I'
T I K A F
1.
Hikmahnya
Al-Alamah
Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: "Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqamah
(konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah Ta'ala tergantung pada
kumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya
dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah Ta'ala secara menyeluruh, karena
kusutnya hati tidak akan dapat sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada
Allah Ta'ala, sedangkan makan dan minum yang berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan
dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang
menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan mencerai beraikan hati di
setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju
Allah atau akan melemahkan, menghalangi dan menghentikannya.
Rahmat
Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyariatkan bagi
mereka puasa yang bisa menyebabkan hilangnya kelebihan makan dan minum pada
hamba-Nya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana
syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah Ta'ala, dan
disyariatkannya (i'tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh)
hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia
maupun di akhirat. Tidak akan merusak dan memutuskannya (jalan) hamba tersebut
dari (memperoleh) kebaikannya di dunia maupun di akhirat kelak.
Dan
disyariatkannya i'tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah
berdiamnya hati kepada Allah Ta'ala dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat
dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan
diri kepada Allah semata. Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan
penghadapan kepada-Nya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan
betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah
keinginan semuanya kepadanya dan semua betikan-betikan hati dengan
mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dan sesuatu yang
mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan ketika berkhalwat dengan
Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia
berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari
kesedihan di dalam kubur manakala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut
kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang dapat membahagiakan (dirinya)
selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari i'tikaf yang agung itu"
[Zaadul Ma'ad 2/86-87]
2.
Pengertian
I'tikaf
I'tikaf
yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu, dapat dikatakan bagi orang-orang yang
tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai mu'takif dan 'Akif.
[Al-Mishbahul Munir 3/424 oleh Al-Fayumi, dan Lisanul Arab 9/252 oleh Ibnu
Mandhur]
3.
Disyari'atkannya
I'tikaf
Disunnahkan
pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa
Nabi صلی الله عليه وسلم beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir bulan Syawwal [HR.
Bukhari 4/226 dan Muslim 1173]
Dan
Umar pernah bertanya kepada Nabi صلی
الله عليه وسلم: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah
bernadzar pada zaman jahiliyah (dahulu), (yaitu) aku akan beritikaf pada malam
hari di Masjidil Haram'. Beliau menjawab :Tunaikanlah nadzarmu". Maka ia (Umar رضي
الله عنه) pun beritikaf
pada malam harinya. [Riwayat Bukhari 4/237 dan Muslim 1656]
I'tikaf
yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan beradasarkan hadits Abu Hurairah رضي
الله عنه (bahwasanya)
Rasulullah صلی الله عليه وسلم sering beritikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan
manakala tibanya tahun yang dimana beliau diwafatkan padanya, beliau (pun)
beritikaf selama dua puluh hari. [Riwayat Bukhari 4/245]
Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan
karena Nabi صلی الله عليه وسلم seringkali beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan
Ramadhan hingga Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. [Riwayat
Bukhari 4/266 dan Muslim 1173 dari Aisyah]
4.
Syarat-Syarat
I'tikaf
a. Tidak
disyari'atkan kecuali di masjid, berdasarkan firman-Nya Ta'ala:
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ
عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
"Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu[9] sedangkan kamu beritikaf
di dalam masjid" [Al-Baqarah : 187]
b. Dan
masjid-masjid disini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid ,-pent), tapi telah
dibatasi oleh hadits shahih yang mulai (yaitu) sabda beliau صلی
الله عليه وسلم:
لاَ
اعْتِكَافَ إِلاَّ فِيْ الـمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ
"Tidak
ada I'tikaf kecuali pada tiga masjid”.[10]
c. Dan
sunnahnya bagi orang-orang yang beritikaf (yaitu) hendaknya berpuasa
sebagaimana dalam (riwayat) Aisyah رضي الله عنها yang telah disebutkan.[11]
5.
Perkara-Perkara
yang Boleh Dilakukan Bagi Orang yang sedang I’tikaf
a.
Diperbolehkan
keluar dari masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepalanya dari masjid
untuk dicuci dan disisir (rambutnya). Aisyah رضي الله عنها berkata. "Dan
sesungguhnya Rasulullah صلی الله عليه وسلم pernah memasukkan kepalanya kepadaku, padahal beliau sedang
itikaf di masjid (dan aku berada di kamarku) kemudian aku sisir rambutnya
(dalam riwayat lain: aku cuci rambutnya) [dan antara aku dan beliau (ada)
sebuah pintu] (dan waktu itu aku sedang haid) dan adalah Rasulullah tidak masuk
ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang I'tikaf"
[12]
b.
Orang yang sedang
Itikaf dan yang yang lainnya diperbolehkan untuk berwudhu di masjid berdasarkan
ucapan salah seorang pembantu Nabi صلی
الله عليه وسلم: "Nabi صلی
الله عليه وسلم
berwudhu di dalam masjid dengan wudhu yang ringan" [Dikeluarkan oleh Ahmad
5/364 dengan sanad yang shahih]
c.
Dan diperbolehkan
bagi orang yang sedang I'tikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil pada bagian
di belakang masjid sebagai tempat dia beri'tikaf, karena Aisyah رضي
الله عنها (pernah) membuat
kemah (yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau tiga
tiang) apabila beliau beri'tikaf [13] dan hal ini atas perintah
Nabi صلی الله عليه وسلم.[14]
d.
Dan diperbolehkan
bagi orang yang sedang beritikaf untuk meletakkan kasur atau ranjangnya di
dalam tenda tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar رضى
الله عنهما bahwa Nabi صلی
الله عليه وسلم jika
i'tikaf dihamparkan kasur atau diletakkan untuknya ranjang di belakang tiang
At-Taubah.[15]
6.
I'tikafnya
Wanita Dan Kunjungannya Ke Masjid
a.
Diperbolehkan bagi
seorang isteri untuk mengunjungi suaminya yang berada di tempat i'tikaf, dan
suami diperbolehkan mengantar isteri sampai ke pintu masjid. Shafiyyah رضي
الله عنها berkata: "Dahulu Nabi صلی
الله عليه وسلم
(tatkala beliau sedang) i'tikaf [pada sepuluh (hari) terkahir di bulan
Ramadhan] aku datang mengunjungi pada malam hari [ketika itu di sisinya
ada beberapa isteri beliau sedang bergembira ria] maka aku pun berbincang
sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, [maka beliaupun berkata:
jangan engkau tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu] kemudian beliaupun
berdiri besamaku untuk mengantar aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu
rumah Usamah bin Zaid- [sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di
samping pintu Ummu Salamah] lewatlah dua orang laki-laki dari kalangan Anshar
dan ketika keduanya melihat Nabi صلی
الله عليه وسلم,
maka keduanyapun bergegas, kemudian Nabi-pun bersabda: "Tenanglah [16], ini adalah Shafiyah
binti Huyaiy", kemudian keduanya berkata: 'Subhanahallah (Maha Suci Allah)
ya Rasullullah". Beliaupun bersabda: "Sesungguhnya syaitan itu
menjalar (menggoda) anak Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku
khawatir akan bersarangnya kejelakan di hati kalian -atau kalian berkata
sesuatu"[17]
b.
Seorang wanita
boleh i'tikaf dengan didampingi suaminya ataupun sendirian. berdasarkan ucapan
Aisyah رضي
الله عنها : "Nabi صلی
الله عليه وسلم
i'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan
beliau, kemudian isteri-isteri beliau i'tikaf setelah itu". [Telah lewat
takhrijnya]
Berkata
Syaikh kami (yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani رحمه الله, -pent) :"Pada atsar tersebut ada suatu dalil yang
menunjukkan atas bolehnya wanita i'tikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu
dibatasi (dengan catatan) adanya izin dari wali-wali mereka dan aman dari
fitnah, berdasarkan dalil-dalil yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan
kaidah fiqhiyah:
دَرْءُ
الْـمَفَاسِدَ مُقَدَّمٌ عَلَي جَلْبِ الْـمَصَالِحِ
"Menolak
kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat"
LAILATUL
QADAR
Keutamaannya
sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur'an Al-Karim, yang
membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan
mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Umat Islam yang mengikuti sunnah
Rasulnya صلي الله
عليه وسلم tidak memasang
tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah serta gapura
untuk menyambut malam ini, akan tetapi mereka berloma-lomba untuk bangun di
malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.
Inilah
wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur'aniyah dan hadits-hadits nabawiyah yang
shahih menjelaskan tentang malam tersebut:
1. Keutamaan Lailatul Qadar
Cukuplah
untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui
bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah سبحانه و تعاليberfirman:
إِنَّا
أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ.
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ
وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ. سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ
الْفَجْرِ
"Sesungguhnya
Kami menurunkan Al-Qur'an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah
malam Lailatul Qadar itu ? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu
bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah
Tuhan mereka (untuk membawa) segala usrusan, selamatlah malam itu hingga terbit
fajar" [Al-Qadar : 1-5]
Dan
pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, Allah سبحانه و تعالي berfirman:
إِنَّا
أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ. فِيهَا
يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ. أَمْراً مِّنْ عِندِنَا إِنَّا كُنَّا
مُرْسِلِينَ. رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
"Sesungguhnya
Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah
yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh
hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui" [Ad-Dukhan : 3-6]
2. Waktunya
Diriwayatkan
dari Nabi صلی
الله عليه وسلم
bahwa malam tersebut terjadi pada tanggal malam 21,23,25,27,29 dan akhir malam
bulan Ramadhan.[18]
Imam
Syafi'i رحمه
الله berkata:
"Menurut pemahamanku. wallahu 'alam, Nabi صلی الله عليه وسلم menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada
beliau: "Apakah kami mencarinya di malam ini?", beliau menjawab:
"Carilah di malam tersebut" [Sebagaimana dinukil Al-Baghawi dalam
Syarhus Sunnah 6/386]
Pendapat
yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada malam terakhir bulan
Ramadhan berdasarkan hadits Aisyah رضي الله عنها, dia berkata Rasulullah صلی الله عليه وسلم beri'tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadhan dan beliau
bersabda: "Carilah malam Lailatul
Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan" [Hadits
Riwayat Bukhari 4/225 dan Muslim 1169]
Jika
seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh
hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, dia berkata: Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ
فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ
الْبَوَاقِي
"Carilah
di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh
hari sisanya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/221 dan Muslim 1165]
Ini
menafsirkan sabdanya:
أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ
فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ
"Aku
melihat bahwa mimpi kalian benar, oleh karena itu, barangsiapa yang mencarinya
carilah pada tujuh hari terakhir" [Lihat Maraji' tadi]
Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan
ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit رضي الله عنه, ia berkata: Rasulullah صلی الله عليه وسلم ke luar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat
berdebat, beliau bersabda: "Aku
keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada
dua orang berdebat hingga tidak bisa lagi diketahui kapannya; mungkin ini lebih
baik bagi kalian, carilah di malam 29. 27. 25 (dan dalam riwayat lain: tujuh,
sembilan dan lima)" [Hadits Riwayat Bukhari 4/232]
Peringatan:
Telah
banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh
hari terakhir, yang lainnya menegaskan, di malam ganjil sepuluh hari terakhir.
Hadits yang pertama sifatnya umum sedang hadits kedua adalah khusus, maka
riwayat yang khusus lebih diutamakan dari pada yang umum, dan telah banyak
hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh
hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah,
tidak ada masalah, dengan ini cocoklah hadits-hadits tersebut, tidak saling
bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisah.
Kesimpulannya.
Jika seorang muslim mencari malam lailatul Qadar carilah pada malam ganjil
sepuluh hari terakhir : 21, 23,25,27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu
mencari pada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari
terakhir yaitu 25,27 dan 29. Wallahu 'alam
3. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar!?
Sesungguhnya
malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya,
maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah
diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk
mendapatkannya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat
dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar
dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar, jika (telah)
berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu.
Rasulullah
صلی
الله عليه وسلم
bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ
إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
"Barang
siapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan
mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu" [Hadits Riwayat Bukhari 4/217 dan Muslim 759]
Disunnahkan
untuk memperbanyak do'a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah
Aisyah رضي
الله عنها, dia berkata:
"Aku bertanya, "Ya Rasulullah ! Apa pendapatmu jika aku tahu kapan
malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?" Beliau
menjawab, "Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ تُحِبُّ
الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
"Ya
Allah Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka
ampunilah aku" [19]
Saudaraku
-semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaati-Nya-
engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan
keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam
terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada
isterimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.
Dari
Aisyah رضي
الله عنها dia berkata:
"Adalah Rasulullah صلی
الله عليه وسلم,
apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau
mengencanngkan kainnya[20]
menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya" [Hadits Riwayat
Bukhari 4/233 dan Muslim 1174]
Juga
dari Aisyah berkata: "Adalah
Rasulullah صلی
الله عليه وسلم
bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir)
yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya" [Hadits Riwayat
Muslim 1174]
4. Tanda-Tandanya
Ketahuilah
hamba yang taat -mudah-mudahan Allah menguatkanmu dengan ruh dari-Nya dan
membantu dengan pertolongan-Nya- sesungguhnya Rasulullah صلی الله عليه وسلم menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim
mengetahuinya.
Dari
'Ubay رضي
الله عنه, ia berkata:
Rasulullah صلی
الله عليه وسلم
bersabda:
صَبِيحَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
تَطْلُعُ الشَّمءسُ لاَ شُعَاعَ لَهَا كَأَنَّهَا طَسْتٌ حَتَّي تَرْتَفِعَ
فَرَأَيْتُهُ
"Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari
terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi" [Hadits Riwayat
Muslim 762]
Dari
Abu Hurairah, ia berkata: Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah
صلی
الله عليه وسلم
beliau bersabda: "Siapa di antara
kalian yang ingat ketika terbit bulan seperti syiqi jafnah" [21]
Dan
dari Ibnu Abbas رضى
الله عنهما, ia berkata:
Rasulullah صلی
الله عليه وسلم
bersabda:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ
سَمْحَةٌ طَلِقَةٌ لاَحَارَّةٌ وَلاَ بَارِدَةٌ تُصْبِحُ السَّمْسُ صَبِيْحَتَهَا
ضَعِيْفَةً حَمْرَاءَ
"Lailatul Qadar adalah malam yang indah,
cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar
mataharinya melemah kemerah-merahan" [Tahayalisi 349, Ibnu Khuzaimah
3/231, Bazzar 1/486, sanadnya Hasan]
[1] Dengan
tanwin ('abdin) dan (alqoriyyi) dengan bertasydid -tanpa dimudhofkan- lihat
Al-Bab fi Tahdzib 3/6-7 karya Ibnul Atsir
[2] Berkelompok-kelompok
tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa' ibil ... dan seterusnya
[3] Perkataan
Umar رضي الله عنه ini adalah salah satu contoh bid’ah diartikan/ dilihat dari
segi bahasa, karena shalat tarawih tidaklah Bid’ah bila dilihat dari syariat/
agama karena telah jelas dalil pensyariatannya sebagaimana diuraikan pada
Hadits sebelumnya. Jadi perkataan Umar bukanlah dalil bolehnya Bid’ah dalam
Agama. Perhatikanlah!! Ibnu Majjah
[4] Dikeluarkan
oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz رحمه الله
berkata (Fath 4/54): “Demikianlah kenyataannya dengan keberadaannya yang lebih
tahu tentang Nabi صلی الله عليه وسلم pada malam
hari daripada orang lain”
[5] Pada
Terbitan Pustaka Imam Syafi’i disebutkan Jabir bin Abdullah. Ibnu Majjah
[6] Dikeluarkan
oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam As-Shagir halaman 108 dan
Ibnu Nasr (Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana syahidnya.
[7] Furu'
fajar: awalnya, permulaan fajar
[8] Dan
tambahan terperinci mengenai bantahan dari Syubhat ini, maka lihatlah : [a]
Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabun fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali
Hasan Abdul Hamid [b] Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi,
dengan ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar'Ammar.
[9] Yakni
"Janganlah kami mejimai mereka" pendapat tersebut merupakan pendapat
jumhur (ulama). Lihat Zaadul Masir 1/193 oleh Ibnul Jauzi
[10] Hadits
tersebut shahih, dishahihkan oleh para imam serta para ulama, dapat
dilihat takhrijnya serta pembicaraan hal ini pada kitab yang berjudul Al-Inshaf
fi Ahkamil I'tikaf oleh Ali Hasan Abdul Hamid. Untuk memperjelas
keterangan, silahkan lihat juga Juz-ul I’tikaf karya al-Hammami
[11] Dikeluarkan
oleh Abdur Razak di dalam Al-Mushannaf 8037 dan riwayat 8033 dengan
maknanya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.
[12] Hadits
Riwayat Bukhari 1/342 dan Muslim 297 dan lihat Mukhtashar Shahih Bukhari no.
167 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah dan Jami'ul Ushul 1/3452 oleh Ibnu
Asir
[13] Sebagaimana
dalam Shahih Bukhari 4/226
[14] Sebagaimana
dalam Shahih Muslim 1173
[15] Dikeluarkan
oleh Ibnu Majah 642-zawaidnya dan Al-Baihaqi, sebagaimana yang dikatakan oleh
Al-Bushiri dari dua jalan. Dan sanadnya Hasan
[16] Janganlah
kalian terburu-buru, ini bukanlah sesuatu yang kami benci.
[17] Dikeluarkan
oleh Bukhari 4/240 dan Muslim 2157 dan tambahan yang terkahir ada pada Abu
Dawud 7/142-143 di dalam Aunul Ma'bud
[18] Pendapat-pendapat
yang ada dalam masalah ini berbeda-neda, Imam Al-Iraqi telah mengarang satu
risalah khusus diberi judul Syarh Shadr Bidzikri Lailatul Qadar, membawakan
perkataan para ulama dalam masalah ini, lihatlah...
[19] Hadits Riwayat
Tirmidzi 3760, Ibnu Majah 3850 dari Aisyah, sanadnya Shahih. Lihat syarahnya
Bughyatul Insan fi Wadhaifi Ramadhan hal. 55-57 karya Ibnu Rajab Al-Hambali
[21] HR. Muslim 1170.
Perkataan: "Syiqi jafnah" syiq artinya setengah, jafnah artinya
bejana. Al-Qadhi 'Iyadh berkata : "Dalam hadits ini ada isyarat bahwa
malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti
demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan"