Berikut ini dipaparkan Ustadz Ahmad Sarwat saat
menjawab berbagai pertanyaan mengenai hukum merayakan tahun baru Masehi dan
mengisinya dengan berbagai kegiatan yang islami.
Ada sekian banyak pendapat yang berbeda tentang
hukum merayakan tahun baru Masehi. Sebagian mengharamkan dan sebagian lainnya
membolehkannya dengan syarat.
1. Pendapat yang Mengharamkan
Mereka yang mengharamkan perayaan malam tahun
baru masehi, berhujjah dengan beberapa argumen.
a. Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Ibadah
Orang Kafir
Bahwa perayaan malam tahun baru pada hakikatnya
adalah ritual peribadatan para pemeluk agama bangsa-bangsa di Eropa, baik yang
Nasrani atau pun agama lainnya.
Sejak masuknya ajaran agama Nasrani ke eropa,
beragam budaya paganis (keberhalaan) masuk ke dalam ajaran itu. Salah satunya
adalah perayaan malam tahun baru. Bahkan menjadi satu kesatuan dengan perayaan
Natal yang dipercaya secara salah oleh bangsa Eropa sebagai hari lahir nabi
Isa.
Walhasil, perayaan malam tahun baru masehi itu
adalah perayaan hari besar agama kafir. Maka hukumnya haram dilakukan oleh umat
Islam.
b. Perayaan Malam Tahun Baru Menyerupai Orang
Kafir
Meski barangkali ada yang berpendapat bahwa
perayaan malam tahun tergantung niatnya, namun paling tidak seorang muslim yang
merayakan datangnya malam tahun baru itu sudah menyerupai ibadah orang kafir.
Dan sekedar menyerupai itu pun sudah haram hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah
SAW: “Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka dia
termasuk bagian dari mereka.”
c. Perayaan Malam Tahun Baru Penuh Maksiat
Sulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang
merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, berzina, tertawa dan hura-hura.
Bahkan bergadang semalam suntuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Padahal
Allah SWT telah menjadikan malam untuk berisitrahat, bukan untuk melek
sepanjang malam, kecuali bila ada anjuran untuk shalat malam.
Maka mengharamkan perayaan malam tahun baru buat
umat Islam adalah upaya untuk mencegah dan melindungi umat Islam dari pengaruh
buruk yang lazim dikerjakan para ahli maksiat.
d. Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Bid’ah
Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW
adalah syariat yang lengkap dan sudah tuntas. Tidak ada lagi yang tertinggal.
Sedangkan fenomena sebagian umat Islam yang
mengadakan perayaan malam tahun baru masehi di masjid-masijd dengan melakukan
shalat malam berjamaah, tanpa alasan lain kecuali karena datangnya malam tahun
baru, adalah sebuah perbuatan bid’ah yang tidak pernah dikerjakan oleh
Rasulullah SAW, para shahabat dan salafus shalih.
Maka hukumnya bid’ah bila khusus untuk even malam
tahun baru digelar ibadah ritual tertentu, seperti qiyamullail, doa bersama, istighatsah,
renungan malam, tafakkur alam, atau ibadah mahdhah lainnya. Karena tidak ada
landasan syar’inya.
2. Pendapat
yang Menghalalkan
Pendapat
yang menghalalkan berangkat dari argumentasi bahwa perayaan malam tahun baru
masehi tidak selalu terkait dengan ritual agama tertentu. Semua tergantung
niatnya. Kalau diniatkan untuk beribadah atau ikut-ikutan orang kafir, maka
hukumnya haram. Tetapi tidak diniatkan mengikuti ritual orang kafir, maka tidak
ada larangannya.
Mereka
mengambil perbandingan dengan liburnya umat Islam di hari natal. Kenyataannya
setiap ada tanggal merah di kalender karena natal, tahun baru, kenaikan Isa,
paskah dan sejenisnya, umat Islam pun ikut-ikutan libur kerja dan sekolah.
Bahkan bank-bank syariah, sekolah Islam, pesantren, departemen Agama RI dan
institusi-institusi keIslaman lainnya juga ikut libur. Apakah liburnya umat
Islam karena hari-hari besar kristen itu termasuk ikut merayakan hari besar
mereka?
Umumnya kita
akan menjawab bahwa hal itu tergantung niatnya. Kalau kita niatkan untuk
merayakan, maka hukumnya haram. Tapi kalau tidak diniatkan merayakan, maka
hukumnya boleh-boleh saja.
Demikian
juga dengan ikutan perayaan malam tahun baru, kalau diniatkan ibadah dan
ikut-ikutan tradisi bangsa kafir, maka hukumnya haram. Tapi bila tanpa niat
yang demikian, tidak mengapa hukumnya.
Adapun
kebiasaan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, zina dan
serangkaian maksiat, tentu hukumnya haram. Namun bila yang dilakukan bukan
maksiat, tentu keharamannya tidak ada. Yang haram adalah maksiatnya, bukan
merayakan malam tahun barunya.
Misalnya,
umat Islam memanfaatkan even malam tahun baru untuk melakukan hal-hal positif,
seperti memberi makan fakir miskin, menyantuni panti asuhan, membersihkan
lingkungan dan sebagainya.
Demikianlah
ringkasan singkat tentang perbedaan pandangan dari beragam kalangan tentang
hukum umat Islam merayakan malam tahun baru.
Hari Raya
Umat Islam Hanya ada Dua
Dalam agama
Islam, yang namanya hari raya hanya ada dua saja, yaitu hari ‘Idul Fithr dan
‘Idul Adha. Selebihnya, tidak ada pensyariatannya, sehingga sebagai
muslim, tidak ada kepentingan apapun untuk merayakan datangnya tahun baru.
Namun ketika
harus menjawab, apakah bila ikut merayakannya akan berdosa, tentu jawabannya
akan menjadi beragam. Yang jelas haramnya adalah bila mengikuti perayaan agama
tertentu. Hukumnya telah disepakati haram. Artinya, seorang muslim diharamkan
mengikuti ritual agama selain Islam, termasuk ikut merayakan hari tersebut.
Maka semua
bentuk Natal bersama, atau apapun ritual agama lainnya, haram dilakukan oleh
umat Islam. Dan larangannya bersifat mutlak, bukan sekedar mengada-ada.
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 7 Maret tahun 1981/ 1 Jumadil Awwal 1401 H
telah mengeluarkan fatwa haramnya natal bersama yang ditanda-tangani oleh
ketuanya KH M. Syukri Ghazali. Salah satu kutipannya adalah:
- Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
- Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
- Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegitan-kegiatan Natal.
Namun
bagaimana dengan perayaan yang tidak terkait unsur agama, melainkan hanya
terkait dengan kebiasaan suatu masyarakat atau suatu bangsa?
Sebagian
kalangan masih bersikeras untuk mengaitkan perayaan datangnya tahun baru dengan
kegiatan bangsa-bangsa non-muslim. Dan meski tidak langsung terkait dengan
masalah ritual agama, tetap dianggap haram. Pasalnya, perbuatan itu merupakan tasyabbuh
(menyerupai) orang kafir, meski tidak terkait dengan ritual keagamaan.
Mereka mengajukan dalil bahwa Rasulullah SAW melarang tasyabbuh bil kuffar
Dari Ibnu
Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menyerupa suatu
kaum, maka dia termasuk di antara mereka. (HR Abu Daud)
Dari
Abdullah bin Amr berkata bahwa orang yang mendirikan Nairuz dan Mahrajah di
atas tanah orang-orang musyrik serta menyerupai mereka hingga wafat, maka di
hari kiamat akan dibangkitkan bersama dengan mereka.
Tasyabbuh di sini bersaifat mutlak, baik
terkait hal-hal yang bersifat ritual agama ataupun yang tidak terkait.
Namun
sebagian kalangan secara tegas memberikan batasan, yaitu hanya hal-hal yang
memang terkait dengan agama saja yang diharamkan buat kita untuk menyerupai.
Sedangkan pada hal-hal lain yang tidak terkait dengan ritual agama, maka tidak
ada larangan. Misalnya dalam perayaan tahun baru, menurut mereka umumnya orang
tidak mengaitkan perayaan tahun baru dengan ritual agama. Di berbagai belahan
dunia, orang-orang melakukannya bahkan diiringi dengan pesta dan lainnya.Tetapi
bukan di dalam rumah ibadah, juga bukan perayaan agama.
Dengan
demikian, pada dasarnya tidak salah bila bangsa itu merayakannya, meski mereka
memeluk agama Islam.
Namun lepas
dari dua kutub perbedaan pendapat ini, paling tidak buat kita umat Islam yang
bukan orang Barat, perlu rasanya kita mengevaluasi dan berkaca diri terhadap
perayaan malam tahun baru.
Pertama, biar bagaimana pun
perayaan malam tahun baru tidak ada tuntunannya dari Rasulullah SAW. Kalau pun
dikerjakan tidak ada pahalanya, bahkan sebagian ulama mengatakannya sebagai
bid’ah dan peniruan terhadap orang kafir.
Kedua, tidak ada keuntungan
apapun secara moril maupun materil untuk melakukan perayaan itu. Umumnya hanya
sekedar latah dan ikut-ikutan, terutama buat kita bangsa timur yang sedang
mengalami degradasi pengaruh pola hidup western. Bahkan seringkali malah
sekedar pesta yang membuang-buang harta secara percuma
Ketiga, bila perayaan ini selalu
dikerjakan akan menjadi sebuah tradisi tersendir, dikhawatirkan pada suatu saat
akan dianggap sebagai sebuah kewajiban, bahkan menjadi ritual agama. Padahal
perayaan itu hanyalah budaya impor yang bukan asli budaya bangsa kita.
Keempat, karena semua
pertimbangan di atas, sebaiknya sebagai muslim kita tidak perlu mentradisikan
acara apapun, meski tahajud atau mabit atau sejenisnya secara massal.
Kalaulah ingin mengadakan malam pembinaan atau apapun, sebaiknya hindari untuk
dilakukan pada malam tahun baru, agar tidak terkesan sebagai bagian dari
perayaan. Meski belum tentu menjadi haram hukumnya.
Jalan Tengah Perbedaan Pendapat
Para ulama dengan berbagai latar belakang
kehidupan, tentunya punya niat baik, yaitu sebisa mungkin berhati-hati dalam
mengeluarkan fatwa, agar umat tidak terperosok ke jurang kemungkaran.
Salah satu bentuk polemik tentang masalah
perayaan itu adalah ditetapkannya hari libur atau tanggal merah di hari-hari
raya agama lain. Yang jadi perdebatan, apakah bila kita meliburkan kegiatan
sekolah atau kantor pada tanggal 25 Desember itu, kita sudah dianggap ikut
merayakannya?
Sebagian berpendapat bahwa kalau cuma libur tidak
bisa dikatakan sebagai ikut merayakan, lha wong pemerintah memang
meliburkan, ya kita ikut libur saja. Tapi niat di dalam hati sama sekali tidak
untuk merayakannya.
Namun yang lain menolak, kalau pada tanggal 25
Desember itu umat Islam pakai acara ikut-ikutan libur, suka tidak suka, sama
saja mereka termasuk ikut merayakan hari raya agama lain. Maka sebagian
madrasah dan pesantren memutuskan bahwa pada tanggal itu tidak libur. Pelajaran
tetap berlangsung seperti biasa.
Sekarang begitu juga, ketika pada tanggal 1
Januari ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hari libur nasional, muncul juga
perbedaan pendapat. Bolehkah umat Islam ikut libur di tahun baru? Apakah kalau
ikut libur berarti termasuk ikut merayakan hari besar agama lain?
Lalu muncul lagi alternatif, dari pada libur
diisi dengan acarahura-hura, mengapa tidak diisi saja dengan kegiatan keagamaan
yang bermanfaat, seperti melakukan pengajian, dzikir atau bahkan qiyamullail.
Anggap saja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Dan hasilnya sudah bisa diduga dengan pasti,
yaituakan ada kalangan yang menolak mentah-mentah kebolehannya. Mereka mengatakan
bahwa pengajian, dzikir atau qiyamullaih di malam tahun baru adalah bid’ah yang
diada-adakan, tidak ada contoh dari sunnah Rasulullah SAW.
Lebih parah lagi, ada yang bahkan lebih ektrem
sampai mengatakan kalau malam tahun baru kita mengadakan pengajian, dzikir,
atau qiyamullail, bukan sekedar bid’ah tetapi sudah sesat dan masuk neraka.
Wah…
Jadi semua itu nanti akan kembali kepada
paradigma kita dalam memandang, apakah kita akan menjadi orang yang sangat mutasyaddid,
mutadhayyiq, ketat dan terlalu waspada? Ataukah kita akan menjadi mutasahil,
muwassi’, longgar dan tidak terlalu meributkan?
Kedua aliran ini akan terus ada sepanjang zaman,
sebagaimana dahulu di masa shahabat kita juga mengenal dua karakter ini. Yang mutasyaddid
diwakili oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan beberapa shahabat
lain, sedang yang muwassa’ diwakili oleh Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhu dan lainnya.
Adakah Jalan Tengah?
Insya Allah, ada jalan tengah yang sekiranya bisa
kita pertimbangkan. Misalnya, kalau dasarnya memang tidak ada budaya atau
kebiasaan untuk bertahun baru dengan kegiatan semacam pengajian dan sejenisnya,
sebaiknya memang tidak usah digagas sejak dari semula. Biar tidak menjadi
bid’ah baru.
Akan tetapi kalau kita berada pada masyarakat
yang sudah harga mati untuk merayakan tahun baru, suka tidak suka tetap harus
ada kegiatan, mungkin akan lain lagi ceritanya. Tugas kita saat itu mungkin
boleh saja sedikit berdiplomasi. Misalnya, tidak ada salahnya
kalaukitamengusulkan agar acaranya dibuat yang positif seperti pengajian.
Dari pada kegiatannya dangdutan, begadang semalam
suntuk atau konser musik, kan lebih baik kalau digelar saja dalam bentuk
pengajian. Anggaplah sebagai proses menuju kepada pemahaman Islam yang lebih
baik nantinya, tetapi dengan cara perlahan-lahan.
Kalau kita tidak bisa menghilangkan budaya yang
sudah terlanjur mengakar dengan sekali tebang, maka setidaknya arahnya yang
dibenarkan secara perlahan-lahan. Kira-kira ide dasarnya demikian.
Tetapi yang kami sebut sebagai jalan tengah ini
bukan berarti harga mati. Ini cuma sebuah pandangan, yang mungkin benar dan
mungkin juga tidak. Namanya saja sekedar pendapat. Tetap saja menyisakan ruang
untuk berbeda pendapat. Dan mungkin suatu ketika kami koreksi ulang.