w 179 H) dan kedua
adalah madrasah ar-Ra’yi yang berada di Irak dengan tokoh besarnya adalah para
murid Abu Hanifah رحمه الله.
Madrasah hadits dikenal sangat kental dan
dekat dengan riwayat, karena kota Madinah adalah tempat berkumpulnya para
sahabat dan tempat turunnya wahyu. Sebaliknya madrasah ar-Ra’yi sangat kental
nuansa akalnya karena tidak memiliki sebab-sebab riwayat seperti di Madinah,
ditambah lagi banyaknya fitnah dan pemalsuan hadits di sana. Yang perlu
diperhatikan bahwa kedua madrasah ini sepakat mewajibkan untuk menerima dan
mengamalkan al-Qur`an dan sunnah dan tidak mendahulukan akal dari kedua sumber
tersebut.
Dalam hal ini imam asy-Syafi’i رحمه الله mampu mengkompromikan
kedua madrasah ini dan memperoleh keistimewaan yang dimiliki masing-masing
madrasah tersebut. Beliau menyatukan fiqih imam Malik di Madinah – yang beliau
sendiri adalah murid imam Malik رحمه الله – dan fiqih Abu
Hanifah di Irak, karena beliau berguru langsung kepada imam Muhammad bin
al-Hasan asy-Syaibani رحمه الله (w 189 H) ditambah dengan fiqih ahli Syam dan Mesir karena
beliau pun mengambil ilmu dari para ulama pakar fiqih di sana. Ditambah lagi
dengan Madrasah Makkah yang memiliki perhatian lebih besar dalam tafsir
al-Qur`an dan sebab turunnya. Dimana
beliau belajar langsung di Makkah kepada para ulama fiqih dan ulama hadits
disana hingga mendapatkan kedudukan sebagai mufti. Semua ini didukung dengan
kepakaran beliau dalam bahasa Arab yang beliau dapatkan dari pedalaman Arab
pada kabilah Hudzail yang termasuk suku terfasih dalam berbahasa Arab. Dengan
anugerah besar yang dimiliki inilah –dengan taufiq dari Allah- beliau mampu
meletakkan ushul dan kaidah dalam ber-istimbath (pengambilan hukum dari
dalil) serta ketentuan berijtihad. Juga beliau mampu menjadikan fiqih diambil
dari sumber hukum yang jelas dan pasti. Dengan sebab itu beliau membuka
pandangan ulama fiqih dan memberikan contoh kepada para mujtahid setelah beliau
untuk bertindak seperti yang telah beliau lakukan dan menyempurnakan yang
ditemui mereka nantinya. Demikianlah imam asy-Syafi’I رحمه الله menulis kitab “AR-RISAALAH”
yang menjadi kitab pertama dalam ushul fiqih.
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal رحمه الله (w 241 H) berkata:
Dahulu fiqih itu terkunci pada ahlinya saja hingga Allah bukakan dengan
asy-Syafi’i. (lihat Tahdzieb al-Asma’
wa al-Lughaat 1/61)
Beliau رحمه الله juga menyatakan:
Dahulu peradilan kami berada di tangan para sahabat Abu Hanifah رحمه الله tidak dapat diganggu
gugat hingga kami melihat imam asy-Syafi’i. Beliau orang terpakar dalam
al-Qur`an dan sunnah Rasululloh صلي الله عليه وسلم. Dan ahli hadits
tidak akan pernah kenyang dari kitab-kitab asy-Syafi’i. (lihat Muqaddimah kitab
ar-Risalah hal. 6 ). Ia juga
berkata: Kalau bukan imam asy-Syafi’i maka kami tidak mengenal fiqih hadits.
Imam asy-Syafi’i رحمه الله telah meletakkan
pondasi pertama penulisan dan kodefikasi ilmu ushul dan menjelaskan ketentuan
ilmu ini serta memperjelas gambarannya.
Imam Syafi’i رحمه الله dalam
upaya beliau menyusun ilmu ushul fiqih mengikuti jejak langkah orang sebelum
beliau dan bersandar kepada al-Qur`an dan sunnah serta siroh para sahabat dan
atsar para imam besar. Juga mengambil faedah dari ilmu bahasa Arab dan sejarah
manusia, serta penggunaan akal dan qiyas.
Kemudian setelah beliau, bermunculan upaya
para ulama ahli sunnah, namun baru berkisar pada permasalahan komitmen dengan
Al-Qur`an dan Sunnah.
Diantaranya adalah:
a. Risalah imam Ahmad رحمه الله tentang ketaatan kepada Rasululloh صلي الله عليه وسلم.
b. Kitab Akhbaar Ahaad dan kitab al-I’tishom,
keduanya bagian dari shohih al-Bukhori.
c. Kitab Ta’wiel Musykil al-Qur`an dan
kitab Ta’wiel Mukhtalaf al-Hadits keduanya karya Ibnu Qutaibah.
d. Dan kitab lainnya yang dikarang para ulama
salaf lainnya.
Pada marhalah ini kodefikasi ilmu usul fiqih
telah sempurna melalui karya imam asy-Syafi’i رحمه الله kemudian
datang para ulama setelah beliau menyempurnakan upaya yang telah beliau mulai
khususnya yang berhubungan dengan komitmen kepada Al-Qur`an dan sunnah. Semua
upaya ini merupakan benang merah manhaj ahli sunnah dan kaedah umum dalam ushul
fiqih versi ahlu sunnah. Marhalah ini memiliki pengaruh besar dan penting bagi
para ulama setelah mereka.
MARHALAH
KEDUA
Marhalah Kedua
berawal dari awal abad kelima hijriyah hingga sekitar akhir abad ketujuh
Hijriyah. Dalam masa ini muncullah dua imam besar, yaitu:
a. Imam ahli sunnah ditimur al-Khothib
al-Baghdadi رحمه الله penulis kitab Tarikh
Baghdad
b. Imam ahli sunnah di Barat Abu Umar bin
Abdilbarr رحمه الله penulis kitab at-Tamhied.
Al-Khothib al-Baghdadi رحمه الله menulis dalam bidang
ushul fiqih kitab al-Faqieh wa al-Mutafaqqih yang beliau buat sebagai
nasehat kepada ahli hadits. Kitab ini termasuk pengembangan dari kitab
ar-Risaalah karya imam asy-Syafi’i dengan beberapa penambahan seperti
permasalahan jidaal dan pembahasan yang berhubungan dengan adab fiqih.
Sedangkan Ibnu Abdilbarr رحمه الله menulis kitab Jaami’
Bayaan al-Ilmi wa Fadhlihi sebagai jawaban bagi orang yang bertanya tentang
beberapa pertanyaan yaitu:
§ Pengertian ilmu.
§ Pengokohan hujjah dengan ilmu.
§ Penjelasan salahnya orang yang berbicara
dalam agama Allah tanpa pemahaman yang benar.
§ Larangan memvonis tanpa hujjah.
§ Apa yang diperbolehkan dan yang dibenci
dalam adu hujjah dan debat.
§ Pemikiran akal mana yang dicela dan mana
yang dipuji?
Muncul
dalam marhalah ini juga dua kitab yaitu:
1) Kitab Taqwiem al-Adilah karya Abu
Zaid ad-Dabuusy رحمه الله. Ibnu Kholdun
mengomentari kitab ini dengan menyatakan: Adapun metodologi versi madzhab Abu
Hanifah, maka para ulamanya telah menulis banyak sekali karya tulis dan yang
terbaik untuk mutaqaddimin adalah karya Abu Zaid ad-Dabuusi. (Muqadimah Ibnu
Kholdun hal. 361)
2) Kitab al-Mustashfa karya al-Ghazali.
Kitab ini diringkas oleh Ibnu Qudamah رحمه
الله
dalam kitab Raudhah an-Naazhir Wa Jannat al-Manaazhir
Marhalah ini memiliki karakteristik
banyaknya materi ushul yang dibangun dari hadits nabi صلي الله عليه وسلم dan atsar shohih dari
sahabat dan tabi’in dan masuknya metodologi hadits yang dapat dilihat dari
penyampaian riwayat dengan sanadnya. Metodologi ini tidak hanya sebatas pada
riwayat dan penyampaian hadits namun juga padanya istimbath, fiqih, penetapan
qiyas dan ijtihad serta lainnya.
Marhalah ini merupakan pengem-bangan dari marhalah
sebelumnya yang diwakili dengan kitab ar-Risaalah. Ibnu Abdilbarr dan
al-Khothib al-Baghdadi serta Abu Manshur as-Sam’aani رحمهم الله sendiri mengambil
faedah dari peninggakan asy-Syafi’i. Sedangkan kitab Raudhah an-Naazhir
memberikan gambaran baru yang nampak sekali pengaruh manhaj mutakallim
(ahli kalam) dengan tetap menjaga konsep dasar manhaj salaf padanya secara
umum.
MARHALAH KETIGA
Marhalah Ketiga
yang dimulai pada awal abad kedelapan sampai sekitar akhir abad kesepuluh
hijriyah. Muncul dalam marhalah ini dua imam yaitu:
a. Ibnu Taimiyah رحمه الله
b. Ibnu al-Qayyim رحمه الله
Marhalah ini memiliki karekteristik yang
dibangun diatas dua pokok :
§ Penjelasan dan penampakan kaedah-kaedah ushul
sesuai manhaj salaf
§ Pengarahan kritik dan pelurusan kesalahan
yang ada pada mutakallimin (ahli kalam) dalam kaedah-kaedah ushul.
Hal ini selesai melalui imam Ibnu Taimiyah رحمه الله dan Ibnu al-Qayyim رحمه الله. Keduanya membangun
upaya besar tersebut diatas kekayaan ilmiyah yang ditinggalkan imam asy-Syafi’i
رحمه
الله dan
ulama yang sejalan dengan beliau.
Pada marhalah ini muncul juga karya-karya
ilmiyah para ulama madzhab Hambali seperti Ibnu al-Lahaam, al-Mirdaawi, dan
al-Fatuhi رحمهم
الله.
Namun nampaknya semua adalah pengembangan dari kitab Ibnu Qudamah رحمه الله yang masih nampak
pengaruh manhaj mutakallimnya. Walaupun mereka tentunya menerima dan mengambil
faedah dari karya-karya Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim sehingga nampak sekali
dengan jelas terpengaruhnya kitab-kitab ini dengan ketetapan kedua imam
tersebut.
Inilah marhalah-marhalah yang dilewati ahlu
sunnah dalam perjalanan pembentukan ilmu ushul fiqih. Kemudian muncul juga
beberapa karya tulis dari sebagian ulama ahli sunnah namun semuanya kembali
kepada keterangan yang sudah dibuat dalam marhalah-marhalah diatas.[]