1.
Kilas Sejarah Seputar Pendirian NU
Ada
tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses
pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya
asal Jombang), Kiai
Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil
(Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme
Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut
Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai
Cholil sebagai penentu berdirinya.
Tentu
selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang
turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok
Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana
pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai
Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas
oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan
ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan
tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.
Keresahan
Kiai Hasyim
Bermula
dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah
Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan
jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki
jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan
para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk
mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus
dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari
kiai-kiai sepuh lainnya.
Pada
awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar
yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi
Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud
kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang
dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan
politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk
jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang
ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa
Timur.
Setelah
pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang
nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang
ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana
yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya
itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil
kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari
terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung
cucunya sendiri.
Tongkat
“Musa”
“Saat
ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,”
titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima
tongkat itu.
“Setelah
memberikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai
Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Allah
berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini
adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk
kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman:
“Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba
ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah
ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan
kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang
tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu
sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”
Sebagai
bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keping uang logam
kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As’ad
segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil
untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.
Meski
sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping
uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai
kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk
dibelanjakan.
Sesampainya
di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut
ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai
Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud
kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan
menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.
Kiai
Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang
arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga
terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?”
Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat
Thaha ayat 17-23.
Setelah
mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim
menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab
beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses
untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu
hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk
mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya,
terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren
Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah
mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai
Nawawi Noerhasan.
Untuk
itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah
mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai
Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie.
Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud
kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang
menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula
langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai
Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam
masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para
anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.
Proses
dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir
pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun
waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun,
jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang
diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim.
Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang
nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.
Sampai
pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa
titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk
menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga
diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah
As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan
dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu
merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan
niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa
agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim
yang hendak menggagalkannya.
Qahhar
dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti
Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun)
dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang
mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh
siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan
untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak
sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim
untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil
meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum
berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang
ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah
para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta
Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai
Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat
lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang
telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai
Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim.
Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di
Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah
saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya
mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan
gambarnya.
Setelah
memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran
konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih
perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta
supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali
yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,”
papar Kiai Nawawie.
Bapak
Spiritual
Selain
memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU yaitu sebgai
penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran lagi, peran penting lain
yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu peran sebagai bapak
spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak
disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal Bangkalan ini sangat besar
sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul
(peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).
Dalam
ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil Bangkalan karena
ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat dlam
dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih.
Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang
berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para santrinya
dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak boleh
boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng
para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).
Kecenderungan
yang demikian itu bukannya tidak dimiliki oleh pendiri NU lainnya. Tokoh
lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang
pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun memiliki pandangan yang kritis
terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid
kesayangan dari Syaikh Mahfuzh at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama
Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah.
Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang mata rantai (isnad) yang sah dalam
transmisi intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari.
Karena
itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang
berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah seorang muridnya yang mendapat
ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah Kiai Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim
pada pengajaran kitab hadits Shahih Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil
Bangkalan. Di usia senjanya, gurunya itu sering nyantri pasaran (mengaji selama
bulan puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil terhadap
derajat keilmuan dan integritas Kiai Hasyim.
Sebagai
ulama yang otoritatif dalam bidang hadits, Kiai Hasyim memiliki pandangan yang
kritis terhadap perkembangan aliran-aliran tarekat yang tidak memiliki dasar
ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya gejala-gejala penyimpangan tarekat dan
syariat di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, ia menulis kitab al Durar al
Muntasyirah fi Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk praktis agar
umat Islam berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat.
Selain
kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam memandang
kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah menyatakan kewalian seseorang tanpa
ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap
masalah ini, Kiai Hasyim memberikan pernyataan tegas:
“Barangsiapa
mengaku dirinya sebagai wali tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat
Rasulullah SAW, orang tersebut adalah pendusta yang membuat perkara tentang
Allah SWT.”
Lebih
tegas beliau menyatakan:
“Orang
yang mengaku dirinya wali Allah SWT, orang tersebut bukanlah wali yang
sesungguhnya melainkan hanya wali-walian yang jelas salah sebab dia mengatakan
sir al-khushusiyyah (rahasia-rahasia khusus) dan dia membuat kedustaan atas
Allah Ta’ala.”
Demikian
pula terhadap masalah haul. Selain Kiai Hasyim, para pendiri NU lainnya seperti
Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga bersikap kritis terhadap konsep haul
dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar, 2002). Akan tetapi di kalangan NU
sendiri, acara haul telah menjadi tradisi yang tetap dipertahankan sampai
sekarang. Para wali atau kiai yang meninggal dunia, setiap tahunnya oleh warga
nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian kegiatan seperti ziarah kubur,
tahlil dan ceramah agama untuk mengenang perjuangan mereka agar dapat dijadikan
teladan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Mengapa
masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang mendapat kritikan pedas dari
Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di kalangan NU? Apakah warga NU sudah
tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai Hasyim? Untuk memastikan jawabannya,
menurut Mujammil Qomar, agak sulit, mengingat NU bisa berkembang pesat juga
karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim.
Wallahu
a’lam.
2. Riwayat
Perjuangan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’
Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama’ Lahir
Setelah
kaum Wahabi melalui pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1925 berhasil
menguasai seluruh daerah Hejaz, maka mereka mengubah nama negeri Hejaz dengan
nama Saudi Arabia. Dengan dukungan sepenuhnya dari raja mereka yang pertama,
Ibnu Sa’ud, mereka mengadakan perombakan-perombakan secara radikal terhadap
tata cara kehidupan masyarakat. Tata kehidupan keagamaan, mereka sesuaikan
dengan tata cara yang dianut oleh golongan Wahabi, yang antara lain adalah
ingin melenyapkan semua batu nisan kuburan dan meratakannya dengan tanah.
Keadaan
tersebut sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang banyak bermukim di negeri
Hejaz, yang menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,dengan memilih salah satu
dari empat madzhab. Mereka sangat terkekang dan tidak mempunyai kebebasan lagi
dalam menjalankan ibadah sesuai dengan paham yang mereka anut. Hal ini dianggap
oleh bangsa Indonesia sebagai suatu persoalan yang besar.
Persoalan
tersebut oleh bangsa Indonesia tidak dianggap sebagai persoalan nasional bangsa
Arab saja, melainkan dianggap sebagai persoalan internasional, karena
menyangkut kepentingan ummat Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, para
tokoh ulama di Jawa Timur menganggap penting untuk membahas persoalan tersebut.
Dipelopori oleh alm. KH. Abdul Wahab Hasbullah dan almarhum hadlratus syaikh
KH. Hasyim Asy’ari, diadakanlah pertemuan di langgar H. Musa Kertopaten
Surabaya. Pada pertemuan tersebut dilahirkan satu organisasi yang diberi nama
Comite Hejaz, yang anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan para tokoh muda.
Semula
Comite Hejaz bermaksud akan mengirimkan utusan ke tanah Hejaz untuk menghadap
raja Ibnu Sa’ud. Akan tetapi oleh karena satu dan lain hal pengiriman utusan
ditangguhkan, dan sebagai gantinya hanya mengirimkan telegram kepada raja Ibnu
Sa’ud.
Pada
tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H, hari Kamis, di lawang Agung
Ampel Surabaya, diadakan pertemuan yang disponsori oleh Comite Hejaz sebagai
realisasi dari gagasan yang timbul pada pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan
ini, lahirlah organisasi baru yang diberi nama “JAM’IYYAH NAHDLATUL ULAMA”
dengan susunan pengurus HB (Hoof Bestuur) sebagai berikut:
Ra’is Akbar : Hadlratus Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari
Wakil Ra’is : KH. Said bin Shalih
Katib Awwal : KH. Abdul Wahab Hasbullah
Katib Tsani : Mas H. Alwi Abdul Aziz
Wakil Ra’is : KH. Said bin Shalih
Katib Awwal : KH. Abdul Wahab Hasbullah
Katib Tsani : Mas H. Alwi Abdul Aziz
Kehadiran
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ dimaksudkan sebagai suatu organisasi yang dapat
mempertahankan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dari segala macam intervensi
(serangan) golongan-golongan Islam di luar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di
Indonesia pada khususnya dan di seluruh dunia pada umumnya; dan bukan hanya
sekedar untuk menghadapi golongan Wahabi saja sebagaimana Comite Hejaz.
Disamping itu juga dimaksudkan sebaga organisasi yang mampu memberikan reaksi
terhadap tekanan-tekanan yang diberikan oleh Pemerintah Penjajah Belanda kepada
ummat Islam di Indonesia.
1926-1929
Setelah
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ lahir pada tanggal 31 Januari 1926 M, maka Comite
Hejaz dibubarkan. Sedangkan semua tugas Comite Hejaz yang belum dilaksanakan,
dilimpahkan seluruhnya kepada Jam’iyyah NU. Alhamdulillah, meskipun Jam’iyyah
NU baru saja lahir, ternyata telah mampu melaksanakan tugas-tugas yang berat;
baik tugas yang dilimpahkan oleh Comite Hejaz, maupun tugas yang diharapkan
oleh ummat Islam kepadanya. Tugas-tugas tersebut antara lain:
· Pada bulan Februari 1926 M. setelah berhasil
menyelenggarakan kongres Al Islam di Bandung yang dihadiri oleh tokoh-tokoh
organisasi Islam selain NU, seperti: PSII, Muhammadiyah dan lain-lainnya.
Diantara keputusan kongres tersebut adalah mengirimkan dua orang utusan, yaitu:
H.Umar Said Tjokroaminoto dari PSII dan KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah, ke
Muktamar Alam Islam yang diselenggarakan oleh raja Ibnu Saud (raja Saudi
Arabia) di Makkah. Disamping itu, Jam’iyyah NU juga mengirimkan utusan yang khusus
membawa amanat NU, yaitu: KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Ahmad Ghonaim Al
Misri. Alhamdulillah kedua utusan ini berhasil dengan baik. Kedua beliau ini
pulang dengan membawa surat dari raja Sa’ud ke Indonesia tertanggal 28 Dzul
Hijjah 1347 H./ 13 Juni 1928 M., nomor: 2082, yang isinya antara lain
menyatakan bahwa raja Ibnu Sa’ud menjanjikan akan membuat satu ketetapan yang
menjamin setiap ummat Islam untuk menjalankan Agama Islam menurut paham yang
dianutnya.
· Sesuai dengan yang diharapkan oleh bangsa
Indonesia, maka sejak lahir, Jam’iyyah NU telah berani memberikan reaksi secara
aktif terhadap rencana pemerintah Penjajah Belanda mengenai:
- Ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang isinya mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum yang dibawa Belanda dari Eropa.
- Pelimpahan pembagian waris ke Pengadilan Negeri (Nationale Raad) dengan menggunakan ketentuan hukum di luar Islam.
- Persoalan pajak rodi, yaitu pajak yang dikenakan kepada warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri.
- Dan lain-lainnya.
Walhasil,
meskipun NU tidak pernah menyatakan sebagai Partai Politik, namun yang
ditangani adalah soal-soal politik.
1929-1942
Pada
tanggal 5 September 1929 Jam’iyyah NU mengajukan Anggaran Dasar (Statuten) dan
Anggaran Rumah Tangga (Huishoudelijk Reglemen) yang telah disusun kepada
Pemerintah Hindia Belanda. Dan pada tanggal 6 Februari 1930 mendapat pengesahan
dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai organisasi resmi dengan nama:
“PERKUMPULAN NAHDLATUL ULAMA” untuk jangka waktu 29 tahun terhitung sejak
berdiri, yaitu: 31 Januari 1926.
Hoofbestuur
(Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama’ juga berusaha membuat lambang NU dengan jalan
meminta kepada para Kyai untuk melakukan istikharah. Dan ternyata Almarhum KH.
Ridlwan Abdullah, Bubutan Surabaya berhasil. Dalam mimpi, beliau melihat gambar
lambang itu secara lengkap seperti lambang yang sekarang; tanpa mengetahui
makna simbol-simbol yang terdapat dalam lambang tersebut satu-persatu.
Setelah
berdiri secara resmi, Nahdlatul Ulama’ mendapat sambutan dari seluruh
masyarakat Indonesia yang sebagian besar berhaluan salah satu dari madzhab
empat. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat, 4 sampai 5 bulan, sudah
terbentuk 35 cabang. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yang antara lain:
· Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ dipimpin oleh para
ulama’ yang menjadi guru dari para kyai yang tersebar di seluruh Nusantara,
khususnya Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
· Kesadaran ummat Islam Indonesia akan
keperluan organisasi Islam sebagai tempat menyalurkan aspirasi dan sebagai
kekuatan sosial yang tangguh dalam menghadapi tantangan dari luar.
Sebagai
organisasi sosial yang harus menangani semua kepentingan masyarakat, Nahdlatul
Ulama’ memandang sangat perlu untuk membentuk kader-kader yang terdiri dari generasi
muda yang sanggup melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh NU.
Untuk itu, pada tanggal 12 Februari 1938, atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim
selaku konsul Jawa Timur, diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang
menelorkan keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan
madrasah-madrasah, disamping sistem pendidikan pondok pesantren.
Madrasah-madrasah yang didirikan itu terdiri dari dua macam, yaitu:
* Madrasah Umum, yang terdiri dari:
o Madrasah Awwaliyah, dengan masa belajar 2 tahun.
o Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Mu’allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.
o Madrasah Mu’allimin ‘Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Mu’allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.
o Madrasah Mu’allimin ‘Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.
* Madrasah Kejuruan
(Ikhtishashiyyah), yang terdiri dari:
o Madrasah Qudlat (Hukum).
o Madrasah Tijarah (Dagang).
o Madrasah Nijarah (Pertukangan).
o Madrasah Zira’ah (Pertanian).
o Madrasah Fuqara’ (untuk orang-orang fakir).
o Madrasah Khusus.
o Madrasah Tijarah (Dagang).
o Madrasah Nijarah (Pertukangan).
o Madrasah Zira’ah (Pertanian).
o Madrasah Fuqara’ (untuk orang-orang fakir).
o Madrasah Khusus.
Kelahiran
Al Majlis Al Islamiy Al A’la (MIAI)
Pada
masa penjajahan Belanda, ummat Islam Indonesia selalu mendapat tekanan-tekanan
dari pemerintah penjajah Belanda, disamping penghinaan-penghinaan yang
dilakukan oleh golongan di luar Islam kepada agama Islam, Al Qur’an dan Nabi
Besar Muhammad saw.. Untuk menghadapi hal tersebut, maka Nahdlatul Ulama’
memandang perlu untuk mempersatukan seluruh potensi ummat Islam di Indonesia.
Pada
tahun 1937 Nahdlatul Ulama’ telah memelopori persatuan ummat Islam di seluruh
Indonesia dengan membidani kelahiran dari Al Majlis al Islamiy al A’la
Indonesia (MIAI), dengan susunan dewan sebagai berikut:
Ketua Dewan : KH. Abdul Wahid Hasyim, dari NU
Wakil Ketua Dewan : W. Wondoamiseno, dari PSII
Sekretaris (ketua) : H. Fakih Usman, dari Muhammadiyah
Penulis : S.A. Bahresy, dari PAI
Bendahara : 1. S. Umar Hubeis, dari Al Irsyad,
2. K.H. Mas Mansur, dari Muhammadiyah
3. Dr. Sukiman, dari PII
Adapun
tujuan perjuangan yang akan dicapai oleh MIAI antara lain sebagai berikut:
·
Menggabungkan
segala perhimpunan ummat Islam Indonesia untuk bekerja bersama-sama.
·
Berusaha
mengadakan perdamaian apabila timbul pertikaian di antara golongan ummat Islam
Indonesia, baik yang telah tergabung dalam MIAI maupun belum.
·
Merapatkan
hubungan antara ummat Islam Indonesia dengan ummat Islam di luar negeri.
·
Berdaya
upaya untuk keselamatan agama Islam dan ummatnya.
·
Membangun
Konggres Muslimin Indonesia (KMI) sesuai dengan pasal 1 Anggaran Dasar MIAI.
1942-1952
; Kelahiran Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI)
Pada
masa penjajahan Jepang, MIAI masih diberi hak hidup oleh Pemerintah Penjajah
Jepang. Malah suara MIAI tetap diijinkan untuk terbit selama isinya mengenai
hal-hal berikut:
- Menyadarkan rakyat atas keimanan yang sebenar-benarnya dan berusaha dengan sekuat tenaga bagi kemakmuran bersama.
- Penerangan-penerangan dan tafsir Al Qur’an.
- Khutbah-khutbah dan pidato-pidato keagamaan yang penting dari para ulama’ atau kyai yang terkenal.
- Memberi keterangan kepada rakyat, bagaimana daya upaya Dai Nippon yang sesungguhnya untuk membangunkan Asia Timur Raya.
- Memperkenalkan kebudayaan Dai Nippon dengan jalan berangsur-angsur.
Akan
tetapi setelah Letnan Jendral Okazaki selaku Gunseikan pada tanggal 7 Desember
1942 berpidato di hadapan para ulama’ dari seluruh Indonesia yang dipanggil ke
istana Gambir Jakarta, yang isinya antara lain: Akan memberikan kedudukan yang
baik kepada pemuda-pemuda yang telah dididik secara agama, tanpa
membeda-bedakan dengan golongan lain asal saja memiliki kecakapan yang cukup
dengan jabatan yang akan dipegangnya, maka sekali lagi Nahdlatul Ulama’ tampil
ke depan untuk memelopori kalahiran dari Majlis Syura Muslimin Indonesia
(MASYUMI) sebagai organisasi yang dianggap mampu membereskan segala macam
persoalan kemasyarakatan; baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat
politik, agar keinginan untuk menuju Indonesia Merdeka, bebas dari segala macam
penjajahan segera dapat dilaksanakan. Dan setelah Masyumi lahir, maka MIAI pun
dibubarkan.
Pembentukan
laskar rakyat
Pemerintah
Penjajah Jepang memang mempunyai taktik yang lain dengan Penjajah Belanda
terhadap para ulama’ di Indonesia. Dari informasi yang diberikan oleh para
senior yang dikirim oleh pemerintah Jepang ke Indonesia jauh sebelum masuk ke
Indonesia (mereka menyamar sebagai pedagang kelontong dan lain sebagainya yang
keluar masuk kampung), penjajah Jepang telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia
yang mayoritas beragama Islam serta menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,
semuanya ta’at, patuh dan tunduk kepada komando yang diberikan oleh para
ulama’.
Oleh
karena itu, penjajah Jepang ingin merangkul para ulama’ untuk memukul bangsa
Indonesia sendiri. Itulah sebabnya, maka dengan berbagai macam dalih dan
alasan, penjajah Jepang meminta kepada para ulama’ agar memerintahkan kepada
para pemuda untuk memasuki dinas militer, seperti Peta, Heiho dan lain
sebagainya.
Sedang
Nahdlatul Ulama’ sendiri mempunyai maksud lain, yaitu bahwa untuk mencapai
kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan, mutlak diperlukan
pemuda-pemuda yang terampil mempergunakan senjata dan berperang. Untuk itu
Nahdlatul Ulama’ berusaha memasukkan pemuda-pemuda Ansor dalam dinas Peta dan
Hisbullah. Sedangkan untuk kalangan kaum tua, Nahdlatul Ulama’ tidak melupakan
untuk membentuk Barisan Sabilillah dengan KH. Masykur sebagai panglimanya;
meskipun sebenarnya selama penjajahan Jepang NU telah dibubarkan. Jadi peran
aktif NU selama penjajahan Jepang adalah menggunakan wadah MIAI dan kemudian
MASYUMI.
Masyumi
menjelma sebagai Partai Politik
Setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia, Nahdlatul Ulama’ yang dibubarkan oleh
penjajah Jepang bangkit kembali dan mengajak kepada seluruh ummat Islam
Indonesia untuk membela dan mempertahankan tanah air yang baru saja merdeka
dari serangan kaum penjajah yang ingin merebut kembali dan merampas kemerdekaan
Indonesia.
Rais
Akbar dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’, Hadlratus Syaikh KH. Hasyim
Asy’ari, mengeluarkana fatwa bahwa mempertahankan dan membela kemerdekaan
Indonesia adalah wajib hukumnya.
Seruan
dan ajakan NU serta fatwa dari Rais Akbar ini mendapat tanggapan yang positif
dari ummat Islam; dan bahkan berhasil menyentuh hati nurani arek-arek Surabaya,
sehingga mereka tidak mau ketinggalan untuk memberikan andil yang tidak kecil
artinya dalam peristiwa 10 November ’45
Pengurus
Besar NU hampir sebulan lamanya mencari jalan keluar untuk menanggulangi bahaya
yang mengancam dari fihak penjajah yang akan menyengkeramkan kembali kuku-kuku
penjajahannya di Indonesia.
Kelambanan
NU dalam hal tersebut disebabkan karena pada masa penjajahan Jepang NU hanya
membatasi diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersifat agamis,sedang hal-hal
yang menyangkut perjuangan kemerdekaan atau berkaitan dengan urusan
pemerintahan selalu disalurkan dengan nama Masyumi.
Atas
prakarsa Masyumi, di bawah pimpinan KH. Abdul Wahid Hasyim, maka Masyumi yang
pada masa penjajahan Jepang merupakan federasi dari organisasi-organisasi
Islam, mengadakan konggresnya di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Pada
konggres tersebut telah disetujui dengan suara bulat untuk meningkatkan Masyumi
dari Badan Federasi menjadi satu-satunya Partai Politik Islam di Indonesia
dengan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ sebagai tulang punggungnya. Adapun susunan
Dewan Pimpinan Partai Masyumi secara lengkap adalah sebagai berikut:
Majlis Syura (Dewan Partai)
Ketua Umum : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
Ketua Muda I : Ki Bagus Hadikusuma
Ketua Muda II : KH. Abdul Wahid Hasyim
Ketua Muda III : Mr. Kasman Singodimejo
Anggota : 1. RHM. Adnan.
Ketua Umum : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
Ketua Muda I : Ki Bagus Hadikusuma
Ketua Muda II : KH. Abdul Wahid Hasyim
Ketua Muda III : Mr. Kasman Singodimejo
Anggota : 1. RHM. Adnan.
2. H. Agus Salim.
3. KH. Abdul Wahab Hasbullah.
4. KH. Abdul Halim.
5. KH. Sanusi.
6. Syekh Jamil Jambek
3. KH. Abdul Wahab Hasbullah.
4. KH. Abdul Halim.
5. KH. Sanusi.
6. Syekh Jamil Jambek
Pengurus Besar
Ketua : Dr. Sukirman
Ketua Muda I : Abi Kusno Tjokrosuyono
Ketua Muda II : Wali Al Fatah
Sekretaris I : Harsono Tjokreoaminoto
Sekretaris II : Prawoto Mangkusasmito
Bendahara : Mr. R.A. Kasmat
Ketua Muda I : Abi Kusno Tjokrosuyono
Ketua Muda II : Wali Al Fatah
Sekretaris I : Harsono Tjokreoaminoto
Sekretaris II : Prawoto Mangkusasmito
Bendahara : Mr. R.A. Kasmat
Nahdlatul
Ulama Memisahkan Diri Dari Masyumi
Perpecahan
yang terjadi dalam tubuh Partai Masyumi benar-benar di luar keinginan Nahdlatul
Ulama’. Sebab Nahdlatul Ulama’ selalu menyadari betapa pentingnya arti
persatuan ummat Islam untuk mencapai cita-citanya. Itulah yang mendorong
Nahdlatul Ulama’ yang dimotori oleh KH.Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikan
MIAI, MASYUMI, dan akhirnya mengorbitkannya menjadi Partai Politik. Bahkan
Nahdlatul Ulama’ adalah modal pokok bagi existensi Masyumi, telah dibuktikan
oleh Nahdlatul Ulama’ pada konggresnya di Purwokerto yang memerintahkan semua
warga NU untuk beramai-ramai menjadi anggauta Masyumi. Bahkan pemuda-pemuda
Islam yang tergabung dalam Ansor Nahdlatul Ulama’ juga diperintahkan untuk
terjun secara aktif dalam GPII (Gabungan Pemuda Islam Indonesia).
Akan
tetapi apa yang hendak dikata, beberapa oknum dalam Partai Masyumi berusaha
dengan sekuat tenaga untuk menendang NU keluar dari Masyumi. Mereka beranggapan
bahwa Majlis Syura yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam Masyumi sangat
menyulitkan gerak langkah mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang
bersifat politis. Apalagi segala sesuatu persoalan harus diketahui / disetujui
oleh Majlis Syura, mereka rasakan sangat menghambat kecepatan untuk bertindak.
Dan mereka tidak mempunyai kebebasan untuk menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan politik. Akhirnya ketegangan hubungan antara ulama’/kyai dengan
golongan intelek yang dianggap sebagai para petualang yang berkedok agama
semakin parah. Karena keadaan semacam itu, maka para pemimpin PSII sudah tidak
dapat menahan diri lagi. Mereka mengundurkan diri dari Masyumi dan aktif
kembali pada organisasinya; sampai kemudian PSII menjadi partai.
Pengunduran
diri PSII tersebut oleh pemimpin-pemimpin Masyumi masih dianggap biasa saja.
Bahkan pada muktamar Partai Masyumi ke-IV di Yogyakarta yang berlangsung pada
tanggal 15 – 19 Desember 1949, telah diputuskan perubahan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga. Majlis Syura yang semula menjadi dewan yang tertinggi
diubah menjadi Penasihat yang tidak mempunyai hak veto; dan nasihatnya sendiri
tidak harus dilaksanakan.
Sikap
Masyumi yang telah merendahkan derajat para ulama’ tersebut dapat ditolelir
oleh warga Nahdlatul Ulama’. Namun PBNU masih berusaha keras untuk
memperhatikan persatuan ummat Islam. Nahdlatul Ulama’ meminta kepada
pimpinan-pimpinan Masyumi agar organisasi ini dikembalikan menjadi Federasi
Organisasi-Organisasi Islam, sehingga tidak menyampuri urusan rumah tangga dari
masing-masing organisasi yang bergabung di dalamnya. Namun permintaan ini tidak
digubris, sehingga memaksa Nahdlatul Ulama’ untuk mengambil keputusan pada
muktamar NU di Palembang, tanggal: 28 April s/d 1 Mei 1952 untuk keluar dari
Masyumi, berdiri sendiri dan menjadi Partai.
Nahdlatul Ulama’ membentuk Liga Muslimin
Setelah
Nahdlatul Ulama’ keluar dari Masyumi, Jam’iyyah NU yang sudah menjadi Partai
Politik ternyata masih gandrung pada persatuan ummat Islam Indonesia. Untuk itu
Nahdlatul Ulama’ mengadakan kontak dengan PSII dan PERTI membentuk sebuah badan
yang berbentuk federasi dengan tujuan untuk membentuk masyarakat Islamiyah yang
sesuai dengan hukum-hukum Allah dan sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini
mendapat tanggapan yang positif dari PSII dan PERTI, sehingga pada tanggal 30
Agustus 1952 diakan pertemuan yang mengambil tempat di gedung Parlemen RI di
Jakarta, lahirlah Liga Muslimin Indonesia yang anggautanya terdiri dari
Nahdlatul Ulama’, PSII, PERTI dan Darud Dakwah Wal Irsyad.
Dekade
1965
Selama
Nahdlatul Ulama’ menjadi Partai Islam, dalam gerak langkah nya mengalami pasang
naik dan juga ada surutnya. Saat kabut hitam melingkupi awan putih wilayah
nusantara pada tanggal 30 September 1965, kepeloporan Nahdlatul Ulama’ muncul
dan mampu mengimbangi kekuatan anti Tuhan yang menamakan dirinya PKI (Partai
Komunis Indonesia). Sikap Nahdlatul Ulama’ pada saat itu betul-betul sempat
membuat kejutan pada organisasi-organisasi selain NU.
Keberhasilan
Nahdlatul Ulama’ dalam menumbangkan PKI dapat diakui oleh semua fihak. Dan hal
ini menambah kepercayaan Pemerintah terhadap Nahdlatul Ulama’. Nahdlatul Ulama’
sebagai Partai Politik sudah membuat kagum dan dikenal serta disegani oleh
setiap orang di kawasan Indonesia, bahkan oleh dunia internasional. Apalagi
mampu menumbangkan dan menumpas pemberontakan Partai Komunis yang belum pernah
dapat ditumpas oleh negara yang manapun di seluruh dunia. Sehingga dengan
demikian, Nahdlatul Ulama’ dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan yang
sangat komplek dengan berbagai tetek-bengeknya. Namun Nahdlatul Ulama’ sendiri
dalam hal rencana perjuangannya yang terperinci, mengalami pembauran
kepentingan partai dengan kepentingan pribadi dari para pimpinannya. Oleh sebab
itu, pada sekitar tahun 1967, Nahdlatul Ulama’ yang sudah berada di puncak
mulai menurun. Hal ini disebabkan antara lain oleh pergeseran tata-nilai,
munculnya tokoh-tokoh baru, ketiadaan generasi penerus dan lain sebagainya.
Pergeseran
tata-nilai ini terjadi di saat Nahdlatul Ulama’ menghadapi Pemilihan Umum tahun
1955. Nahdlatul Ulama’ harus mempunyai anggauta secara realita, terdaftar dan
bertanda anggauta secara pasti. Demi pengumpulan suara, maka apa-apa yang
menjadi tujuan Nahdlatul Ulama’, kini dijadikan nomor dua. Partai Nahdlatul
Ulama’ membutuhkan anggauta sebanyak-banyaknya, sekalipun mereka bukan penganut
aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Akibat dari pergeseran nilai inilah yang
membuat kabur antara tujuan, alat dan sarana. Sebagai Partai Politik yang
militan, Nahdaltul Ulama’ harus berusaha agar dapat merebut kursi Dewan
Perwakilan Rakyat sebanyak mungkin; demikian pula halnya jabatan-jabatan
sebagai menteri. Hal itu dimaksudkan sebagai alat untuk dapat melaksanakan
program dalam mencapai tujuan partai. Akan tetapi karena pengaruh lingkungan
dan juga karena pergeseran nilai, maka jabatan-jabatan yang semula dimaksudkan
sebagai alat yang harus dicapai dan dimiliki, kemudian berubah menjadi tujuan.
Dan hal ini sangat berpengaruh bagi kemajuan dan kemunduran partai dalam
mencapai tujuan.
Pada
sekitar tahun 1967/1968, Nahdlatul Ulama’ mencapai puncak keberhasilan. Akan
tetapi sayang sekali, justeru pada saat itu ciri khas Nahdlatul Ulama telah
menjadi kabur. Pondok Pesantren yang semula menjadi benteng terakhir Nahdlatul
Ulama’ sudah mulai terkena erosi, sebagai akibat perhatian Nahdlatul Ulama’
yang terlalu dicurahkan dalam masalah-masalah politik.
Penyederhanaan
Partai-Partai
Pada
pemilu tahun 1971, Nahdlatul Ulama’ keluar sebagai pemenang nomor dua. Hal
tersebut membawa anggapan baru bagi masyarakat umum bahwa sebenarnya
kepengurusan Nahdlatul Ulama’ adalah sebagai hal yang luar biasa; sementara di
pihak lain terdapat dua partai yang tidak mendapatkan kursi sama sekali, yaitu
Partai MURBA dan IPKI, yang berarti aspirasi politiknya terwakili oleh kelompok
lain. Dari sinilah timbul gagasan untuk menyederhanakan partai-partai politik.
Kehendak
menyederhanakan partai-partai politik tersebut, datangnya memang bukan dari
Nahdlatul Ulama’. Akan tetapi Nahdlatul Ulama’ menyambut dengan gembira. Dan
dalam penyederhanaan tersebut Nahdlatul Ulama’ tidak membentuk federasi, akan
tetapi melakukan fusi. Namun demikian, ganjalan pun terjadi, karena memang
masing-masing pihak yang berfusi mempunyai tata-nilai sendiri-sendiri.
Bagaimanakah
kenyataannya?
Kehidupan
politik yang ditentukan oleh golongan elit telah menyeret para pemimpin dan
tokoh-tokoh Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ ke dalam kehidupan elit. Padahal
kehidupan elit semacam ini tidak terdapat dalam tubuh Nahdlatul Ulama’.
Sehingga kehidupan elit ini sebagai barang baru yang berkembang biak dan hidup
subur di kalangan Nahdlatul Ulama’. Maka timbullah pola pemikiran baru yang
mengarah kepada kehidupan individualis, agar tidak tergeser dari rel yang
menuju kepada kehidupan elit. Dari fusi inilah rupa-rupanya yang membuat parah
kondisi yang asli dari Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ sejak mula pertama didirikan
sebagai jam’iyyah.
Nahdlatul
Ulama’ Kembali Kepada Khittah An Nahdliyah
Selama
Nahdlatul Ulama’ berfusi dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
tata-nilai semakin berjurang lebar; sementara dalam tubuh Nahdlatul Ulama’
sendiri terdapat banyak ketimpangan dan kesimpang-siuran. Dalam kurun waktu
yang lama, secara tidak disadari, Nahdlatul Ulama’ telah menjadi kurang peka
dalam menanggapi dan mengantisipasi perkembangan keadaan, khususnya yang
menyangkuat kepentingan ummat dan bangsa. Salah satu sebabnya adalah
ketelibatan Nahdlatul Ulama’ secara berlebihan dalam kegiatan politik praktis;
yang pada gilirannya telah menjadikan Nahdlatul Ulama’ tidak lagi berjalan sesuai
dengan maksud kelahirannya, sebagai jam’iyyah yang ingin berkhidmat secara
nyata kepada agama, bangsa dan negara. Bahkan hal tersebut telah mengaburkan
hakekat Nahdlatul Ulama’ sebagai gerakan yang dilakukan oleh para ulama’. Tidak
hanya sekedar itu saja yang sangat menyulitkan Nahdlatul Ulama’ dalam kancah
politik selama berfusi dalam PPP; akan tetapi silang pendapat di kalangan NU
sendiri semakin tajam, sehingga sempat bermunculan berbagai hepothesa tentang
bagaimana dan siapa sebenarnya Nahdlatul Ulama’.
Dari
kejadian demi kejadian dan bertolak dari keadaan tersebut, maka sangat
dirasakan agar Nahdlatul Ulama’ secepatnya mengembalikan citranya yang sesuai
dengan khittah Nahdlatul Ulama’ tahun 1926. Hal ini berarti bahwa Nahdlatul
Ulama’ harus melepaskan diri dari kegiatan politik praktis secara formal,
seperti yang telah diputuskan dalam Musyawarah Alim Ulama’ Nahdlatul Ulama’
(Munas NU) di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo Jawa
Timur tahun 1982.
3. KH. A.Wahid Hasyim : Jalan Juang Ulama Muda
Nama besar KH. A. Wahid Hasyim (1 Juni 1914 – 19
April 1953) tidak hanya diakui oleh kalangan nahdliyyin, tapi juga oleh
kalangan pendidikan, politikus dan kelompok nasionalis di negeri ini. Wafat di
usia masih muda (39 tahun) tetapi telah memberikan karya yang luar biasa bagi
bangsa dan negara.
KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi yang cerdas dan
lihai dalam berpidato.Terutama sekali karena pidatonya selalu didukung dan
dilengkapi dengan tema-tema yang disitir dari salah berbagai buku. Tentu tiada
kesulitan bagi KH A. Wahid Hasyim untuk mencari referensi, karena KH A. Wahid
Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan Inggris sebagai kunci utama dalam
penguasaan buku-buku ilmiah saat itu.
Semenjak tahun 1939 (Usia 25 tahun) KH. A Wahid
Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia),
sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah, PSII, PII, Al-Irsyad, Persis.
Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A.Wahid Hasyim juga kemudian duduk pula
dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat Indonesia), sebuah proyek
perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia).
Para anggota MIAI adalah tokoh-tokoh top
Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr.Sukiman, Wondoamiseno, KH Mas Mansur,
KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar Habaisy, Muhammad Natsir, dan lain-lain.
Kedudukan Ketua MIAI ini dengan sendirinya menempatkan KH A.Wahid Hasyim
sebagai pejuang politik menghadapi penjajahan.
Akan tetapi tatkala zaman pendudukan Jepang,
kelompok MIAI bubar. Kemudian atas prakarsa KH A. Wahid Hasyim MIAI menjelma
menjadi ”Majelis Syuro Muslimin Indonesia” (Masyumi). Melalui Masyumi ini,
terbentukalah badan Pusat latihan Hizbullah di Cibarusa, dekat Cibinong Bogor,
Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan penerbitan Majalah ”Suara Muslimin” yang
mula-mula dipimpin oleh KH Saifuddin Zuhri dan kemudian beralih ke tangan
Harsono Cokroaminoto.
0
Selama zaman kependudukan Jepang KH A. Wahid
Hasyim merupakan tokoh sentral di kalangan Umat Islam. KH A. Wahid Hasyim juga
menjabat sebagai anggota Chuuo Sangi In yakni semacam DPR ala Jepang. Dengan
jabatan tersebut KH A. Wahid Hasyim dapat menyakinkan tentara Jepang untuk
mendirikan sebuah badan yang menghimpun kalangan ulama. Maka terbentuklah Badan
yang bernama Shumubu, yaitu Badan Urusan Agama Islam yang susunannya terdiri
dari: KH. Hasyim Asy’ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir selaku Wakil
Ketua dan KH A. Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua.
Oleh karena KH Hasyim Asy’ari tidak dapat aktif
karena memangku Pesantren Tebuireng, maka jabatan ketua sehari-hari dipegang
oleh KH A. Wahid Hasyim. Badan inilah yang menjelma menjadi Departemen Agama
(setelah proklamasi 17 Agustus 1945) Taktik politik yang dijalani KH A Wahid
Hasyim di zaman Jepang ialah, mengambil unsur kekuasaan Jepang yang Positif
bagi perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. ”Kerja sama” dengan Jepang
(pada tingkatan pertama) dipandang perlu sebab bangsa Indonesia yang tidak
mempunyai kekuatan politik (kekuasaan ) di zaman Belanda tidak akan sanggup menghadapi
kekuatan Militer Jepang yang tengah berada di puncak kemenangan.
Kezaliman-kezaliman pemerintahan Jepang kepada bangsa Indonesia, oleh KH A.
Wahid Hasyim, dijadikan pupuk keyakinan bagi rakyat, bahwa sesuai dengan
Al-Qur’an segalayang batil pasti akan sirna, kezaliman tak pernah mengalami
kemenangan yang panjang.
Masa perang kemerdekaan antara tahun 1945-1950
menyebabkan KH A. Wahid Hasyim menyibukakan diri dalam gejolak revolusi.
Meskipun sebagian besar waktunya dicurahkan kepada soal politik dan pertahanan,
seperti dua kali menghadapi agresi Belanda atas Republik Indonesia dan kemelut
politik yang penuh pertentangan di masyarakat, namun KH A.Wahid Hasyim tetap
menjalin hubungan erat dengan para ulama dan dunia pesantren.
Wafat dalam usia belum genap 40 tahun menyebabkan
dunia Ulama dan Pesantren menjerit dan meratap. Kaum politik dan masyarakat
baik tua maupun muda merasa kehilangan yang besar. Yang patah akan tumbuh akan
tetapi bukan lagi A. Wahid Hasyim. Abdul Wahid hasyim hanya ada satu dalam sejarah
ummat manuasia. Namun sekalipun sudah wafat, namanya harum tidak pernah akan
mati.
Wallahu
A’lam