Kata “asma” adalah bentuk jama dari kata “ismun”, yang artinya
‘nama’. “Asma Allah” berarti ‘nama-nama Allah’. Asma’ul husna berarti
nama-nama yang baik dan terpuji. Sehingga istilah “asma’ul husna” bagi
Allah maksudnya adalah nama-nama yang indah, baik dan terpuji yang
menjadi milik Allah. Misalnya: Ar Rahman, Ar Rahim, Al Malik, Al Ghafur,
dan lain-lain.
Sedangkan kata “sifat” dalam bahasa Arab berbeda dengan “sifat” dalam
bahasa indonesia. Kata “sifat” dalam bahasa arab mencakup segala
informasi yang melekat pada suatu yang wujud. Sehingga “sifat bagi
benda” dalam bahasa arab mencakup sifat benda itu sendiri, seperti
besar kecilnya, tinggi rendahnya, warnanya, keelokannya, dan lain-lain.
Juga mencakup apa yang dilakukannya, apa saja yang dimilikinya,
keadaan, gerakan, dan informasi lainnya yang ada pada benda tersebut.
Dengan demikian, kata “sifat Allah” mencakup perbuatannya,
kekuasaannya, apa saja yang ada pada Dzat Allah, dan segala informasi
tentang Allah. Karena itu, sering kita dengar ungkapan ulama, bahwa
diantara sifat Allah adalah Allah memiliki tangan yang sesuai dengan
keagungan dan kebesaran-Nya, Allah memiliki kaki yang sesuai dengan
keagungan dan kebesaran-Nya, Allah turun ke langit dunia, Allah
bersemayam di Arsy, Allah tertawa, Allah murka, Allah berbicara, dan
lain-lain. Dan sekali lagi, sifat Allah tidak hanya berhubungan dengan
kemurahan-Nya, keindahan-Nya, keagungan-Nya, dan lain-lain.
Secara istilah syariat, tauhid
asma dan sifat adalah pengakuan seorang hamba tentang nama dan sifat
Allah, yang telah Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam kitab-Nya ataupun
dalam sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa melakukan
empat hal berikut:
1. Tahrif (menyimpangkan makna)
yaitu mengubah atau mengganti makna yang ada pada nama dan sifat Allah, tanpa dalil.
Misalnya: Sifat Allah marah, diganti maknanya menjadi keinginan untuk menghukum, sifat Allah istiwa (bersemayam), diselewengkan menjadi istaula (menguasai), Tangan Allah, disimpangkan maknanya menjadi kekuasaan dan nikmat Allah.
yaitu mengubah atau mengganti makna yang ada pada nama dan sifat Allah, tanpa dalil.
Misalnya: Sifat Allah marah, diganti maknanya menjadi keinginan untuk menghukum, sifat Allah istiwa (bersemayam), diselewengkan menjadi istaula (menguasai), Tangan Allah, disimpangkan maknanya menjadi kekuasaan dan nikmat Allah.
2. Ta’thil (menolak)
Yaitu menolak penetapan nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam dalil. Baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian.
Yaitu menolak penetapan nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam dalil. Baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian.
Contoh menolak secara keseluruhan adalah sikap sekte Jahmiyah, yang
tidak mau menetapkan nama maupun sifat untuk Allah. Mereka menganggap
bahwa siapa yang menetapkan nama dan sifat untuk Allah berarti dia
musyrik.
Contok menolak sebagian adalah sikap yang dilakukan sekte Asy’ariyah
atau Asya’irah, yang membatasi sifat Allah hanya bebeberapa sifat saja
dan menolak sifat lainnya. Atau menetapkan sebagian nama Allah dan
menolak nama lainnya.
3. Takyif (membahas bagaimana bentuk dan hakikat nama dan sifat Allah)
yaitu menggambarkan bagaimanakah hakikat sifat dan nama yang dimiliki oleh Allah. Misalnya, Tangan Allah, digambarkan bentuknya bulat, panjangnya sekian, ada ruasnnya, dan lain-lain. Kita hanya wajib mengimani, namun dilarang untuk menggambarkannya.
yaitu menggambarkan bagaimanakah hakikat sifat dan nama yang dimiliki oleh Allah. Misalnya, Tangan Allah, digambarkan bentuknya bulat, panjangnya sekian, ada ruasnnya, dan lain-lain. Kita hanya wajib mengimani, namun dilarang untuk menggambarkannya.
Karena hal ini tidak mungkin dilakukan makhluk. Untuk mengetahui
bentuk dan hakikat sebuah sifat, hanya bisa diketahui dengan tiga hal:
a) Melihat zat tersebut secara langsung. Dan ini tidak mungkin kita lakukan, karena manusia di dunia tidak ada yang pernah melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
b) Ada sesuatu yang semisal zat tersebut, sehingga bisa dibandingkan. Dan ini juga tidak mungkin dilakukan untuk Dzat Allah, karena tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah. Maha Suci Allah dari hal ini.
c) Ada berita yang akurat (khabar shadiq) dan informasi tentang Dzat dan sifat Allah. Baik dari Al Qur’an maupun hadis. Karena itu, manusia yang paling tahu tentang Allah adalah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun demikian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menggambarkan bentuk dan hakikat sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Tamtsil (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya)
Misalnya, berkeyakinan bahwa tangan Allah sama dengan tangan budi, Allah bersemayam di ‘arsy seperti joki naik kuda. Mahasuci Allah dari adanya makhluk yang serupa dengan-Nya.
Allah berfirman,
Misalnya, berkeyakinan bahwa tangan Allah sama dengan tangan budi, Allah bersemayam di ‘arsy seperti joki naik kuda. Mahasuci Allah dari adanya makhluk yang serupa dengan-Nya.
Allah berfirman,
Ù„َÙŠْسَ ÙƒَÙ…ِØ«ْÙ„ِÙ‡ِ Ø´َÙŠْØ¡ٌ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ السَّÙ…ِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (Qs. Asy-Syuura: 11)
Kaidah Penting Terkait Nama dan Sifat Allah
Berikut beberapa kaidah penting yang ditetapkan oleh para ulama, terkait nama dan sifat Allah:
1. Mengimani segala nama dan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Alquran dan sunnah (hadits-hadits sahih).
Artinya, kita tidak membedakan dalam mengimani segala ayat yang ada
dalam Alquran, baik itu mengenai hukum, sifat-sifat Allah, berita,
ancaman dan lain sebagainya. Sehingga tidaklah tepat jika seseorang
kemudian hanya mengimani ayat-ayat hukum karena dapat dicerna oleh akal
sedangkan mengenai nama dan sifat Allah, harus diselewengkan maknanya
karena tidak sesuai dengan jangkauan akal mereka.
“… Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar
terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan
pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.
Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (Qs. Al-Baqarah: 85)
Begitu pula dalam mengimani hadits-hadits yang sahih dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya kita tidak membedakan apakah
itu hadits mutawatir ataupun hadits ahad, karena jika itu sahih dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia wajib diimani walaupun
akal kita tidak dapat memahaminya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Segera saja ada seorang yang duduk di atas sofanya lalu disampaikan
kepadanya sebuah hadits dariku baik sesuatu yang aku perintahkan atau
sesuatu yang aku larang maka ia berkata, ‘Kami tidak tahu, kami hanya
mengikuti apa yang kami dapatkan dalam kitab Allah.’” (HR. Abu Dawud dan
At Turmudzi, dinilai sahih oleh oleh Al Albani)
2. Menyucikan Allah dari menyerupai makhluk dalam segala sifat-sifat-Nya.
Ketika kita mengakui segala nama dan sifat yang Allah tetapkan,
seperti Allah maha melihat, Allah tertawa, betis Allah, tangan Allah,
maka kita tidak diperbolehkan menerupakan sifat-sifat tersebut dengan
sifat makhluk.
Sayangnya, hal inilah yang sering terjadi pada sekelompok orang, dan
hal ini pulalah yang memicu penyimpangan yang terjadi pada tauhid asma
wa shifat. Kesalahan yang berbuah kesalahan. Contohnya sebagai berikut:
Seseorang tidak ingin menyerupakan sifat Allah dengan makhluk
sehingga ia menyimpangkan (tahrif) sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi
diri-Nya karena menganggap jika ia menetapkan sifat tersebut maka ia
akan menyerupakan Allah dengan makhluk. Padahal tidak demikian. Allah
sendiri menyatakan dalam firman-Nya, yang artinya, “Tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan Allah, dan ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Hal ini disebabkan kesamaan dalam nama tidak berarti kesamaan dalam
bentuk dan sifat. Contohnya adalah kaki gajah dan semut. Mereka
sama-sama memiliki kaki, namun bentuk dan hakikat kaki tersebut tetaplah
berbeda.
Atau seseorang tidak ingin menyerupakan Allah dengan makhluk karena
khawatir akan menghinakan Allah sehingga ia menolak segala nama dan
sifat yang Allah tetapkan baik sebagian atau seluruhnya. Contohnya
adalah orang-orang yang menyatakan nama-nama Allah hanya ada 13. Padahal
apa yang mereka lakukan justru menghinakan Allah karena penetapan
mereka memiliki konsekuensi Allah memiliki sifat-sifat yang terbatas.
3. Menutup keinginan untuk mengetahui bentuk hakikat sifat-sifat Allah tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu bentuk
penyimpangan dalam tauhid asma wa shifat adalah menanyakan bagaimana
bentuk dan hakikat sifat-sifat Allah. Dan hal ini tidak mungkin dapat
kita ketahui karena Allah dan Rasul-Nya tidak menjelaskan hal tersebut.
Sebagai contoh, seseorang tidak dapat menanyakan kaifiat (bagaimananya)
sifat tertawa Allah, atau bentuk tangan Allah, atau bagaimanakah wajah
Allah.
Yang perlu kita imani adalah Allah memiliki sifat yang bermacam-macam
dan Allah maha sempurna dengan segala sifat yang dimiliki-Nya.Dan untuk
mengimani sesuatu tidaklah mengharuskan kita harus mengetahui hakikat
zat tersebut. Sebagai contoh, kita meyakini adanya roh (nyawa) walaupun
kita tidak pernah mengetahi bentuk dan hakikat dari roh tersebut.
Padahal roh adalah sesuatu yang sangat dekat dengan manusia namun akal
kita tidak pernah mampu mengetahui bentuk dan hakikatnya.
Termasuk larangan dalam hal ini adalah membayangkan bagaimana bentuk
dan hakikat sifat Allah, karena akan membuka pada penyimpangan lainnya,
yaitu penyerupaan dengan makhluk. Yang perlu diluruskan adalah, larangan
untuk mengetahui bentuk dan hakikat dari sifat-sifat Allah bukan
berarti meniadakan adanya bentuk dan hakikat dari sifat-sifat Allah.
hakikat sifat Allah tetaplah ada dan hanya Allah-lah yang mengetahuinya.
Sekarang kita praktikkan ilmu yang kita telah pelajari dalam memahami
salah satu hadits tentang salah satu sifat Allah, yaitu Allah turun ke
langit dunia setiap malam, sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkannya, siapa yang memohon kepada-Ku, niscaya Aku memberinya, siapa yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun pada setiap malam ke langit dunia, ketika masih tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku mengabulkannya, siapa yang memohon kepada-Ku, niscaya Aku memberinya, siapa yang meminta ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sesuai kaidah, maka kita tetapkan sifat turun pada Allah Ta’ala.Kita
tidak menyerupakan sifat turun ini dengan makhluk (dimana sifat turun
pada makhluk adalah dari atas ke bawah dan memiliki sifat kurang
(naqish)) dan juga kita tidak menanyakan atau membayangkan bagaimana
Allah turun ke langit dunia setiap malam (seperti banyak orang
menakwilkan (tepatnya menyelewengkan) hadits ini karena menganggap tidak
mungkin bagi Allah turun ke langit dunia setiap malam karena dunia ada
yang malam dan ada yang siang, lalu bagaimana Allah turun atau
pertanyaan-pertanyaan lainnya yang memustahilkan sesuatu bagi Allah
karena berpikir dengan logika makhluk). Allah sempurna dengan segala
sifatnya dan tidak memiliki sifat kurang dalam seluruh sifat tersebut.
Jika kita tidak mampu memahami ini, maka cukuplah bagi kita mengimaninya
bahwa sifat turun ini ada pada Allah.
Contoh lainnya adalah mengimani sifat al-wajhu (wajah), al-yadain
(dua tangan) dan al-’ainain (dua mata), sebagaimana Allah tetapkan bagi
diri-Nya dalam Alquran.
Allah berfirman, yang artinya, “Dan tetap kekal wajah Rabb-Mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Qs. Ar-Rahman: 27)
Allah juga berfirman, yang artinya, “Dan bersabarlah dalam menunggu
ketetapan Rabb-mu, sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan mata
Kami.” (Qs. Ath-Thur: 48)
Allah juga berfirman, yang artinya, “Apakah yang menghalangi kamu
sujud kepada (Adam) yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.” (Qs.
Shad: 75)
Dari apa yang telah Allah kabarkan untuk diri-Nya ini, maka sesuai
kaidah, kita mengimani (menetapkan) sifat tersebut bagi Allah, dan tidak
menyerupakan sifat-sifat tersebut dengan makhluk, serta tidak
menanyakan bagaimana bentuk atau penggunaan dari sifat-sifat Allah
tersebut, misalnya mempertanyakan bagaimana wajah Allah, atau
membayangkan mata Allah seperti manusia atau membayangkan bagaimana
Allah menggunakan kedua tangan-Nya.
*****
Referensi:
- Majalah Al-Furqon, edisi 08, tahun ke-8, 1430/2009.
- Syarah Tsalaatsatul Ushul, Syekh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin.
- Syarh Al-’Aqidah al-Wasithiyah, Studi Tentang Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Sa’id bin Ali bin Wahfi Al-Qahthaniy